Contoh Cerpen tentang 1 Muharram

Contoh cerpen tentang 1 Muharram juga merupakan karya sederhana yang dapat menjadi bahan bacaan saat santai di akhir pekan atau di sore hari. Cerpen ini renyah dan ringan sebagai bahan bacaan kala tidak ada kerjaan. 

cerpen tentang 1 muharram
Contoh Cerpen tentang 1 Muharram
Rekan yang suka dengan kisah menarik bisa menikmati karya ini seperti karya lain yang sudah lebih dulu dibagikan.

Mendengar kata "1 muharram" tentu bisa ditebak bahwa karya cerpen ini sedikit kental dengan nuansa religi. 

Ya, tapi tentu saja tidak bisa dipastikan bagaimana isinya sebelum dibaca secara langsung. Jadi, rekan semua yang sedang mencari cerpen atau kisah-kisah menarik dipersilahkan langsung membacanya. 

Penghambat Rencana Nikah
Cerpen tentang 1 Muharram

Gelisah dalam gelap, lantas hati bertanya-tanya tentang sebenarnya apa solusi, solusi, dan solusi untuk permasalahanku. 

Lahir dan hidup di lingkungan yang memegang erat hal mistis, tahayul, dan juga mitos, cukup berat untukku melakukan daya upaya yang sesuai dengan keinginan hati dan aqidah.

Sedang di sana nampak hati yang sudah siap untuk di jemput dan berjalan menuju tangga pelaminan. 
Ya, gadis manis, sholehah yang akan menemaniku pergi ke surga yang berisi gemricik sejuk pemandangan dan aliran sungai. 

Namun hati yang sudah dijemput menuju tangga pelaminan tersebut terpaksa harus ku balas dengan segumpal kecewa karena keinginan orang tuaku.

Orang tuaku melarang menikah pada bulan Muharam ini, kalau mungkin aku berani menentangnya maka aku akan terkena sial dan akan terkena musibah. 

Aku tidak percaya dengan tahayul itu, tetapi aku hanya mengahargai orang tuaku sebagai orang tua yang telah melahirkanku. 

Orang tuaku memang dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga Islam yang kolot, serta masih memegang teguh ajaran tahayul, mistik, dan mitos.

Awalnya akupun demikian mengikuti dan menjalankan apa yang telah orang tuaku ajarkan, yaitu menjadi orang Islam yang kolot, percaya tahayul, mistis dan mitos. 

Tetapi kini berbeda setelah aku menempuh pendidikan yang lebih tinggi lagi, aku dapat membandingkan mana yang menurutku benar dan mana yang menurutku salah.

Tetapi meski aku sanggup mengalah karena menghormati orang tuaku dan juga menghargai apa yang diajarkan oleh orang tuaku kepadaku. 

Pihak keluarga dari kekasihku Kinar belum bisa menerima begitu saja tentang kepercayaan yang dipegang teguh oleh orang tuaku. 

Kinar sang gadis cantik dan manis calon istriku memang dilahirkan dari keluarga Islam moderat, sehingga tidak percaya dengan hal tahayul, mistis, dan mitos.

Lain dan berbanding terbalik dengan keluargaku yang memegang Islam koservatif yang akidahnya masih didominasi dengan budaya, dan kepercayaan tentang tahayul, mistis, dan mitos.

Malam yang gelap, sedang adzan berkumandang begitu indah, nampaknya muadzin sudah begitu terlatih melafalkannya hingga begitu menggetarkan tubuh dan jiwa. 

Sementara ku basuh anggota tubuhku untuk mensucikan diri sebagai syarat untuk menghadap sang Ilahi. Aku berjalan seusai membasuhkan air wudhu di anggota tubuhku, sementara aku berjalan dari tempat wudhu ke dalam masjid.

Sentuhan tangan mendarat di pundak hingga mengejutkan hati, siapakah gerangan hati bertanya-tanya, dan tidak bisakah dia meanggil saja tanpa menyentuh pundaku dan membuatku panik. 

Aku berbalik badan ternyata dia adalah ayah dari Kinar, langsung saja aku  menjabat tangannya dan berkata,"Bapak –Sedikit kaget tetapi tertumpuk oleh senyuman dari bibirku – ".

"Bagaimana kabarmu Ari, lama aku tidak melihatmu – Ungkapnya sambil terus memandangku dengan tersenyum –".

"Ya, aku baik-baik saja pak, bapak baik bukan –Ungkapku setelah melepaskan salam dan ayah Kinarpun melepas salam –".

"Bapak baik, kau mampirlah ke rumah setelah pulang dari masjid, ada yang mau bapak bicarakan –Ungkapnya dengan sedikit raut wajah yang serius, sepertinya ada hal yang sangat penting –".

Belum sempat aku mengatakan ya, ikomat dikumandangkan oleh muadzin tanda sholat akan dimulai. Aku dan ayah Kinar segera mengambil barisan shof, dan merapatkan barisannya. 

Sementara Imam melafatkan takbir dan memimpin sholat untuk para makmum masjid yang telah hadir di sholat magrib ini.

Tak lama terdengar sang imam membacakan surat Al-Fatehah – surat wajib dalam sholat – sementara aku masih terfikir akan perkataan dan ajakan ayah Kinar. 

Ada apakah gerangan hati bertanya-tanya hingga sedikitpun nampak tidak terdengar suara yang sangat keras menggunakan toa dari Imam sholat. 

Beberapa waktu kemudian semua makmum mengucap "Amin", dan fikiranku mulai bangun bahwa aku dalam keadaan sholat. 

Aku berusaha memfokuskan sholatku, serta berusaha tidak memikirkan perkataan ayah Kinar. Kewajibanku sebagai umat Islam sudah selesai kutunaikan. 

Aku beranjak dari masjid dan menunggu ayah Kinar. Ayah Kinar sudah di luar dan akupun langsung beranjak berjalan bersama dengan rasa canggung di dalam hati dan fikiranku, karena berjalan dengan calon mertua hehe.

Sesampainya di rumah Kinar, Ibu Kinar membukakan pintu setelah ayahnya sudah mengetuk sebanyak tiga kali dengan ujung jari yang besar dan sedikit kriput karena usia. 

Aku di persilahkan duduk, sementara ayah Kinar memanggil Kinar,"Kinar.! Kinar..!, ada Ari nak, keluar". 

Terdengar suara Kinar dari balik tembok dengan cat berwarna hijau, dan tidak terlalu tebal,"Iya Ayah, sebentar".

Sang gadis berbalutkan jilbab syar'i keluar dari kamar dengan lembutnya dan manisnya senyum yang dilemparkan kepadaku. 

"Mas Ari, dari masjid..? –Tanya Kinar jalan sambil menunduk menghormatiku sebagai tamu dan calon suami hehe –".

Aku yang tidak luput dari senyumku melihat senyumnya menjawab pertanyaannya,"Iya aku dari masjid bareng dengan bapak – jawabku dengan nada lembut dan sangat sopan –".

"Ehem, Ehem – suara batuk buatan dari ayah Kinar seolah melarang kami bertatap mata berlama-alam –".

"Jadi begini nak Ari, bapak membawamu ke sini ingin membicarakan sesuatu kepadamu – ungkap dengan nada serius –".

 "Membicarakan apa pak – Tanyaku dengan rasa penasaran –".

"Usia perkenalan kalian sudah cukup matang, dan umur juga sudah sama-sama matang, bapak dan ibu Kinar menginginkan agar kalian segera menikah, untuk menghidari zinah mata. 

Semakin cepat nikah kan semakin baik, bukankah Siti Aisyah juga pernah berkata,"Anikahu Sunatu – Nikah adalah sunahnya dan sunah nabi –, jadi ada baiknya dipercepat".

Mendengar ungkapan ayah Kinar aku menjadi begitu panik, lidahku nampak kaku dan fikiranku tidak menentu. Akupun hingga tidak tahu apa yang mesti aku katakan kepada ayah Kinar dan Kinar. 

Sementara aku lihat Kinar tersenyum-senyum sambil sedikit menunduk. "Sebenarnya akupun ingin mempercepat pernikahan Kinar pak. 

Tetapi sebelumnya saya minta maaf keluarga saya enggan memberi restu menikah pada bulan muharam ini –Jawabku sambil sedikit menanggung panik dan malu –".

"Mengapa..?" ungkap ayah Kinar. sementara Kinarpun langsung mengankat kepala terkejut dengan ucapanku".

"Keluarga saya datang dari agama Islam yang masih percaya dengan hal-hal tahayul, mistis, dan mitos pak, jadi orang tua saya melarang 

menikah di bulan Muharam karena khawatir kalau saya mendapatkan bahaya atau musibah pak –Ungkapku dengan mata berkaca-kaca –".

"Bulan Muharam itu bulan baru dalam kalender Islam, dan bulan Muharam juga sama baiknya dengan bulan-bulan lain, jadi tidak ada istilah akan adanya terjadi musibah bila menikah pada bulan 

Muharam, apakah kau sudah katakan itu pada orang tuamu –Jawab ayah Kinar dengan nada cukup tinggi dan urat leher keluar –".

"Ya pak, aku sudah mengatakannya, tetapi karena orang tuaku sudah dididik dari bayi untuk memegang kepercayaannya itu maka akupun sebagai anak tidak bisa berbuat banyak. 

Nampak orang tua Kinar dan juga Kinar sedikit memperlihatkan wajah murung, tetapi aku tetap akan terus merayu orang tuaku agar pernihakan kami direstui, ungkapku menyakinkan orang tua Kinar dan Kinar". (Arif Purwanto)

Back To Top