Tergeletak di Parit Sawah, Parni Ditemukan Sudah Tak Bernyawa – Mendung menggantung di langit desa. Wajah Ponira tampak murung, sedikit cemas. Di halaman, di bawah pohon rambutan, seorang gadis tampak jongkong mengamati semut rang-rang.
Parny namanya. Ia adalah anak bungsu Ponira yang nasibnya malang. Sejak lahir ia memiliki epilepsy. Pada usianya yang ke sepuluh, Parny sering mengalami panas tinggi. Menginjak remaja ia mulai sering bicara sendiri.
Di dunia kedokteran, Parny didiagnosa mengalami gangguan jiwa. Bocah yang dulu menjadi tumpuan harapan masa tua orang tuanya menjadi mimpi buruk yang selalu menghantui pikiran.
Rasa takut, cemas, khawatir dan kasihan selalu dirasakan kedua orang tuanya. Apalagi ia seorang anak gadis. Ia sering mendapatkan perlakuan tak baik dari orang-orang.
“Par… sudah siang makan dulu yuk…” ajak Ponira kepada anaknya yang dari tadi terdiam di bawah pohon itu. Dengan halus dan sangat pelan, Ponira menggandeng anak perawannya ke dalam rumah.
Hari itu suasana hati Ponira terasa lain. Dari pagi ia lebih banyak memandangi anak gadisnya itu. Tak seperti biasa, rasa kasihan sangat menyiksanya. Biasanya ia sering kesal, sering marah dan tak sabar ketika mengurusi dan merawat Parny. Hari itu lain.
Ia duduk di depan Parny. Di meja makan ia memperhatikan setiap gerak gerik anaknya itu. Dari ujung rambut sampai ujung kaki, tak luput dari sinar matanya yang pasrah.
Butiran air mata mengalir di pipinya. Matanya keruh menahan tangis pilu melihat sang putri tercinta. “Maafkan ibu ya Nak… Selama ini ibu kurang perhatian dan tidak bisa menjagamu dengan baik”, ucapnya lirih.
Rahang Parny bergerak pelan, mengunyah sedikit makanan yang masuk mulutnya. Tangan kirinya memegang sendok. Tangan kanannya sesekali memainkan apa yang ada di dalam piring.
Tiba-tiba ia membanting sendok digenggamannya. Kedua tangannya lantas menggenggam erat rambutnya. Mulutnya meringis, seolah menahan sakit yang teramat sakit.
“Ada apa Nak… sudah ya… Ya sudah, tidak perlu dihabiskan…” Ponira segera bangun dari tempat duduknya dan memeluk parny.
Perlahan ia pun mengajak Parny berdiri dan mengantarkannya ke kamar. Saat-saat seperti itu tak ada yang lebih baik selain mengajak parny ke kamar.
Biasanya, di kamar Parny akan segera berbaring, memeluk erat guling seperti orang ketakutan. Lama kelamaan ia akan tertidur dengan sendirinya, jika tidak ada gangguan apapun yang membuatnya tak nyaman.
Meski mengalami gangguan jiwa, sebenarnya Parny masih bisa diajak komunikasi – tapi tak sering. Kalau lagi “bolong”, ia bahkan bisa mengajak ibunya bercakap-cakap seperti orang normal.
Setelah setengah jam menemani Parny di kamar, akhirnya Parny tertidur. Ponira segera menyelimuti anaknya. Ia kemudian keluar dan membiarkan pintu setengah terbuka.
Parny tak suka jika pintu ditutup rapat, apalagi dikunci. Pernah suatu ketika sang ibu lupa menutup pintu. Akhirnya Parny teriak-teriak berontak bahkan hampir melukai dirinya sendiri dengan cermin.
Sejak saat itu sang ibu tidak pernah lagi menutup pintu kamar sampai rapat. Ponira memperhatikan detail apapun yang berkaitan dengan anak gadisnya itu. Hal terkecil sekalipun akan disesuaikan dengan keinginan Parny.
Tapi namanya juga kurang waras, Parny sering sekali berubah-ubah. Kalau sudah seperti itu naluri ibu-lah yang mengambil alih. Untungnya 70 persen naluri sang ibu bekerja dengan baik.
Menjelang sore, Ponira menuju kamar Parny, berniat melihat anaknya apakah sudah bangun atau belum. Belum sampai ia masuk kamar, Parny sudah keluar dari kamarnya.
“Bu aku jalan-jalan…” ucapnya dan langsung keluar rumah. Ponira menghela nafas panjang. Kalau Parny sudah seperti itu maka tidak ada yang bisa ia lakukan.
Ia harus mengizinkannya. Mungkin, sore itu Ponira bisa mengikuti atau mengawasi anaknya dari jauh. Meski resikonya Parny akan mengamuk kalau tahu.
Ia harus mengizinkannya. Mungkin, sore itu Ponira bisa mengikuti atau mengawasi anaknya dari jauh. Meski resikonya Parny akan mengamuk kalau tahu.
Suasana yang sudah sore membuat sang ibu ketar-ketir. Apalagi langit tampak mendung dan akan turun hujan. Tapi ia tak berani berbuat apapun. Ayah Parny pun tidak di rumah karena bekerja. Ia hanya bisa pasrah dan menitipkan nasib anaknya pada Tuhan.
Jam lima sore, Ponira mulai cemas. Ia segera menyusul anaknya. Mencari ke tempat biasa Parny datangi.
Di tengah hujan yang rintik agak deras. Ia berlarian kesana – kemari bertanya pada para tetangga. Tak satu pun yang mengetahui keberadaan anak gadisnya. Malam pun menjelang.
Harapan satu-satunya adalah Parny numpang tinggal di rumah orang. Pernah sampai tiga kali hal seperti itu terjadi. Sore keluar rumah, malam tidak ketahuan kabarnya dan pagi buta sudah di depan rumah.
“Pak… cari anakmu. Ini sudah malam dia kok belum pulang!”
“Iya bu… bapak cari”
Suami Ponira segera ke tetangga sebelah dan meminta bantuan mencari anak gadisnya. Beberapa pria yang kebetulan ada di rumah langsung ikut mencari Parny.
Jam sepuluh malam, suami Ponira pulang dengan tangan kosong. Anaknya tidak diketemukan.
Malam itu sangat dingin. Hujan pun lebih deras dari tadi sore. Mata Ponira terpejam tapi angan dan pikirannya kemana-mana. Semalam suntik ia tidak bisa tidur. Menunggu anaknya.
Jam 5 pagi, Ponira segera membuka pintu depan. Kosong, taka da siapa-siapa. Anak yang diharapkan belum pulang. Pagi itu pun suasana menjadi riuh. Ponira berteriak-teriak pada suaminya untuk segera mencari Parny.
Parman tak lagi memikirkan pekerjaan. Ia langsung menghubungi seluruh keluarga dan tetangga untuk minta bantuan.
Hampir semua orang di kampung itu turut membantu. Ada ibu-ibu, bapak, anak-anak, kakek nenek. Mereka bahu membahu mencari Parny.
Yang suaminya bekerja, anaknya ikut mencari. Yang ibu dan anaknya sibuk bapaknya ikut membantu mencari.
Pencarian terus dilakukan sampai jam 9 siang ketika ada kabar mengejutkan dari salah satu warga yang akan menggarap sawah.
Pencarian terus dilakukan sampai jam 9 siang ketika ada kabar mengejutkan dari salah satu warga yang akan menggarap sawah.
“Parny… Parny tergeletak di parit sawah”, pemuda itu membawa kabar ke salah satu orang yang sedang mencari Parny. Kabar itu segera sampai ke telinga Ponira dan suaminya.
Mereka langsung menuju ke sawah yang dimaksud. Di sana, tubuh anak gadisnya sudah ditutupi dengan kain ala kadarnya. Tak bernyawa.
---oOo---