Kumpulan Cerita Pengalaman Naik Kelas di Sekolah

Kumpulan cerita pengalaman naik kelas di sekolah, setelah libur panjang, masa awal masuk sekolah memang menjadi sesuatu yang cukup berkesan. Ada banyak pengalaman yang dirasakan, ada suka ada duka, ada senang dan ada juga yang sedih. Bagaimana dengan rekan semua, apa punya cerita menarik juga seputar itu?

Cerita Pengalaman Sekolah Naik Kelas

Kembali ke beberapa waktu lalu sebelum liburan di mulai, rekan pelajar telah berjuang mengikuti ulangan kenaikan kelas, hasilnya bermacam-macam, nah inilah beberapa kisah cerita seputar kenaikan kelas tersebut.

Kisah-kisah berikut sengaja disampaikan untuk sekedar berbagi kebahagiaan serta pengalaman yang mungkin tidak akan pernah dilupakan. 

Melalui kumpulan cerita berikut diharapkan kita semua sebagai pelajar bisa lebih semangat lagi dalam menjalankan aktivitas di sekolah.
Untuk karangan atau artikel kali ini akan dibagikan paling tidak dua buah judul cerpen sekaligus. Karya tersebut semua membahas tema pengalaman yang dialami oleh murid sekolah. 

Ceritanya bagus-bagus kok, dan tidak terlalu panjang jadi tidak perlu takut bosan membacanya. Cerita pertama berjudul “senangnya naik kelas”. 

Cerita tersebut menggambarkan kebahagiaan dan suka cita yang dirasakan oleh para murid sekolah yang baru saja naik ke tingkat lebih tinggi. 

Siapa tahu rekan pelajar ada yang mendapat tugas untuk buat cerpen yang mudah dihafal, bisa untuk contoh bukan?

Cerita kedua masih dengan tema yang sama namun kejadiannya berbeda. Cerpen berjudul “harus terima kenyataan” tersebut menggambarkan kesedihan dan pengalaman pahit seorang pelajar yang tidak naik kelas. Penasaran bukan dengan cerita selengkapnya, silahkan baca langsung berikut.

Senangnya Naik Kelas

Suasana sekolah begitu riuh ramai bak sudah hari raya lebaran. Idul fitri masih beberapa hari lagi tapi kebahagiaan kami seolah melebihi hari itu. 

Bagaimana tidak, setelah satu minggu menjalani ujian kenaikan kelas akhirnya kami mendapatkan pengumuman kenaikan.

“Hore…” tak henti-hentinya anak-anak di kelas bersorak-sorai merayakan kebahagiaan itu. Meski tidak semua mendapatkan nilai memuaskan tapi seluruh siswa di kelas kami naik kelas.

“Sekarang waktunya liburan tanpa beban, benar tidak, asyik!”
“Tanpa beban bagaimana maksudnya?”

“Ya elah, kan kita sudah selesai acara sekolah, sudah naik kelas, nilainya juga bagus jadi tinggal liburan lebaran dong…”

“Iya sih yang dapat peringkat kelas….”
“Yah…dia ngiri, memang nilai kamu tidak bagus apa?”
“Ya bagus sih, tapi…”

“Makanya kalau belajar yang benar, jangan tidur dan mainan handphone melulu!”
“Awas kamu ya….”
“Ya sudah, sekarang lebih baik makan-makan dulu, lapar nih…”

Setelah kegiatan di kelas selesai kami pun menyempatkan diri untuk santai di kantin sekolah. Maklum, beberapa hari lagi libur panjang dan mungkin lebih dari sebulan kita tidak akan bertemu. Dan yang terpenting usai liburan kami sudah naik kelas, itu yang harus dirayakan.

Akhirnya kami pun berlarian ke kantin. Di kantin semua membicarakan hasil semester kemarin. Ada yang puas, ada yang tidak puas tapi pada intinya mereka semua senang karena sudah naik tingkat.

Aku dan teman-teman lain pun mulai membicarakan masalah liburan. Sejenak keceriaan itu pun berganti dengan kesibukan menyusun jadwal liburan nanti. 

Ada yang berniat menghabiskan waktu di rumah kakek dan nenek, ada yang ingin liburan ke pantai dan ada yang ingin langsung menyiapkan diri untuk kelas baru.

Pokoknya tidak ada yang mau kalah. Aku dan sahabatku Sinta pun demikian, kami berencana menghabiskan waktu liburan dengan berbagai kegiatan yang menyenangkan. Aku sendiri ingin sejenak melupakan beban belajar yang aku miliki.

“Sin, lebaran nanti acara kamu apa saja?”
“Aku mau minta sangu – sejenis angpau dari sanak saudara – yang banyak. Untuk persiapan kebutuhan sekolah nanti”

“Walah, waktu liburan masih sempat saja berpikir masalah sekolah, kalau aku mau liburan saja ah”
“Iya dong, coba kamu lihat, hasil belajarku kurang memuaskan jadi harus lebih semangat!”
“Iya sih, memang nilai kamu jelek, he ehe he…”
“Dasar kamu….”

Setelah lama bersantai di kantin dan bercanda-ria satu persatu murid mulai pulang ke rumah masing-masing. Aku dan Sinta serta yang lain pun memutuskan untuk pulang karena hari memang sudah cukup siang. 

Kami akhiri kebahagiaan kenaikan kelas itu dengan saling bersalaman. Begitulah gembiranya pengalaman naik kelas yang kami rasakan.

--- oOo ---

Bagus tidak cerita pengalaman naik kelas di atas, bagus bukan? Tenang, selain kisah yang ada di atas masih ada satu lagi cerita yang bisa anda baca. Cerita yang kedua adalah kebalikan dari cerita di atas. 

Kalau cerita di atas adalah bahagia karena sudah naik ke kelas berikutnya maka cerita kedua adalah cerita sedih karena tinggal kelas.

Meski sedih namun ada pelajaran, hikmah dan nasehat yang diberikan dalam cerita cerpen tersebut. Bagus, menarik, penasaran ingin tahu bagaimana selengkapnya bukan? Ya sudah tidak perlu berlama-lama, sekarang silahkan baca langsung ceritanya di bawah ini.

Harus Terima Kenyataan
Kisah Pengalaman Tinggal Kelas

Hari terasa begitu terik membakar tubuh Tomas yang sudah separuh basah karena keringat. Pandangannya siang itu tampak kabur, pikirannya sangat kacau antara malu, cemas, gelisah dan juga takut. Tomas menyusuri jalan setapak itu sendiri, berharap jalan ini bukan membawanya pulang ke rumah.

Tatap mata Tomas bak benang kusut, bahkan ia tak berani menatap jalanan, ia menunduk sambil terus melangkahkan kakinya. Dalam benaknya ia masih terus teringat pengumuman di kelas tadi.

Semua orang bersorak kecuali dia, keceriaan kelas sama sekali tidak ia rasakan. Bagai disambar petir di siang hari, ia sama sekali tidak menyangka akan tinggal kelas, “kenapa bisa begini?”, ucapnya dalam hati sambil menahan malu.

Ketika di panggil wali kelas, Tomas hanya menunduk tak punya muka. Sang wali kelas menjelaskan hasil belajarnya, tak lupa memberikan semangat, nasehat dan arahan pada Tomas.

Tak ada yang ia dengar atau ingat, semua kata-kata itu berlalu begitu saja. Saat itu yang Tomas bayangkan adalah kemurkaan kedua orang tuanya mendapati dia tidak naik kelas.

Segera setelah sang guru selesai ia langsung bergegas keluar kelas dengan wajah murung. Beberapa teman sempat menyapa tapi ia diam dan bergegas setengah berlari. 

Ia benar-benar takut akan dihukum oleh sang ayah pasalnya beberapa hari lalu orang tua Tomas telah berkata akan menghukum Tomas jika sampai nilainya buruk.

Dengan terus membawa rasa takut yang semakin berat di pundaknya, Tomas terus mencoba mengarahkan langkah kakinya ke rumah. Ada keinginan kuat untuk pergi dari rumah, tapi masih ada rasa takut.

“Apakah mungkin ayah akan menghukumku karena ini”, ia mencoba menebak apa yang akan ayahnya lakukan ketika mendengar anaknya tidak naik kelas. Tanpa terasa, meski langkahnya begitu pelan, akhirnya Tomas sampai di depan rumahnya.

Ia berhenti sejenak, ia tampak ragu untuk meneruskan langkahnya. “ya ampun….bagaimana ini?”, ucapnya gemetar.

“Tomas, kamu sudah pulang…sini buruan nak ibu siapkan makanan kesukaanmu!” tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita dari rumah itu. 

Spontan Tomas hendak langsung berlari mendengar kalimat itu tapi ia pun langsung berhenti, ia ingat bahwa ia membawa berita buruk bagi keluarganya.

Akhirnya, ia pun masuk rumah, “bu…maafkan aku ya bu…. Aku…”, ucap Tomas tertahan. “Ada apa nak, kamu ada masalah di sekolah… sudah nanti saja sekarang kamu makan kue ini dulu ya….”, jawab sang ibu sambil menyodorkan sepiring kue klepon.

“Anu bu…. Tomas tidak naik kelas, maaf ya bu….”, ucap Tomas
“Apa….. kamu bilang apa Tomas!”, tanya sang ibu dengan nada meninggi.
“Aku tidak naik kelas bu…”, jawab Tomas sambil menunduk

Sang ibu pun terdiam sejenak lalu ia pun kembali berkata, “sudah, kamu ganti baju dulu setelah itu makan kuenya, ibu akan masak”, ucap ibunya sambil berlalu ke belakang.

Tomas benar-benar merasa takut, meski tidak keluar kata kasar dan makian dari mulut ibunya namun ia tahu bahwa ibunya marah. Ia pun tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menuruti perintah ibu saat itu.

Waktu berlalu sampai pada sore hari sang ayah pulang dari bekerja. Tomas tidak berani menemui sang ayah, ia hanya berdiam diri di kamar sambil ketakutan. Sampai malam, bahkan ia sampai tertidur pulas karena kelelahan menahan takut.

Ke esokan harinya pagi-pagi sekali Tomas sudah berbenah kamar. Tidak ada kejadian apa-apa sampai siang ia dirumah, ayah dan ibunya juga tidak memarani dirinya.

Sampai ketika malam sang ibu memanggil Tomas untuk makan malam bersama. “Tomas, makan malam sudah siap nak, yuk makan mumpung ayah juga mau makan…” teriak sang ibu dari ruang makan. “Iya bu…”, jawab Tomas pelan sambil menuju ke ruang makan.

Suasana makan dimulai, awalnya tampa sang ibu mencoba mencairkan suasana sampai akhirnya suasana berubah menjadi tegang dan serius. 

Di waktu itulah Tomas mendapatkan segalanya, amarah sang ayah, nasehat, peringatan, ancaman serta yang terakhir dukungan.

“Sekarang kamu sudah membuktikan sendiri bukan apa yang ayah katakan, malu kan rasanya?”
“Iya Yah… Tomas minta maaf”

“Untuk apa kamu minta maaf sama ayah, yang rugi kan kamu jadi kamu minta maaf sama diri kamu sendiri… kalau begini terus masa depan kamu yang hancur, kalau ayah sih sudah sukses!”
“Ayah kamu benar nak, belajar itu untuk kepentingan kamu sendiri, untuk bekal kamu kelak…”
“Iya bu… Tomas mengerti”

“Sekarang yang berlalu biarlah berlalu, kamu harus terima kenyataan dan mau mengulang di kelas itu, dan yang penting kamu harus berubah!”

Dengan penjelasan dan arahan dari kedua orang tuanya akhirnya Tomas benar-benar sadar akan kesalahannya selama ini. 

Ia yang awalnya tak menduga orang tuanya akan bersikap lembut seperti itu pun akhirnya mendapatkan pelajaran hidup yang sangat berharga. Beruntung Tomas memiliki orang tua yang pandai dan tidak hanya bisa menyalahkan anak.

--- oOo ---

Back To Top