Cerpen 9 Tokoh, Perjalanan Mencari Cinta Sejati

Cerpen 9 Tokoh, Perjalanan Mencari Cinta Sejati - Awan menggantung di teras rumah. Udiyo masih duduk termenenung dengan keringat bercucuran. Sepasang sepatu tergeletak di depan pintu. Tas masih tergeletak di kursi. Ia baru saja pulang sekolah.

cerpen 9 tokoh tentang cinta sejati
Perjalanan Mencari Cinta Sejati/contohcerita.com

“Tak perlu kau perlakukan aku seperti itu”, perkataan Sainah masih terngiang di telinga Udiyo. Ada kegelisahan yang tampak jelas di matanya. Ia seperti ragu dengan apa arti ucapan Sainah tadi.

Ia bahkan kembali ingat dengan nasehat dari sahabatnya, Maryon. “Sebaiknya jangan kau ganggu Sainah Yo, kasihan dia”, ucap Maryon suatu ketika pada Udiyo.
“Ganggu bagaimana, memang kenapa sih?”, Tanya Udiyo saat itu dengan sangat penasaran.

Sahabatnya itu tak lebih jauh menjelaskan perkataannya. Ia hanya berlalu sambil menepuk punggung Udiyo. “Apakah mungkin…”, Udiyo terlarut dalam lamunannya.

Sudah hampir satu jam, Udiyo tak juga beranjak dari teras rumah. Sangat berbeda dari biasanya. Sepulang sekolah, biasanya ia sudah sangat lapar dan langsung menuju meja makan. Tanpa melepas sepatu atau baju sekolahnya.

Masih asyik dengan lamunan, tiba-tiba Udiyo dikagetkan dengan suara beberapa temannya. “Ya ampun Yo, kok kamu masih pakai baju sekolah?”, ucap Nurya.

“Iya, ada apa lah anak ini, jangan – jangan Diyo dari tadi belum masuk rumah. Tuh sepatunya saja masih berserakan begitu”, timpal Ratm.

Udiyo hanya terdiam melihat teman-temannya datang. Ia tampak sama sekali tidak bersemangat dengan kehadiran mereka. “Ada apa sih sob, lagi ada masalah?”, tanya Ifin kemudian.

“Iya nih, eh kalian tahu enggak sih ada apa dengan Sainah?”, Tanya Udiyo kemudian
“Ha…. Ada apa dengan Sainah… Memang ada apa sih?”, Ratm balik bertanya
“Iya, memang ada apa antara kalian Yo, genting benar sepertinya?”, Tanya Ikrar

Udiyo mulai bernyanyi. Tak ingat perutnya yang kosong. Ia mulai menceritakan berbagai kejanggalan sikap Sainah pada dirinya. Mulai dari tatapan matanya yang tak lagi lembut, senyumannya yang terasa pahit dan ucapannya yang membingungkan.

“Nah lo… jangan – jangan…”, ucap Maryon tiba-tiba memotong pembicaraan. “Jangan-jangan apa sih?”, ucap Udiyo sedikit kesal.

Ifin yang melihat sahabatnya terlihat begitu tegang dan serius pun mulai angkat bicara. “Yo, beberapa hari yang lalu aku pernah dengar dari beberapa teman kalau Sainah di tembak oleh Yore. Tapi aku enggak tahu, mungkin mereka sudah jadian kali”, ucap Ifin.

“Ha… jadian?”, tanya Udiyo. Mendengar kata jadian, hati Udiyo tiba-tiba berdetak kencang. Darahnya berdesir. “Sudahlah Yo, jangan terlalu dipikirkan. Dia mah orangnya memang gitu…” ucap Ratm mencoba menghibur Udiyo.

Melihat reaksi wajah sahabatnya yang tak enak, Ifin dan Maryon pun segera mengalihkan pembicaraan. Mereka kemudian bertanya mengenai persiapan senin depan menghadapi ujian renang di sekolah.

Tanpa disadari, suasana pun kembali berubah menjadi riang. Sejenak, Udiyo tampak melupakan apa yang sedang mengganggu hatinya.

Malam menjelang. Teman-teman Udiyo pun pulang. Udiyo kemudian duduk dimeja belajar dengan angan yang melayang. Ia gelisah. Bahkan sesekali terlihat rasa kecewa di matanya. Suara jangkrik terdengar semakin kencang. Malam semakin larut. Perlahan, Udiyo pun terlena dalam kantuk.

Keesokan harinya, Udiyo bertekat untuk menghilangkan gundah di hatinya. Sepulang sekolah, ia menemui Sainah. Sainah sedang duduk di kantin. Udiyo pun segera menghampirinya.

Belum sempat ia sampai di meja kantin itu, langkahnya terhenti ketika Yore menghampiri Sainah dan duduk disampingnya.

Sekuat tenaga Udiyo menahan kaki untuk tidak melanjutkan langkah. Ia tahu benar bahwa suasana akan menjadi tidak menentu jika ia berada disana. Ia pun segera beringsut pergi dengan perasaan hancur.

Tiga hari berlalu, suasana sekolah tampak riuh seperti biasa. Saat itu jam istirahat. Anak-anak berhamburan di halaman sekolah, di kantin dan di taman depan.

Setelah menyantap makan siang, Yore dan Ariy bersantai di taman depan. “Yore, bagaimana dengan Sainah…?”, tanya Ariy

“Ya, begitulah. Setelah sempat menutup diri, ia akhirnya bisa membuka diri. Aku sekarang lega”, ucap Yore
“Baguslah kalau begitu, aku ikut senang…” ucap Ariy

Sedang asyik Yore dan Ariy berbincang, datang Udiyo menghampiri mereka. Sejenak, Udiyo menatap tajam Yore. Sekilas ada api yang membara tampak di matanya yang bening.

“Aku ada perlu sedikit sama kamu, bisa bicara sebentar…”, ucap Udiyo tegas. “Oh, iya. Ada perlu ama…” sahut Yore.

Sebelum berkata lebih jauh, Udiyo menatap kea rah Ariy. “Oh, ya sudah, aku ke kelas duluan saja ya…” ucap Ariy meninggalkan mereka.

“Aku dengar kamu dekat dengan Sainah, benar begitu?”
“Ya, lumayan. Ada apa memang?”
“Em, benar kalian sudah jadian?”
“A…apa, jadian?”

Udiyo menatap tajam kea rah Yore. Ia seolah mengisyaratkan bahwa jika ingin selamat maka Yore harus berkata jujur.
“Ada apa memang, itu kan bukan urusan kamu?”
“Jawab saja kalau urusannya tidak ingin panjang”
“Ya, beberapa hari lalu kami jadian…”

Petir menyambar dengan begitu keras di dada Udiyo. Hampir, ia hampir saja tak kuasa menahan emosi yang meletup di dada. Kedua tangannya menggenggam erat.

“Woi, Yo, udah masuk…” suara Ratm terdengar dari kejauhan. Seolah tersadar dari pingsar, Udiyo pun langsung beringsut, pergi meninggalkan Yore yang masih bingung dengan apa yang terjadi.


Seiring Udiyo berlalu, mendung menggantung di langit sekolah. Petir menyambar beberapa kali. Suara gemuruh memekakkan telinga. Seketika itu pula hujan deras mengguyur bumi, membasahi hati Udiyo yang terbakar.

--- Tamat---

Tag : Cerpen, Cinta, Pelajar
Back To Top