Sebuah cerpen cinta anak sma singkat, antara sebuah impian dan kebahagiaan. Jam 08.30, sekolah tampak sepi.
Beberapa anak keluar dari gerbang. Selesai olahraga pagi mereka banjir keringat
dan pulang. Jovie duduk di gorong-gorong depan gerbang. Memainkan ponsel sambil
sesekali melihat ke arah jalan. “Kemana anak-anak, sudah jam segini kok belum
ada yang datang. Salah jadwal kali ya?”
Minggu memang bukan hari sekolah.
Tapi sekolah itu memang tak pernah sepi. Hari libur sekalipun banyak anak-anak.
Ada yang sekedar berolahraga, ada yang belajar kelompok dan ada juga yang
melakukan kegiatan ekstrakurikuler sekolah.
Jovie, salah satu murid baru yang
bergabung di kegiatan siswa pecinta alam. Hari minggu adalah hari dimana mereka
latihan.
Jadwal latihan jam 8, Jovie
berangkat lebih awal karena takut telat. Ia menengadahkan harapan untuk segera
melihat teman-temannya datang. Belum, hampir lima belas menit berlalu belum ada
satu pun yang datang.
“Aduh, kenapa lama amat ya? Pada
kemana sih mereka. Kakak senior kok belum ada yang datang juga. Aneh benar!”
Jovie merapatkan duduknya ke
tembok gerbang. Ia merubah duduknya, menghadap ke jalan. Dingin, ia mendekap
kedua lututnya.
“Hei, mana yang lain?”, seseorang
datang menghampiri Jovie. “Anu kak, entah belum ada yang datang sama sekali. Di
dalam juga masih kosong enggak ada orang. Kakak kok sendirian?”, ucap Jovie.
“Iya, lagi pada sarapan.kamu
Jovie kan, anak IPA 1?”, tanya kakak senior tersebut. “Benar kak, yang kemarin
nangis karena di hukum.”
Menunggu teman-teman lain, Jovie
dan kakak senior yang bernama Mike pun berbincang ringan. Selang beberapa
menit, pukul 08.30 tepat anak-anak pun berkumpul. Acara latihan sispelam pun
dimulai.
Hari latihan itu menjadi hari
spesial bagi Jovie. Beberapa kali ia ditarik ke depan untuk memberikan contoh.
Jovie mendapatkan perhatian khusus dari kakak senior, terutama dari Mike.
Satu bulan kemudian, 4 sesi
latihan telah dilewati. Jovie dan Mike menjadi semakin dekat dan semakin akrab.
Tak jarang Jovie diundang untuk ngumpul bersama kakak senior lain ketika
istirahat sekolah.
Ah, kedekatan mereka sudah bisa
ditebak. Perhatian dan kebaikan Mike berubah jadi kedekatan yang khusus. Jovie
pun mulai merasakan sesuatu yang tak biasa, cinta.
Di penghujung bulan. Ketika itu
hari sabtu. Hujan turun begitu deras. Jovie sendirian di gerbang sekolah.
Menunggu hujan reda. Mike berlari menghampiri Jovie, berpayung tas ransel di
kepalanya.
“Belum pulang…?”, sapa Mike.
Diawali dengan senyum, Jovie menjawab dengan sopan, “hujan kak…” Sesaat suasana
menjadi beku. Tampak kedua pasang mata itu memandang jauh ke depan. Menembus
rintik hujan.
“Vie, kakak ingin bilang sesuatu.
Penting.”
“Ada apa kak, masalah pelantikan
ya?”
“Bukan, masalah kakak, masalah
kita”
“Kita, maksud kakak apa?”
“Vie, kakak suka sama kamu. Kamu
mau kan jadi pacar kakak?”
Jovie terdiam. Ia sudah menyangka
sebelumnya, cepat atau lambat Mike pasti akan menyatakan cinta. Seiring tetes
hujan yang jatuh di jalanan, sejenak angan Jovie melayang, senang.
Tangan kanannya meremas tangan
kirinya yang mengepal, gelisah. Jovie bingung harus berkata apa. “Tapi kak…”,
sepenggal kalimat tak sempurna keluar dari bibirnya yang tebal.
“Enggak apa-apa, kamu enggak
harus jawab sekarang kok. Kakak bisa menunggu”
“Enggak kak, aku harus jawab
sekarang. Aku tidak mau membut kakak menunggu dalam ketidakpastian”, Jovie
menghela nafas panjang. “Sama seperti kakak, Jovie juga memiliki rasa yang
sama. Jovie suka sama kakak. Meski begitu, kak, Jovie tidak bisa menjadi pacar
kakak. Jovie terikat janji dan sumpah.”
“Janji, sumpah apa Vie? Apa kamu
sudah punya pacar?”
“Bukan kak, Jovie lahir dari
keluarga biasa. Jovie masuk sekolah dengan cucuran darah dari orang tua Jovie. Jovie
berjanji tidak akan mengecewakan mereka. Jovie tidak akan pacaran selama
sekolah”
Mike terdiam. Tampak kekecewaan
menyelimuti hatinya. Wajahnya berubah murung. Mendung menggelayut di keningnya
yang lebar. “Aku suka sama kakak, tapi jangan sampai ada kata pacaran diantara
kita kak. Itu akan menghancurkan impian dan cita-citaku”.
Langit gelap, petir menyambar
begitu keras. Hujan turun membanjiri bumi dengan butir-butir bening yang tak
tertata, Mike menangis dalam diam.