Hilang Tiga Hari Usai Mandi Di Waduk, Marjuna Ditemukan Tewas

Hilang Tiga Hari Usai Mandi Di Waduk, Marjuna Ditemukan Tewas – “Mau kemana, main jangan jauh-jauh…!” Ponikem meneriaki anaknya yang baru beberapa langkah berlari di halaman rumah.

Hilang Tiga Hari Usai Mandi Di Waduk, Marjuna Ditemukan Tewas

“Main…!” Tanpa menunggu suaranya terdengar sampai telinga sang ibu, Mar langsung ngebut, berlati menyusul beberapa temannya. 

Sesaat kemudian, Marjuna – anak nomor tiga dari lima bersaudara pasangan Sorno dan Ponikem tersebut sudah bergabung dengan “geng” bermainnya. Marjuna dan ketiga temannya tampak begitu riang. Tak ada sedikitpun beban di matanya.

Hari itu, mereka akan mandi di waduk – seperti yang sudah mereka rencanakan kemarin. Keempat anak itu bergegas mengayunkan kakinya menuju Waduk Jati, tak jauh dari rumah Marjuna. 

Di jalan setapak yang penuh kerikil, mereka bertelanjang kaki. Awan di atasnya menggulung berkejaran, tak mau dipecundangi oleh anak kecil. 

Pelan, angin berhembus membawa butiran bening jatuh ke bumi. Pepohonan menengadahkan tangannya yang mungil, menyambut rintik hujan. 

Anak-anak itu tak peduli, tak sadar rintik hujan membasah sebagian rambut dan tubuhnya. Mereka terus berlari dan bernyanyi. Sekitar 100 meter sebelum sampai ke waduk, mereka bertemu dengan anak-anak lain. 

“Mau kemana kalian. Main di waduk yuk?”
“Ye…. Ini juga akan kesana!”

Gayung bersambut. Mereka tak sendirian. Sampai di lokasi, ternyata disana juga sudah ada beberapa anak – anak yang bermain. Marjuna melongo seperti tak pernah melihat anak bermain di waduk. 

Tampak di wajahnya ia begitu kagum melihat anak-anak riang bermain di air. 

“Byur…”, satu persatu dari mereka memasuki air. Beberapa langsung melompat ke waduk. Beberapa lainnya melepas terlebih dahulu baju yang dikenakan. 

Seperti berbacu dengan yang lain, Marjuna tak mau kalah. Dengan sigap ia melepas bajunya dan langsung melompat. 

Seperti di pasar, suasana begitu riuh dengan teriakan. Tak ada satu pun dari mereka yang tenang. Berenang kesana – kemari, menyelam dan bahkan main petak umpet di dalam air.

Matahari mulai tergelincir, awan pun beringsut membiarkan anak-anak bermain. Beberapa orang dewasa yang melintas di sekitar waduk pun hanya tersenyum melihat anak-anak itu bermain. Meski ada sesekali dari mereka yang memperingatkan agar hati-hati.

Hari tak mau berhenti, sebentar lagi sore menjelang. Satu persatu dari mereka mulai meninggalkan lokasi. Ada yang pulang berdua, ada yang bertiga. Ada pula yang berlari-lari menyusul temannya karena takut tertinggal. 

Dalam setengah jam, waduk berubah menjadi kuburan, sepi senyap bahkan tak ada riak air yang tersisa.

Di sebuah rumah semi permanen, tampak seorang pria duduk mematung di kursi bamboo menghadap ke jalan. 

“Mana pak, sudah pulang belum Marjuna?”
“Mana… kalau sudah pulang kan disini. Mbok biar to, sebentar lagi kan pulang!”

“Sebentar lagi bagaimana to pak, ini sudah jam berapa. Sudah setengah enam ini pak! Mbok ya disusul. Tadi kata Mbokde Sumi anak kita main di waduk loh!”

“Yo wes, tak susul!”

Pria yang separuh rambutnya mulai putih itu bangkit dari duduknya. Ia segera menapaki jalan setapak penuh kerikil di rumahnya. 

“Mau kemana pakde?”
“Ini loh mari nyari Marjuna…”

“La… kemana. Sudah sore kok belum pulang?”
“Yo entah ini… katanya tadi main di waduk”
“Loh…”

Selang beberapa meter berjalan Sarno melihat seorang anak berlari hendak menuju belakang rumah. 

“Le… Le…” teriaknya
“Ono opo pakde?”

“Kamu tadi smaa Marjuna tidak, kok belum pulang dia…”
“Lah… tadi main di waduk. Tapi sudah pulang pakde…”
“La terus kemana lagi anak ini…! Semprol!”

Sarno mulai kesal. Ia tak lagi menanyakan dengan siapa anaknya pulang dan kapan anaknya pulang dari waduk. 

Penasaran dan takut ada apa-apa, Sarno tetap melangkahkan kakinya menuju waduk sambil terus celingak-celinguk melihat ke kanan kiri. 

Hening, sepi. Sesampainya di waduk ia tidak mendapati siapapun. Ia lantas putar arah, kembali ke perkampungan. 

Tak langsung pulang ke rumah. Ia menyatroni dulu beberapa rumah teman anaknya. Satu persatu mendapatkan pertanyaan yang sama, “kamu lihat Marjuna tidak?” Jawaban dari anak – anak itu pun sama, “sudah pulang”. 

Dari lima anak yang ditemui semua mengatakan bahwa Marjuna sudah pulang dari waduk. Tapi tak satu pun dari mereka yang bisa memastikan bahwa mereka benar-benar bersama Marjuna. Singat mereka semua sudah pulang. Tapi mereka lupa. 

“Mungkin sudah di rumah Kang, wong saya juga tadi lihat anak-anak bubar”
“Yo mudah-mudahan. Yo wes, permisi yo…”

Sampai di depan rumah, Sarno melihat sang istri dan anak-anaknya berdiri di depan. Hatinya berdesir, rasa sangat khawatir pun berkelebat di pikirannya. 

“Mana Marjuna pak!”
“Belum pulang to bu? Enggak ada bapak cari, semua temannya mengatakan sudah pulang dari waduk!”

“Owalah le… nang endi koe ki!”

Ponikem tak sabar. Ia menyingsingkan jarit dan setengah berlari. Sebagian anak-anaknya pun ikut mengekor di belakang ibunya. Sarno mondar-mandiri bersama anak sulungnya. 

“Ono opo kang. Kok mondar-mandir saya perhatikan?” seorang tetangga samping rumahnya menghampiri Sarno. 

“Ini kang No, Marjuna belum pulang” jawab Sarno
“La kemana?” Tanya tetangga itu.

“Tadi siang katanya main di waduk, tapi sudah pulang!” jawabnya
“Ada yang melihat endak waktu pulang?” Tanya sang tetangga lagi.
“Endak tahu…” jawab Sarno bingung dan cemas.

“Yo wes, Par kamu bilang mbokde mu, ajak Kang Tono kesini… kita cari bersama-sama ke waduk” ucap tetangga Sarno.

Hari sudah mulai gelap. Sarno, Parlan anak sulungnya serta Noto dan salah satu anaknya segera bergegas ke waduk sambil menenteng senter. “Kita tanya satu – satu dulu ke anak-anak”, ucap Tono. 

“Le… pas pulang kamu melihat Marjuna tidak?” tanya Tono. “Endak pakde. Endak sama saya” jawab anak itu. 

“La kok kamu bisa bilang sudah pulang?” lanjut Tono. “La wong semua langsung pulang kok. Ndak ada yang tersisa”, jelas anak itu.

“Tapi kamu ndak lihat Marjuna kan? Waktu pulang” tegas Tono. “Endak”, jawabnya singkat. “Ya sudah, bantu baked yuk…”, ucap Tono, “kang, kita bantu cari Marjuna ya”, lanjutnya pada ayah sang anak tadi.

“Yo… wes kita langsung ke waduk saja!”, ajak orang tersebut. 

Akhirnya, Sarno ditemani beberapa tetangga lain menuju waduk. Tono dan anaknya tidak ikut. Mereka mendatangi anak-anak yang bermain bersama Marjuna siang tadi. Ia memastikan ada atau tidak yang melihat Marjuna waktu pulang dari waduk. 

Dalam setengah jam, Tono sudah ditemani banyak orang. Mereka kemudian langsung menuju ke waduk. Di waduk sudah banyak orang. Sarno dan istrinya sudah disana bersama anak-anaknya yang lain. 

Teriakan dan panggilan di sekitar waduk mulai menggemai. Orang-orang mulai menyisir daerah sekitar waduk. Salah satu dari warga kemudian mendekati Ponikem dan berdiri bersama anak-anaknya. 

“Yo… apa tidak sebaiknya kita tanya ke Mbah Tumijan. Siapa tahu dia bisa bantu?”

“Iyo, iyo kang…”

“Yo sudah. Aku tak bilang dulu sama kang Sarno. Habis ini sampean pulang sama aku ke tempat Mbah Tumijan. 

Sekitar lima belas menit, Ponikem sudah sampai di rumah Mbah Tumijan, sesepuh di kampung yang dikenal memiliki kemampuan lebih. 

“Mbok gole’ono nyang waduk kui… ra adoh…”

Satu-satunya petunjuk adalah waduk. Tapi malam dan cuaca yang tidak menentu menyulitkan penduduk untuk mencari Marjuna. Sementara Ponikem kembali ke rumah dan memeriksa seluruh rumah tapi tetap tidak menemukan anaknya itu. 

Esok harinya, warga segera lapor ke kelurahan. Orang-orang yang memiliki kemampuan berenang dan menyelam langsung terjun ke lapangan, mencari Marjuna di waduk.

Satu hari berlalu, rumah sarno mulai dihujani tangisan. Ponikem tak henti-hentinya meronta dan menangis. 

Anaknya yang bungsu pun demikian sementara Sarno berada di lokasi. Matanya tak luput dari orang-orang yang silih berganti menyelam di waduk itu sambil terus mengucap doa. 

Ia dilarang ikut menyelam, meski ia mampu, karena itu sangat berbahaya. Menjelang siang, tim pencari beristirahat tanpa hasil. Sampai sore pun demikian. Sarno harus pulang menahan getir.

Pencarian terus dilakukan bergantian. Rumah Sarno sudah semakin ramai, beberapa tetangga bahu-membahu memasak untuk orang di waduk.

Hari ketiga, ketika harapan sudah mulai pupus, kabar itu pun datang. “Marjuna sudah ketemu. Sedang dibawa pulang”, ucap salah satu dari tim pencari.

“Seng sabar Kang, seng sabar Yu…”

Ponikem dan Sarno yang gagah tak bisa lagi membendung air mata. Apalagi ketika mereka melihat orang-orang membawa Marjuna yang tubuhnya sudah kaku dan mulai membengkak tak bernyawa.

---oOo---

Back To Top