Contoh cerpen tentang tanggal 10 November berikut ini bisa dikatakan sebuah karya cerpen sederhana yang cukup menarik. Secara khusus karya ini mengangkat tema mengenai sejarah bangsa Indonesia. Dalam kisahnya tentu saja ada nilai-nilai edukasi yang mungkin ingin disampaikan oleh sang penulis.
Meski erat dengan tema pendidikan namun bukan berarti membosankan bukan? Ya, apapun tema sebuah karya sastra biasanya akan memiliki sisi unik dan menarik yang bisa digali.
Karya berikut pun tentu demikian, memberikan sebuah wawasan sekaligus inspirasi untuk mengingat dan belajar dari sejarah. Kira-kira ceritanya seperti apa ya?
Contoh Cerpen tentang 10 November 1945 |
Karya berikut pun tentu demikian, memberikan sebuah wawasan sekaligus inspirasi untuk mengingat dan belajar dari sejarah. Kira-kira ceritanya seperti apa ya?
Tentang Cerita Kakek
Cerpen tentang Peristiwa 10 November
Anak kecil memang selalu punya cara untuk mengobati rasa penasaran yang datang melanda hati dan fikiran.
Ya, itulah yang juga aku lakukan ketika aku merasa begitu penasaran dengan tingkah para pelajar yang pada 10 November ini menggelar peringatan.
Aku tidak tau pringatan apa ini, yang mereka katakan hanya peringatan 10 November.
Ya, itulah yang juga aku lakukan ketika aku merasa begitu penasaran dengan tingkah para pelajar yang pada 10 November ini menggelar peringatan.
Aku tidak tau pringatan apa ini, yang mereka katakan hanya peringatan 10 November.
Fikiranku menjadi lebih penasaran ketika pelajar-pelajar tersebut juga menjadi bersedih, layaknya ada masalah yang sangat gawat yang sedang mereka alami.
Tetapi di situ akupun tidak melihat mereka di sakiti, tidak melihat mereka terluka, serta di situpun aku tidak melihat ada salah satu teman yang sakit ataupun meninggal.
Tetapi di situ akupun tidak melihat mereka di sakiti, tidak melihat mereka terluka, serta di situpun aku tidak melihat ada salah satu teman yang sakit ataupun meninggal.
Itulah pertanyaan-pertanyaan dari dalam otak kecilku, dari bocah yang baru saja berumur lima tahun. Kakeku adalah seorang pengajar yang sudah sangat senior di Badung, Bali.
Tetapi semangatnya berani di adu dengan orang-orang yang usianya lebih muda 10 tahun darinya.
Tetapi semangatnya berani di adu dengan orang-orang yang usianya lebih muda 10 tahun darinya.
Namaku Vika, aku sering diajak kakek ke sekolah tempatnya mengajar, dan pada 10 November kali inipun aku diajaknya untuk melihat peringatan 10 November.
Di sana nampak ada penyampaian pidato, serta menyanyikan lagu kebangsaan. Namun suasana hening, tegang, serius, membuatku tidak memberanikan diri untuk bertanya banyak kepada kakek,
tentang apa yang sedang dilakukan oleh para pelajar tersebut. Aku hanya melihatnya sebentar dan kemudian masuk ke dalam ruang kelas dan duduk sendiri, sambil menunggu kakek selesai mengikuti acara dan menemuiku.
Di sana nampak ada penyampaian pidato, serta menyanyikan lagu kebangsaan. Namun suasana hening, tegang, serius, membuatku tidak memberanikan diri untuk bertanya banyak kepada kakek,
tentang apa yang sedang dilakukan oleh para pelajar tersebut. Aku hanya melihatnya sebentar dan kemudian masuk ke dalam ruang kelas dan duduk sendiri, sambil menunggu kakek selesai mengikuti acara dan menemuiku.
Meski aku tidak bisa mengobati rasa penasaranku tentang 10 November lebih dalam sekarang, tetapi aku akan meminta kakek untuk menceritakan 10 November pada saat hendak sampai jam tidurku malam nanti.
Sepuluh menit berselang, dengan wajah berkeringat karena sedikit terpapar matahari di lapangan kakek mendatangiku di kelas, dan mengajaku pulang.
"Hey sayang, ayo kita pulang – datang dan langsung membawaku pergi dari kelas–. Sementara aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya tentang peristiwa 10 November.
Akupun hanya tersenyum sambil berpegangan pada leher kakeku. Kami bergegas pulang dengan mengendarai motor bebek tua milik kakeku.
Yah aku bangga dengan kakek yang bisa bahagia dengan kesederhanaan yang kakeku miliki. "Apakah kau lapar..?" tanyanya sambil melihat wajahku.
Akupun melihat wajah kakek sambil berkata "Ya aku lapar, ini jadwal makanku".
"Hey sayang, ayo kita pulang – datang dan langsung membawaku pergi dari kelas–. Sementara aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya tentang peristiwa 10 November.
Akupun hanya tersenyum sambil berpegangan pada leher kakeku. Kami bergegas pulang dengan mengendarai motor bebek tua milik kakeku.
Yah aku bangga dengan kakek yang bisa bahagia dengan kesederhanaan yang kakeku miliki. "Apakah kau lapar..?" tanyanya sambil melihat wajahku.
Akupun melihat wajah kakek sambil berkata "Ya aku lapar, ini jadwal makanku".
"Bersabarlah sebentar lagi kita akan sampai rumah" – Berkata sedikit memperlihatkan raut wajah yang sedikit sungkan.
Sementara tangan kakek dengan kulit kriputnya, masih bisa mengendalikan setang motor tua yang kami kendarai.
Nampak di tangan tuanya terlihat jam yang sangat kelasik bermerekan Gues, sedangkan disela jari-jarinya nampak cinci batu yang mempunyai warna kurang menarik serta kusam.
Sementara tangan kakek dengan kulit kriputnya, masih bisa mengendalikan setang motor tua yang kami kendarai.
Nampak di tangan tuanya terlihat jam yang sangat kelasik bermerekan Gues, sedangkan disela jari-jarinya nampak cinci batu yang mempunyai warna kurang menarik serta kusam.
Dilihat dari bentuk dan warnannya, nampak mungkin bukan asli batu, atau kesalahan dari pengrajin yang menggosok batu secara buru-buru.
Hingga akhirnya berpengaruh kepada hasil yang saat ini kulihat dalam batu itu. Yah, tampan memang bukan yang diprioritaskan oleh kakeku, tetapi loyalitas kepada sekolah dan negara adalah yang kakek prioritaskan.
Aku sangat bangga memiliki kakeku yang hidup dengan kesederhanaan, serta memiliki semangat tinggi meski usianya tidak muda lagi.
Hingga akhirnya berpengaruh kepada hasil yang saat ini kulihat dalam batu itu. Yah, tampan memang bukan yang diprioritaskan oleh kakeku, tetapi loyalitas kepada sekolah dan negara adalah yang kakek prioritaskan.
Aku sangat bangga memiliki kakeku yang hidup dengan kesederhanaan, serta memiliki semangat tinggi meski usianya tidak muda lagi.
Hari sudah menampakan malam sementara angin meniup-niup ke arah barat daya, hingga mengoyang-goyangkan tirai dari jendela yang terbuka.
Kakek nampak duduk di bangku santai goyang sambil meletakan buku di kedua tangan. Pandangannya begitu fokus kepada lembar buku yang berisi tentang kalimat yang tersusun karya penulis.
Dia nampak tidak memperdulikan angin yang meniup-niup dan terus memfokuskan pandangannya ke buku yang dia pegang.
Kakek nampak duduk di bangku santai goyang sambil meletakan buku di kedua tangan. Pandangannya begitu fokus kepada lembar buku yang berisi tentang kalimat yang tersusun karya penulis.
Dia nampak tidak memperdulikan angin yang meniup-niup dan terus memfokuskan pandangannya ke buku yang dia pegang.
Aku yang mengenakan pakaian tidur dan hendak tidur masih begitu penasaran dengan cerita 10 November.
Mungkin inilah malam yang tepat, dan angin yang bertiup-tiup cukup kencang bisa aku jadikan alasan untuk membuat kakeku berhenti membaca buku dan menemaniku di kamar.
Mungkin inilah malam yang tepat, dan angin yang bertiup-tiup cukup kencang bisa aku jadikan alasan untuk membuat kakeku berhenti membaca buku dan menemaniku di kamar.
"Kakek, aku sangat mengantuk aku takut dengan angin yang bertiup kencang, aku ingin kakek menemaniku di kamar dan membacakan cerita untukku sampai aku tidur", memperlihatkan mata lelah serta mengucek mata seoalah begitu mengantuk.
Kakeku melihatku sambil tersenyum dan menutup bukunya dan mengatakan, "Ya tentu saja kakek akan menemanimu" – Mendirikan tubuhnya yang tua secara perlahan perlahan–.
Kakeku melihatku sambil tersenyum dan menutup bukunya dan mengatakan, "Ya tentu saja kakek akan menemanimu" – Mendirikan tubuhnya yang tua secara perlahan perlahan–.
Kami bergegas ke kamar tidur, sementara kakek di sampingku. "Kau mau kakek ceritakan apa sayang..?" –Tanya kakek dengan suara renta–.
Menarik nafas serta fokus dengan apa yang difikirkan dan berkata,"Aku ingin kakek menceritakan kepadaku tentang 10 November, aku begitu penasaran ada apa di balik 10 November".
"Haha"– Tersenyum geli mendengar pertanyaanku– ,"Mengapa kau tertawa kakek..?" –wajah sebal ditertawakan–.
"Sebenarnya usiamu belum cukup umur untuk mendengarkan cerita ini, tetapi baiklah aku akan ceritakan untukmu cucuku", berhenti tertawa dan mulai bercerita, sementara aku begitu bahagia dan menyimak cerita dari kakek sambil berbaring–.
"10 Novermber adalah hari dimana para pejuang bangsa yang datang dari pemuda Surabaya dengan gagah berani berperang dengan para pasukan kolonial, dan 10 November 1945 adalah kali pertama
perang setelah presiden Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, "Apakah kau tertidur cucuku– tanyanya melihatku terejam–, " Tidak, aku meyimak ceritamu kakek, lanjutkan".
perang setelah presiden Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, "Apakah kau tertidur cucuku– tanyanya melihatku terejam–, " Tidak, aku meyimak ceritamu kakek, lanjutkan".
"Dalam tragedi 10 November 1945 itulah banyak pahlawan yang juga berguguran, namun hingga akhirnya kemenanganpun bisa didapatkan, meski dengan kucuran darah, dengan kucuran air mata.
Dan karena keberanian para pemuda Surabaya yang menentang kolonialisme inilah 10 November dijadikan hari peringatan para pahlawan Surabaya yang dengan gagah berani menolak penjajahan di ibu pertiwi"– menjelaskan layaknya sedang di ruang kelas sekolah–.
Dan karena keberanian para pemuda Surabaya yang menentang kolonialisme inilah 10 November dijadikan hari peringatan para pahlawan Surabaya yang dengan gagah berani menolak penjajahan di ibu pertiwi"– menjelaskan layaknya sedang di ruang kelas sekolah–.
"Berarti dahulu telah terjadi perang yang besar dong kek, di Surabaya" – tanyaku seperti orang bergumam dengan mata tertutup.
"Iya dahulu terjadi perang yang cukup besar, karena ketidak relaan pihak kolonialisme atas kemerdekaan Indonesia" –Jawabnya dengan kulit mata bagian atas yang juga sedikit ke bawah–.
"Jadi seperti itu kek, sejarah dari 10 November, mulia sekali ya para pahlawan kita mau memperjuangkan kemerdekaan untuk kita" –Ungkapku menaggapi jawaban kakek sambil berbaring miring ke kanan–.
Sementara kakeku sudah tidak kuat menopang mata dan tubuhnya akibat rasa kantuk yang berlebih. "Kek tidurlah kek, aku sudah paham dengan semua ceritamu– Ungkapku merasa kasihan dengan kakek–".
Dengan mata sayup kakek masih sempat tersenyum memandangku dan kemudian beranjak dari tempat tidurku tanpa mengucapkan apapun.
"Selamat Tidur kakek–Ungkapku kepada kakek yang berjalan dengan keadaan sangat mengantuk–".
Dengan nada pelan dan tanpa berbalik badan kakek berkata,"Iya selamat tidur juga, terus berjalan dengan perlahan mengangkat kaki kanan dan kirinya yang tua secara perlahan". (Arif Purwanto)