Nasehat Kepala Sekolah, Cerpen tentang Sekolah

Contoh cerpen tentang sekolah digunakan untuk belajar dalam mengarang karya fiksi khususnya untuk pelajaran bahasa Indonesia. Sejak dari sekolah kita juga diajarkan menulis, salah satunya melalui cerpen.

Cerpen tentang Sekolah
Contoh Cerpen tentang Pendidikan: Nasehat Kepala Sekolah

Tidak semua suka, tidak semua juga bisa. Maka dari itu perlu ada banyak referensi untuk mengembangkan minat dan bakat kita dalam menulis. 

Karya berikut ini tidak sempurna, jauh dari sempurna. Karya tersebut hanya sebuah karangan yang dihasilkan oleh orang yang masih belajar menjadi lebih baik. Mari sama-sama belajar.

Dengan banyak membaca mungkin bisa meningkatkan motivasi kita. Apalagi jika kisah yang diangkat termasuk yang seru, unik dan menarik. 

Seperti tema kali ini, tentang sekolah, pasti seru. Tapi sebelum itu, jangan lupa cek juga beberapa cerpen pendidikan lainnya di bawah ini. Ada beberapa karya lain yang patut untuk kita simak juga. 

4) Cerpen tentang lingkungan sekolah
5) Contoh cerpen anak sekolah
6) Cerpen tentang sekolahku
7) Cerpen pendidikan moral
8) Cerpen sekolah sma
9) Cerpen anak sekolah smp
10) Contoh cerpen sekolah smp
11) Cerpen tentang sekolah baru

Tentu beda, yang di atas dengan yang akan kita baca memiliki alur yang berbeda. Secara umum sih temanya juga tentang pendidikan jadi masih agak nyambung sedikit. 

Tak apalah, yang penting kita mendapatkan referensi lebih banyak. Dari pada hanya satu saja, kan enggak ada pilihan. Benar tidak? Ya sudah, dari pada berlama-lama memilih lebih baik kita ke intinya, simak cerpen berikut.

Nasehat Kepala Sekolah
Cerpen tentang Sekolah oleh Irma

Panas, matahari membakar separuh udara di ruang kelas. Tak satupun luput dari peluh. Keringat mengalir lincah di sela-sela pakaian seragam. Murni duduk blingsutan, gelisah. 

Berulang kali tubuhnya bergerak, tangan dan jemarinya menari bak cacing kepanasan. 

Tak ada suara yang keluar dari mulut murid-murid di kelas itu. Tak seperti biasa, kali ini mereka berhadapan dengan biangnya. Kepala sekolah yang killer, sebutan anak-anak, sedang memberikan penjelasan.

Saat itu sebenarnya jam kosong. Harusnya mereka berpesta. Tapi tidak untuk saat itu, sang kepala sekolah baru masuk ke kelas dan mengisi kekosongan tersebut.

Mereka tidak beruntung, mereka tidak bisa melewatkan jam kosong dengan gembira. Mereka belajar, terpaksa belajar setengah hati. 

Murni terus saja gelisah. “Kapan sih selesai…!” yang ada dipikirannya hanya kantin, minum es campur yang sangat menyegarkan. 

Tidak hanya dia saja, Murni adalah satu dari sekian banyak siswa yang sudah tidak tahan dengan ocehan pak kepala sekolah di waktu yang tak tepat itu. 

Tak tahan lagi, Murni tiba-tiba mengangkat tangannya, “maaf pak, kapan selesai. Kita panas benar pak, sudah tidak fokus. Bisa bapak mempersingkat penjelasan bapak?”

Tak pelak, semua pasang mata tertuju pada Murni. Teman-temannya kaget melihat Murni yang nekad begitu. 

“Hust… kamu itu enggak sopan benar sih!”, ucap salah satu temannya. “Iya benar, Murni benar. Kita tidak konsentrasi dengan suasana seperti ini pak…” ucap yang lain membela Murni. 

Akhirnya kelas menjadi gaduh. Kepala sekolah yang berdiri di depan kelas tampak masih tenang. Ia diam sejenak. Dari bibirnya tersungging senyum tipis. Ia melambaikan tangan, tanda ia meminta anak-anak untuk diam.

“Anak-anakku sekalian, dengarkan bapak. Benar. Bapak tahu benar kalian tidak fokus. Bapak juga merasakan panas ruangan ini tapi bapak tetap melanjutkan.”

“Tapi baiklah, karena salah satu dari kalian sudah ada yang berani jujur maka bapak persingkat saja. Sebagai generasi muda kalian memang harus kerja keras. Bukannya tidak boleh malas, bukan tidak boleh cengeng tapi kalian tidak boleh kalah dengan hal itu.”

“Ingat, salah satu dari kalian mungkin akan menggantikan bapak di sini dan tanggungjawab kalian akan lebih berat. Saat inilah kalian harus terus berjuang. Berjuang dan terus berjuang”

“Murni, kelak kamu akan menjadi dokter. Bayangkan jika suatu saat ibumu sakit dan kamu tidak tahu obatnya. Apa kamu akan menyerah, tidak bukan?” Bapak kepala sekolah beralih memberikan nasehat hidup dan motivasi.

“Yang lain, kalian juga sama. Untuk sampai pada cita-cita kalian saja kalian harus berjuang apalagi saat kalian telah menggapainya.

Ingat nak, jangan pernah kalah dengan sesuatu yang negatif. Sabar adalah kuncinya. Bapak yakin, kalian semua akan sukses!”

Semua murid terdiam. Mereka tidak menyangka bapak kepala sekolah akan berkata demikian. Bapak kepala sekolah terkenal sangat kejam. Mereka pikir beliau akan menghukum Murni yang lancang. 

Mereka salah. Mereka terdiam, tertegun memikirkan apa yang disampaikan bapak kepala sekolah. 

“Ya sudah… untuk kali ini bapak cukupkan sampai disini saja. Ingat ya, Murni, Sinta, Yogi, Dimas dan lainnya, kalian tidak boleh kalah.

Kalian harus semangat. Belajar yang giat. Bapak sayang dengan kalian semua.”

Tak ada satupun dari mereka yang hatinya tidak bergetar. Bapak kepala sekolah memukul besi tepat pada saat ia meleleh, membentuknya menjadi sesuatu yang lebih baik. Nasehatnya membekas di hati anak-anak semua.

---oOo---

Ada-ada saja ya. Memang, seringkali kita dibutakan dengan sesuatu yang tidak seharusnya. Seperti contoh di atas, sesungguhnya sang bapak kepala sekolah ternyata tidak seperti yang ditakutkan.

Wajar memang jika ia bersikap tegas, itu untuk mendidik anak-anak. Tentu saja, diharapkan ada ketulusan yang bisa dilihat. 

Nyatanya, sang bapak yang digambarkan sadis atau killer tersebut sebenarnya menyayangi murid-muridnya. Patut dicontoh juga ya. 

Kejujuran yang digambarkan salah satu murid dan apresiasi yang diberikan bapak kepala sekolah juga menjadi tauladan yang baik bagi kita semua. Semoga cerpen pendidikan di atas bisa memberi motivasi bagi kita semua. 

Dunia di Ujung Tembok, Cerpen tentang Pelajar

“Dunia di Ujung Tembol”, cerpen pelajar berikut ini sengaja dibuat untuk menambah referensi bahan bacaan yang sudah ada. Jauh dari sempurna tapi lumayan untuk contoh. Kalau ada yang sedang mencari cerpen silahkan di baca ya.

Cerpen tentang Pelajar
Contoh Cerpen tentang Pelajar: Dunia di Ujung Tembok

Cerpen kali ini cukup menarik. Tema yang diangkat lumayan menarik karena berhubungan dengan cinta remaja. Apalagi jika adik-adik pelajar yang mungkin sedang kasmaran.

Tidak baik sih membahas seperti ini diusia sekolah. Tapi kalau sekedar untuk hiburan dalam sebuah karangan ya tidak apa-apa juga. Asal di kenyataan tidak ikutan hal yang kurang bermanfaat ini.

Judulnya bisa membuat penasaran, adik-adik mungkin akan bingung kalau menebak bagaimana isinya. Kok bisa ya, aneh kalau dilihat dari judulnya. Eh, tapi ada yang lain juga loh, yuk cek dulu.

Biarkan saja aneh, yang penting adalah bagaimana kisah di angkat dan bagaimana pesan serta nasehat didalamnya. Siapa tahu kita dapat pencerahan. Yuk disimak saja langsung cerpen tentang pelajar selengkapnya. 

Dunia di Ujung Tembok
Cerpen oleh Irma

Mata menatap sedikit sayup, Ara mencermati seisi ruangan dengan sorot mata yang menyelidik. Ada sesuatu yang sedang ia cari, tampaknya. 

“Huh… kenapa udara pagi ini terasa berbeda, lebih dingin dari biasanya.” Ara pasrah kemudian mengalihkan pandangan ke meja guru. 

Ia mengamati setiap gerak-gerik sang guru di depan kelas. Mencoba mengalihkan perasaan yang bergemuruh. 

“Kemana dia…!” jam pelajaran telah di mulai. Seseorang yang ia nantikan tak juga nampak. Hatinya semakin gelisah. Terlihat mendung menyelimuti seluruh wajahnya.

Dahinya berkerut mencari alasan apapun yang bisa ditemukan.

Waktu terus berjalan. Hari itu, tak ada sintar mentari di dunia imajinasi Ara. Biasanya ia selalu cerita, berkhayal di sela-sela suara guru yang nyaring. 

Sudah hampir satu tahun, Ara memendam kekaguman pada Yani, seorang gadis remaja yang cerdas dan riang. Ia tak punya nyali mengungkapkan kekaguman itu.

Lamunan demi lamunan menumpuk, menggumpal menjadi dunia imaji.

“Hai… namaku Ara”, ucap nya setahun yang lalu. Senyum manis menyambut uluran tangan itu, “panggil aku yani”, jawab remaja itu polos. 

Dasar Ara, ia tak pernah senekad itu. Sebelumnya ia belum pernah sama sekali berani mengulurkan tangan pada seorang gadis. 

Ia terkesima. Ia kagum. Kala itu, di depannya berdiri sosok mungil dengan penuh pesona. Wambutnya sebahu, giginya putih bergingsul. Matanya bulat dengan sorot yang bening. 

“Sepertinya kita satu kelas ya…”, ucapnya mencairkan suasana perkenalan itu. “Iya, kita satu kelas…” Yani menjawab singkat seolah tak begitu peduli dengan Ara yang coba berbuat lebih.

Satu tahun berlalu. Ara hanya mampu bertegur sapa, apa adanya. Tak lebih dan tak pernah jauh dari pembicaraan seputar pelajaran.

Betapapun kuatnya ia menahan rasa itu, beberapa bulan terakhir rasa itu semakin gila. Semakin sulit bagi Ara untuk berpaling dari wajah Yani yang ayu. 

Hari demi hari Ara lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengagumi kecantikan Yani, matahari di dunia imajinasinya. 

“Ah… sampai mati mungkin aku tak akan pernah bisa mengatakan itu”, ucap Ara sembari menutup lembaran buku berisi sketsa wajah seorang gadis.

---oOo---

Lebih dekat dengan cerita saja sih, kurang cocok juga kalau kita sebut dengan cerita cerpen pelajar. Ya karena panjangnya kurang lebih hanya 300 kata. Apa bisa dimasukkan ke dalam kategori cerpen? 

Cerpen atau bukan setidaknya ada hiburan yang bisa dibaca. Benar kan? Lumayan, bisa untuk mengisi waktu luang, dari pada keluyuran tidak karuan. 

Kalau kisah di atas kurang bagus silahkan baca yang lain ya. Ada beberapa cerpen baru yang pasti rekan semua belum pernah membacanya. 

Temanya unik, alurnya tidak monoton, cocok untuk rekan remaja semua. Jadi, tunggu apalagi, silahkan pilih mana cerpen yang akan rekan nikmati. Jangan lupa juga untuk berbagi dengan yang lain.

Cerpen 9 Tokoh, Perjalanan Mencari Cinta Sejati

Cerpen 9 Tokoh, Perjalanan Mencari Cinta Sejati - Awan menggantung di teras rumah. Udiyo masih duduk termenenung dengan keringat bercucuran. Sepasang sepatu tergeletak di depan pintu. Tas masih tergeletak di kursi. Ia baru saja pulang sekolah.

cerpen 9 tokoh tentang cinta sejati
Perjalanan Mencari Cinta Sejati/contohcerita.com

“Tak perlu kau perlakukan aku seperti itu”, perkataan Sainah masih terngiang di telinga Udiyo. Ada kegelisahan yang tampak jelas di matanya. Ia seperti ragu dengan apa arti ucapan Sainah tadi.

Ia bahkan kembali ingat dengan nasehat dari sahabatnya, Maryon. “Sebaiknya jangan kau ganggu Sainah Yo, kasihan dia”, ucap Maryon suatu ketika pada Udiyo.
“Ganggu bagaimana, memang kenapa sih?”, Tanya Udiyo saat itu dengan sangat penasaran.

Sahabatnya itu tak lebih jauh menjelaskan perkataannya. Ia hanya berlalu sambil menepuk punggung Udiyo. “Apakah mungkin…”, Udiyo terlarut dalam lamunannya.

Sudah hampir satu jam, Udiyo tak juga beranjak dari teras rumah. Sangat berbeda dari biasanya. Sepulang sekolah, biasanya ia sudah sangat lapar dan langsung menuju meja makan. Tanpa melepas sepatu atau baju sekolahnya.

Masih asyik dengan lamunan, tiba-tiba Udiyo dikagetkan dengan suara beberapa temannya. “Ya ampun Yo, kok kamu masih pakai baju sekolah?”, ucap Nurya.

“Iya, ada apa lah anak ini, jangan – jangan Diyo dari tadi belum masuk rumah. Tuh sepatunya saja masih berserakan begitu”, timpal Ratm.

Udiyo hanya terdiam melihat teman-temannya datang. Ia tampak sama sekali tidak bersemangat dengan kehadiran mereka. “Ada apa sih sob, lagi ada masalah?”, tanya Ifin kemudian.

“Iya nih, eh kalian tahu enggak sih ada apa dengan Sainah?”, Tanya Udiyo kemudian
“Ha…. Ada apa dengan Sainah… Memang ada apa sih?”, Ratm balik bertanya
“Iya, memang ada apa antara kalian Yo, genting benar sepertinya?”, Tanya Ikrar

Udiyo mulai bernyanyi. Tak ingat perutnya yang kosong. Ia mulai menceritakan berbagai kejanggalan sikap Sainah pada dirinya. Mulai dari tatapan matanya yang tak lagi lembut, senyumannya yang terasa pahit dan ucapannya yang membingungkan.

“Nah lo… jangan – jangan…”, ucap Maryon tiba-tiba memotong pembicaraan. “Jangan-jangan apa sih?”, ucap Udiyo sedikit kesal.

Ifin yang melihat sahabatnya terlihat begitu tegang dan serius pun mulai angkat bicara. “Yo, beberapa hari yang lalu aku pernah dengar dari beberapa teman kalau Sainah di tembak oleh Yore. Tapi aku enggak tahu, mungkin mereka sudah jadian kali”, ucap Ifin.

“Ha… jadian?”, tanya Udiyo. Mendengar kata jadian, hati Udiyo tiba-tiba berdetak kencang. Darahnya berdesir. “Sudahlah Yo, jangan terlalu dipikirkan. Dia mah orangnya memang gitu…” ucap Ratm mencoba menghibur Udiyo.

Melihat reaksi wajah sahabatnya yang tak enak, Ifin dan Maryon pun segera mengalihkan pembicaraan. Mereka kemudian bertanya mengenai persiapan senin depan menghadapi ujian renang di sekolah.

Tanpa disadari, suasana pun kembali berubah menjadi riang. Sejenak, Udiyo tampak melupakan apa yang sedang mengganggu hatinya.

Malam menjelang. Teman-teman Udiyo pun pulang. Udiyo kemudian duduk dimeja belajar dengan angan yang melayang. Ia gelisah. Bahkan sesekali terlihat rasa kecewa di matanya. Suara jangkrik terdengar semakin kencang. Malam semakin larut. Perlahan, Udiyo pun terlena dalam kantuk.

Keesokan harinya, Udiyo bertekat untuk menghilangkan gundah di hatinya. Sepulang sekolah, ia menemui Sainah. Sainah sedang duduk di kantin. Udiyo pun segera menghampirinya.

Belum sempat ia sampai di meja kantin itu, langkahnya terhenti ketika Yore menghampiri Sainah dan duduk disampingnya.

Sekuat tenaga Udiyo menahan kaki untuk tidak melanjutkan langkah. Ia tahu benar bahwa suasana akan menjadi tidak menentu jika ia berada disana. Ia pun segera beringsut pergi dengan perasaan hancur.

Tiga hari berlalu, suasana sekolah tampak riuh seperti biasa. Saat itu jam istirahat. Anak-anak berhamburan di halaman sekolah, di kantin dan di taman depan.

Setelah menyantap makan siang, Yore dan Ariy bersantai di taman depan. “Yore, bagaimana dengan Sainah…?”, tanya Ariy

“Ya, begitulah. Setelah sempat menutup diri, ia akhirnya bisa membuka diri. Aku sekarang lega”, ucap Yore
“Baguslah kalau begitu, aku ikut senang…” ucap Ariy

Sedang asyik Yore dan Ariy berbincang, datang Udiyo menghampiri mereka. Sejenak, Udiyo menatap tajam Yore. Sekilas ada api yang membara tampak di matanya yang bening.

“Aku ada perlu sedikit sama kamu, bisa bicara sebentar…”, ucap Udiyo tegas. “Oh, iya. Ada perlu ama…” sahut Yore.

Sebelum berkata lebih jauh, Udiyo menatap kea rah Ariy. “Oh, ya sudah, aku ke kelas duluan saja ya…” ucap Ariy meninggalkan mereka.

“Aku dengar kamu dekat dengan Sainah, benar begitu?”
“Ya, lumayan. Ada apa memang?”
“Em, benar kalian sudah jadian?”
“A…apa, jadian?”

Udiyo menatap tajam kea rah Yore. Ia seolah mengisyaratkan bahwa jika ingin selamat maka Yore harus berkata jujur.
“Ada apa memang, itu kan bukan urusan kamu?”
“Jawab saja kalau urusannya tidak ingin panjang”
“Ya, beberapa hari lalu kami jadian…”

Petir menyambar dengan begitu keras di dada Udiyo. Hampir, ia hampir saja tak kuasa menahan emosi yang meletup di dada. Kedua tangannya menggenggam erat.

“Woi, Yo, udah masuk…” suara Ratm terdengar dari kejauhan. Seolah tersadar dari pingsar, Udiyo pun langsung beringsut, pergi meninggalkan Yore yang masih bingung dengan apa yang terjadi.


Seiring Udiyo berlalu, mendung menggantung di langit sekolah. Petir menyambar beberapa kali. Suara gemuruh memekakkan telinga. Seketika itu pula hujan deras mengguyur bumi, membasahi hati Udiyo yang terbakar.

--- Tamat---

Persahabatan Tiga Dara dari Desa Sebelah

Contohcerita.com: Kisah Cerpen Persahabatan Tiga Dara Manis dari Desa Sebelah - cerpen persahabatan tiga gadis (dara) manis dan cantik di sebuah desa, sudah pernah membaca yang seperti itu? Ya, unik dan belum pernah dibagikan sebelumnya. Ingin tahu seperti apa silahkan dibaca. Dari pada penasaran, silahkan. Tidak panjang kok, paling 300 kata.

cerpen 3 orang sahabat
Cerpen Tiga Orang Sahabat dari Desa

Matanya berbinar bagai sang merpati yang gundah - gulana. Ceritanya selalu bersemi bagai duri nangka yang membusuk.

Selalu permainanya mengantarkan lelaki untuk selalu memuja dan mengharap belas kasihan cinta yang ia punya.

Begitu menyejukan dan menggetarkan hati saat dan selalu memandangi salah satunya, namun apa daya ini aku harus tau.

Anak pak parman sudah saatnya ia punya cerita pelaminan yang akan datang, tidak harus besar namun pengesahan.

Persahabatan tiga dara kian runcing dengan pengkhianatan satu dara saja yang tak dapat menahan nafsu biologisnya.

Seremonial ia selalu meminta izin kepada dua dara yang lain, ketika akan bercinta dengan perasaanya dengan laki laki.

Selalu di ucapkannya dengan penuh panggilan jiwa persahabatan agar keduanya tidak tersakiti karena ulahnya.

Dara paling bungsu bercerita "sahabatku bukanlah engkau mencintai laki laki itu, apakah kalian mengizinkan aku bersamanya.

Dua dara hanya tersenyum tanpa menjawab suatu apapun, hanya isarat yang ia berikan, senyuman itu begitu tulus dan iklas.

Dara bungsu bercerita lagi" terima kasih sahabatku, engkau memang sahabat terbaik yang pernah aku miliki.

"Kelak jika suatu saat aku memiliki anak, maka kita jodohkan saja anak anak kita agar kita tidak terputus"

Dara bungsu membuat panas suasana, keiklasanya agak sedikit melunturkan dua dara melepas laki laki itu.

Dua dara berkata "sudahlah bungsu, ambil saja dia jika kamu mau, jangan mempedulikan kita berdua, yang penting kami ikhlas. (Gunarto)

Asmara di Kelas 1 SMA, Antara Impian dan Kebahagiaan

Sebuah cerpen cinta anak sma singkat, antara sebuah impian dan kebahagiaan. Jam 08.30, sekolah tampak sepi. Beberapa anak keluar dari gerbang. Selesai olahraga pagi mereka banjir keringat dan pulang. Jovie duduk di gorong-gorong depan gerbang. Memainkan ponsel sambil sesekali melihat ke arah jalan. “Kemana anak-anak, sudah jam segini kok belum ada yang datang. Salah jadwal kali ya?”


Minggu memang bukan hari sekolah. Tapi sekolah itu memang tak pernah sepi. Hari libur sekalipun banyak anak-anak. Ada yang sekedar berolahraga, ada yang belajar kelompok dan ada juga yang melakukan kegiatan ekstrakurikuler sekolah.

Jovie, salah satu murid baru yang bergabung di kegiatan siswa pecinta alam. Hari minggu adalah hari dimana mereka latihan.

Jadwal latihan jam 8, Jovie berangkat lebih awal karena takut telat. Ia menengadahkan harapan untuk segera melihat teman-temannya datang. Belum, hampir lima belas menit berlalu belum ada satu pun yang datang.

“Aduh, kenapa lama amat ya? Pada kemana sih mereka. Kakak senior kok belum ada yang datang juga. Aneh benar!”

Jovie merapatkan duduknya ke tembok gerbang. Ia merubah duduknya, menghadap ke jalan. Dingin, ia mendekap kedua lututnya.

“Hei, mana yang lain?”, seseorang datang menghampiri Jovie. “Anu kak, entah belum ada yang datang sama sekali. Di dalam juga masih kosong enggak ada orang. Kakak kok sendirian?”, ucap Jovie.

“Iya, lagi pada sarapan.kamu Jovie kan, anak IPA 1?”, tanya kakak senior tersebut. “Benar kak, yang kemarin nangis karena di hukum.”

Menunggu teman-teman lain, Jovie dan kakak senior yang bernama Mike pun berbincang ringan. Selang beberapa menit, pukul 08.30 tepat anak-anak pun berkumpul. Acara latihan sispelam pun dimulai.

Hari latihan itu menjadi hari spesial bagi Jovie. Beberapa kali ia ditarik ke depan untuk memberikan contoh. Jovie mendapatkan perhatian khusus dari kakak senior, terutama dari Mike.

Satu bulan kemudian, 4 sesi latihan telah dilewati. Jovie dan Mike menjadi semakin dekat dan semakin akrab. Tak jarang Jovie diundang untuk ngumpul bersama kakak senior lain ketika istirahat sekolah.

Ah, kedekatan mereka sudah bisa ditebak. Perhatian dan kebaikan Mike berubah jadi kedekatan yang khusus. Jovie pun mulai merasakan sesuatu yang tak biasa, cinta.

Di penghujung bulan. Ketika itu hari sabtu. Hujan turun begitu deras. Jovie sendirian di gerbang sekolah. Menunggu hujan reda. Mike berlari menghampiri Jovie, berpayung tas ransel di kepalanya.

“Belum pulang…?”, sapa Mike. Diawali dengan senyum, Jovie menjawab dengan sopan, “hujan kak…” Sesaat suasana menjadi beku. Tampak kedua pasang mata itu memandang jauh ke depan. Menembus rintik hujan.

“Vie, kakak ingin bilang sesuatu. Penting.”
“Ada apa kak, masalah pelantikan ya?”
“Bukan, masalah kakak, masalah kita”
“Kita, maksud kakak apa?”
“Vie, kakak suka sama kamu. Kamu mau kan jadi pacar kakak?”

Jovie terdiam. Ia sudah menyangka sebelumnya, cepat atau lambat Mike pasti akan menyatakan cinta. Seiring tetes hujan yang jatuh di jalanan, sejenak angan Jovie melayang, senang.

Tangan kanannya meremas tangan kirinya yang mengepal, gelisah. Jovie bingung harus berkata apa. “Tapi kak…”, sepenggal kalimat tak sempurna keluar dari bibirnya yang tebal.

“Enggak apa-apa, kamu enggak harus jawab sekarang kok. Kakak bisa menunggu”

“Enggak kak, aku harus jawab sekarang. Aku tidak mau membut kakak menunggu dalam ketidakpastian”, Jovie menghela nafas panjang. “Sama seperti kakak, Jovie juga memiliki rasa yang sama. Jovie suka sama kakak. Meski begitu, kak, Jovie tidak bisa menjadi pacar kakak. Jovie terikat janji dan sumpah.”

“Janji, sumpah apa Vie? Apa kamu sudah punya pacar?”
“Bukan kak, Jovie lahir dari keluarga biasa. Jovie masuk sekolah dengan cucuran darah dari orang tua Jovie. Jovie berjanji tidak akan mengecewakan mereka. Jovie tidak akan pacaran selama sekolah”

Mike terdiam. Tampak kekecewaan menyelimuti hatinya. Wajahnya berubah murung. Mendung menggelayut di keningnya yang lebar. “Aku suka sama kakak, tapi jangan sampai ada kata pacaran diantara kita kak. Itu akan menghancurkan impian dan cita-citaku”.

Langit gelap, petir menyambar begitu keras. Hujan turun membanjiri bumi dengan butir-butir bening yang tak tertata, Mike menangis dalam diam.
Back To Top