Nonton MU vs Tottenham, atau Temani Pacar Belanja Kosmetik Agar Lebih Cantik – gambar bola yang menggelinding tak pernah meninggalkan pikiran Partjan, barang sedetik sekalipun. “Oh… jangan sampai terjadi”.
Ia membayangkan bagaimana mengerikannya jika melewatkan pertandingan untuk team kebangaannya.
Sesibuk-sibuknya ia belajar tidak lebih sibuk ketika ia menyelam online mencari berbagai hal tentang bola. “Pilih aku atau bola…” kalimat itu pernah sekali melintas dikepalanya ketika ia sedang berjalan dengan sang pacar.
“Aduh repotnya, punya pacar katanya senang, tapi ini sebaliknya. Jadi tak tenang”, gumamnya sambil mengingat wajah pacarnya yang cemberut ditinggal nonton bola.
Sudah jam sebelas malam. Handphone masih berteriak-teriak ingin mengalahkan suara siaran bola yang sedang dipelototi oleh Partjan.
Sesekali Partjan mengeluar ponsel tersebut tetapi lebih sering mengabaikannya. “Gol…!” teriak Partjan sambil berjingkrak ketika melihat bola menggetarkan sebuah gawang. Layar televisi sebesar rumah yang ada di depannya pun nyaris goyang. “Akhirnya…” ia lantas duduk kembali.
Diraihnya ponsel yang berdering panjang. Matanya tertuju pada layar ponsel, diam. Ia membiarkan ponselnya berteriak-teriak, menangis. Tak peduli, ia justru membanting ponselnya ke tempat tidur.
Setengah jam kemudian berlalu, senyum puas tersungging di bibir Partjan. Ia merebahkan bandannya di pembaringan.
Meraih ponsel, jarinya pun menari, meliuk indah. “Maaf ya Dek… Kakak ketiduran…” sebaris kata tampak terpampang di layar ponsel. Ia segera menekan tombol kirim.
Terlentang, ia memandang langit-langit kamar. Tampak di sudut plafon, sebuah jaring laba-laba mulai besar. Ia tersenyum kecil.
“Iya… jangan lupa besok ya Kak… jadi temani kan?”, sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponselnya. Dengan malas, Partjan membalas pesan dari pacarnya itu, “Iya…” jawabnya singkat.
Masih dua hari lagi. Lusa adalah jadwal main yang sudah lama ia nantikan, “MU vs Tottenham, tidak akan pernah aku lewatkan pokoknya…” ucapnya sambil memejamkan mata.
Hari yang ditunggu telah tiba. Malam nanti big match yang harus membuat Partjan begadang. Maklum, pertandingannya dimulai jam dua dini hari.
Tapi tidak ada masalah baginya, apalagi ada Mamat keponakannya yang juga akan ikut nimbrung. “Pasti seru…” gumam Partjan tak sabar menunggu malam.
Saking seriusnya dengan pertandingan itu Partjan lupa bahwa besok siang ia harus menemani pacarnya untuk pergi belanja kosmetik.
Dari sore, Partjan dan Mamat asyik berbincang, sambil menunggu pertandingan dimulai. “Bang, apa enggak sebaiknya kita istirahat dulu…” tanya Mamat.
Partjan pun langsung menjawab, “ngapain, biasanya justru kalau kita tidur dulu bisa ketinggalan. Ini kan pertandingan besar”, jawabnya.
Akhirnya mereka pun sibuk sendiri. Tengah malam, mereka mulai kelimbungan. “Perutku keroncongan…” ucap Partjan.
“Bikin mie aja Mat… buruan…!”, ucap Partjan. “Bener mau Bang”, ucap Mamat memastikan. “Iya sana…. Yang pedas ya!”, jawab Partjan.
“Beres bos…!”
Mamat pun meluncur ke dapur. Beberapa jam lagi pertandingan di mulai. Hampir setengah dari persediaan mereka telah dibabat habis, tapi perut mereka belum penuh. Makin malam justru makin terasa laparnya.
Meski hanya berdua, Mamat dan Partjan sangat asyik. Makin malam mereka makin semangat, tidak merasa ngantuk atau lelah. Hingga akhirnya pagi pun menjelang.
Mamat dan Partjan tergeletak di depan televisi. Suara dengkuran terdengar bersahut-sahutan dengan suara pembawa berita. Jam sembilan pagi, mereka sedang pulas-pulasnya.
Jendela rumah masih tertutup rapat. Lampu – lampu masih menyala, mencoba mengalahkan sinar mentari di luar rumah. Kendaraan pun mulai lalu lalang.
Di bawah kaki Mamat, sebuah ponsel tampak berkedip-kedip. Bunyinya nyaring tapi kalah nyaring dari elevisi.
Di sela layarnya yang berkedik tampak tulisan 50 pesan baru belum terbaca. Setelah itu, ada tulisan “Dedek memanggil…” diiringi lampu kedip dan dering yang tak kunjung berhenti.
Sayup-sayup suara ponsel itu sampai ke telinga Partjan. Matanya sedikit terbuka. Tangannya berjuang meraih ponsel tersebut. Ia merangkak, seperti dalam perang, meraih ponsel dan menekan sebuah tombol.
Dering pun berhenti, ponsel tak lagi berkedip. Partjan melanjutkan mimpinya. Jam 1 siang, cacing dalam perut Partjan berteriak-teriak.
Partjan menggeliat, matanya terbuka. Sejenak ia diam, “astaghfirullah…!” ia berteriak dan melompat bangkit. Hal pertama yang ia cari adalah ponsel. “Ah…” ucapnya sambil memegang ponselnya.
“Kak… kakak sudah janji akan menemani adek belanja kosmetik. Kakak lebih memilih bola. Aku benar-benar kecewa sama kakak… kita putus saja kak. Selamat tinggal”
Pesan pertama yang Partjan buka membuat darahnya mendidih. “Ah… sial… dia pasti marah besar nih sampai bilang seperti itu!”
Benar-benar pilihan yang sulit, tapi itu sudah terjadi. Partjan hanya bisa menarik nafas panjang. Masiha da secuil harap yang ia simpan di dada, “semoga dia mau memaafkan aku.”
---oOo---