Cerita Pendek Singkat dan Jelas, Pahit Manis Kehidupan Suci di Rumah Kost

Cerita Pendek Singkat dan Jelas, Pahit Manis Kehidupanku di Rumah Kost – “Woi….! Siapa di dalam, buru gantian…! Udah siang nih!” suara melengking sahut menyahut dengan suara gaduh pintu kamar mandi digedor-gedor.


“Iya… bentar. Sabar napa!”, seseorang di dalam kamar mandi balas berteriak. Tak suka kegiatannya di ganggu.

“Wo…. Kamu lagi… mandi apa tidur sih kamu!” “Ah… bawel kamu. Cepat sana!” suasana pagi di Asrama Putri Sri Menanti selalu saja bersaing dengan pasar tradisional. Teriakan demi teriakan sahut menyatut. 

Ada saja ulah para penghuninya. Ada yang berteriak-teriak karena kesal. Ada juga yang teriak-teriak memekakkan telinga dengan lagu andalan. 

Pusing bukan kepalang, Suci yang baru beberapa bulan tinggal di rumah kost itu tampak murung. Berbeda dengan yang lain, yang sibuk mau berangkat sekolah, Suci duduk di depan kamar.

Kedua tangannya menyangga dagu. Pancar matanya menembus batas dinding tembok. Sekali dua kali ia memeluk kedua lututnya. Kadang ia menutup telinga dengan kedua tangannya. 

Penghuni kost lalu lalang di hadapannya tak membuatnya bergeming. Ia tetap tidak bergairah untuk ikut bererbut antrian mandi pagi.

“Menjijikkan benar sih kelakuan mereka itu!”, Suci menggerutu sendiri sambil melihat mereka berlarian kesana kemari.

“Suci…. Gamu enggak mau ikutan seperti mereka?”

“Ih… ogah ya. Orang kan punya prinsip. Cuma mandi saja berebut kayak anak kecil”

“Memang mereka masih kecil. Buktinya masih sekolah. Lagi pula, kita juga sama-sama masih bau kencur.”

“Kamu tuh bau jigong!”

“Eh… sialan kamu. Tapi memang benar kok… jangan sampai matang sebelum waktunya. Bahaya!”

“Gayamu Nur… kayak orang!”

“Sialan!”

Nur mengisi sebagian kekosongan hati di pagi itu. Teman Suci yang satu itu memang selalu bisa mencairkan suasana yang beku – mengingatkan Suci bahwa ia memiliki tujuan yang harus di capai.

Jam dinding terus berdetak, satu persatu penghuni kost menghilang ke kamar masing-masing. Keramaian mulai surut. “Sekarang giliranku…” ucap Suci lirih. “Eits… siapa duluan…!” Nur yang dari tadi terdiam ikut beranjak.

Sabar mungkin kuncinya, sampai di sana, ada beberapa kamar mandi yang sudah siap menanti Nur dan Suci. Mereka berdua tidak perlu berebut, hanya perlu berpacu dengan waktu kalau ia tak ingin terlambat masuk sekolah.

Menit-menit terakhir itu dimanfaatkan dengan baik, tanpa terbuang. “Suci…. Buruan 10 menit lagi” teriak Nur sembari keluar dari kamar mandi. 

“Sial… tunggu…. Tiba-tiba mules nih…!” jawab Suci. Tantangan pagi harus Suci taklukkan, ia harus berlomba menyelesaikan semuanya secepat mungkin. “Ah… kalau saja kamar mandinya tidak perlu gentian. Repot amat sih hidup di kost!”

Saat kritis seperti itu timbul rasa kesal dengan keadaan. Bahkan kadang Suci mengutuk suasana seperti itu, suasana yang sangat ia benci.

Perjuangan pagi yang melelahkan. Suci selamat – berangkat sekolah tepat sebelum gerbang di tutup. Hanya saja, satu yang tertinggal, pena. “Ah…!” ia sadar bahwa ia melupakan pena di meja belajar.

Tak ada yang istimewa. Semua berjalan seperti rutinitas biasa. Siang, ketika matahari mulai tergelincir, Suci melangkah pulang ke kost-an, sendiri. Beberapa teman lain masih di belakang. Hari itu ia terasa sangat letih. Ia ingin cepat istirahat. 

Pintu kamar di buka. Tanpa melepas sepatu ia segera masuk, membanting tubuhnya di kasur yang digelar di lantai. Dengan kakinya, ia menendang pintu kamar agar tertutup. 

“Ah… inilah surga” ucapnya menikmati keheningan suasana kost. “Kalau seperti ini aku pasti bisa beristirahat dengan tenang…”

Belum sepuluh menit Suci berbaring, ia mulai terlelap, tiba-tiba suara gaduh datang dari luar kamar. “Set dah…” Suci meraih bantal dan menutup telinganya. 

“Hak… hak… hik… hik…” beberapa anak terdengar cekikikan. “Ha… ha… ha…!” suara tawa menggelegar menghancurkan bantal penutup telinga Suci. “Ah….” Suci akhirnya bangun, ia duduk sambil memeluk kedua kakinya. 

Perlahan, ia menarik badannya, menyandarkannya di tembok kamar. Mentari mulai terbenam. Suci lupa makan siang. Badannya lemas, kepalanya terasa pusing. Ia tak mampu bangkit. Wajahnya sedikit pucat. 

Ia berusaha bangun. Meringis menahan kepala yang terasa berputar-putar. Sesaat kemudian, yang ada dalam pandangannya hanya gelap. Kemudian, ia tak ingat apa-apa. Pingsan.

Selepas magrib, ia sudah sadar. Ia tersentak kaget mendengarkan banyak suara anak-anak. Ketika ia membuka mata, ia berbaring dan dikelilingi oleh anak-anak teman se-kost. 

Saat itulah ia terenyuh. Salah satu teman di sisi kiri mengipasinya dengan sebuah buku. Di bagian bawah ada seseorang yang memijit-mijit da nada juga yang sibuk dengan ponsel.

“Oh… ternyata… aku baru merasakan bahwa mereka sebenarnya baik. Bahkan… oh, si Indri yang super bawel itu…” Suci pun tak mengira meski dalam kesehariannya banyak teman-teman di sana seperti cuek dan tidak peduli, ternyata mereka tidak seperti yang Suci bayangkan.

“Aku kenapa…”
“Tadi kamu pingsan… kamu tidak apa-apa?”

“Oh… kepalaku pusing…”
“Ya sudah kita panggilkan dokter saja ya…”

“Oh mungkin dia masuk angin…”

“Iya… kamu sudah makan belum?”
“Em… belum…”

“Nah… kan. Jangan sampai lupa makan Suci… meski sibuk belajar tapi kan kita harus jaga kesehatan!”

“Benar itu, dari pada nanti tidak bisa sekolah karena sakit…”

“Eh… terus, ini bagaimana. Mau ke dokter tidak?”
“Udah… udah enggak usah… aku enggak apa-apa kok!”

Salah satu dari mereka kemudian mengambilkan makanan untuk Suci. Ditemani beberapa orang temannya, Suci pelan-pelan melahap makanan yang disediakan oleh teman satu kost-nya. 

---oOo---

Back To Top