Contoh Puisi Sosial Budaya, Menanti Hilangnya Kesenjangan

Contoh puisi sosial budaya, menanti hilangnya kesenjangan berikut ini bukan merupakan karya dari penulis professional tetapi hanya merupakan bahan hasil belajar penulis dalam menuangkan ide dalam sebuah karya sastra. 


Tentunya karya seperti ini akan lebih cocok sebagai bahan belajar untuk rekan atau adik-adik pelajar semua. Dengan melihat contoh puisi seperti ini kita bisa berlatih dan memberanikan diri untuk mencoba. 

Tidak ada salahnya, biasanya dari membaca nantinya akan timbul ide dan gambaran bagaimana membuat karya sastra seperti halnya puisi. Tentu ini juga bisa diambil pelajaran mengenai pesan moral yang ada didalam karya tersebut. 

Tidak bisa dipungkiri, di negara kita tercinta ini masih terdapat kesenjangan sosial yang begitu besar. Bahkan tak jarang kita bisa melihatnya dilingkungan sekitar. 

Kehidupan sosial budaya memang komplek. Nah, karya ini mungkin bisa menggambarkan sisi lain dari kehidupan yang ada di masyarakat. Seperti apa, mari kita simak langsung di bawah ini. 

Menanti Hilangnya Kesenjangan 
Puisi Sosial Budaya oleh Irma 

Banyak kaya, lebih banyak miskin 
Kakek menerowong lalu 
Termenung sendu 
Menatap anak cucu 

Jauh, sekarang 
Makin dalam jurang 
Makin tinggi penghalang 
Bak bumi langit 

Miskin digubuk reot 
Dibatas tembok menjulang 
Kokoh, tak mungkin dipanjat 
Tak melihat gemerlap tetangga 

Si miskin jalan kaki 
Kini kaya jet pribadi 
Di langit di bumi 
Kesenjangan makin menjadi 

Kapan berkurang 
Kapan hilang 
Tak pasti 
Tak pasti 

Pilu rasanya kalau membaca puisi yang ada di atas. Memang sederhana tetapi tema yang diangkat benar-benar membuat perasaan hanyut. Puisi di atas terdiri dari 5 bait yang pendek-pendek. 

Puisi tersebut mengangkat tema sosial budaya yang lekat dalam kehidupan di masyarakat. Pesannya sangat dalam, mungkin bisa membuka mata kita semua akan kenyataan yang ada di lingkungan. 

Ternyata, memang benar. Bukan hanya di berita, atau katanya. Nyatanya masih banyak saudara kita yang hidup jauh di bawah garis normal, garis wajar. 

Banyak dari mereka yang hanya makan satu kali dalam sehari. Banyak yang bertahan hanya dibawah lindungan kardus, atau mungkin gubuk bambu. 

Mereka yang punya rumah permanen pun banyak juga yang tak lebih baik. Tak mampu dengan semua keterbatasan. Dililit hutang, tak tenang dan memiliki kehidupan yang sangat jauh berbeda dengan orang lain. 

Ya, mudah-mudahan puisi sosial di atas bisa menjadi pelajaran serta cambuk bagi kita semua. Semoga saja kesadaran kita untuk berbagi dengan sesame bisa lebih meningkat.

Tag : Puisi, Sosial
Back To Top