Villa Mewah di Ubud Bali dengan Pemandangan Terbaik dan Anganku Tentangnya

Villa Mewah di Ubud Bali dengan Pemandangan Terbaik dan Anganku Tentangnya – pelarianku ke Bali terhenti di sebuah villa di daerah Ubud. Villa itu adalah salah satu dari banyak Villa yang pernah ku singgahi.

Villa Mewah di Ubud Bali dengan Pemandangan Terbaik dan Anganku Tentangnya

Satu tahun silam, aku pernah berada disini, bersama seseorang yang kini telah membuatku hancur. Membuat hatiku luluh, berantakan. 

Tak perlu heran, aku sendiri tak tahu. Aku tak bisa menahan diri, menahan keinginan untuk berada disini. Perih sebenarnya, bagai menanam jarum di badan sendiri. Hatiku menjerit memerangi bayangan itu. 

Pada akhirnya, aku terdampar disini. Bersimpuh. Mengenang semua yang pernah kami lewati bersama. Aku rela, ternyata aku rela mengunyah perih dari luka yang dia tinggalkan.

Nyiur melambai ke arahku. Pepohonan, mengirimkan isyarat melalui gerakan daunnya yang lembut. Mereka menari riang di depanku. Pemandangan indah itu membentang di depan mataku. Tak berarti. 

Aku duduk, berteman android. Sendiri. Tak ada riak dari kolem renang villa. Suasana tampak lengang, “ini adalah hari teraneh yang pernah kutemui”

Hanya tetumbuhan yang berusaha menghiburku. Lainnya diam. Membisu. Masing-masing penghuni villa sibuk menyulam hati yang hancur. Yang bernyawa dan tidak, mereka berkabung menyaksikan tetes air mata yang mulai kering. 

Jauh dalam lubuk hati ini aku menjerit. Memanggil namanya dengan sekuat tenaga. Betapapun sakitnya, aku menikmati kerinduan ini. Rindu pada seseorang yang berkhianat pada cinta yang ku tanam.

Bongkahan hati yang dulu lembut, hidup kini membeku. “Kenapa aku masih berada di titik ini? Titik dimana aku membanggakan kepergianmu. Titik dimana aku senantiasa mengingat parasmu yang gagah.” 

Saat ini, harusnya kau telah menjadi suamiku. Setidaknya itu yang aku harapkan. Hanya karena ego, orang tuamu tega memenjarakan rasa itu. Yang seharusnya indah untukku. 

Di Villa Ubud ini ribuan detik aku habiskan untuk menyusuri lagi jejak cinta kita dulu. Ku tambal lagi lembaran yang telah robek. Ku sulam lagi benang-benang yang telah kusut. 

“Ah… kenapa aku begitu gila”, aku berusaha berontak sekuat tenaga dari belenggu masa silam itu. Ku angkat tubuhku, meski seberat gunung, ku langkahkan kaki mengelilingi lokasi Villa. 

“Banyak orang lain yang tak seberuntung aku. Harusnya aku bersyukur…” aku berusaha menghibur diri.

Sejenak aku terhenti di bawah pohon nyiur di dekat kolam renang, “apa yang bisa aku lakukan?” “Ah. Tentu saja banyak yang bisa dilakukan ditempat seindah ini” pikirku. 

Aku segera berlari ke dalam. Mengambil ponsel android, “dari pada aku larut dalam bayang kelam lebih baik aku narsis.”

Mulailah adegan itu. Berlagak bak model internasional, aku mulai berlenggak-lenggok di depan kamera ponsel. Mengabadikan momen dan keindahan suasana Villa yang tak semua orang bisa nikmati.

Klik… klik… bebrapa selfie masuk dalam penyimpanan. Detik berikutnya aku mengarahkan ponsel ke beberapa spot indah. Ku bidik pemandangan Villa yang menawan. 

Aku tersentak kaget. Kulihat wajahmu tersenyum, menyembul dari kejauhan. “Ah… kamu lagi”, pikirku. 

Tak mau terganggu dengan khayalan, aku memalingkan pandangan, ke lereng. Di sana, ku lihat seseorang tertatih, berusaha mendaki ke arah Villa. “Siapa itu… aneh…!”

Rasa penasaran membuat mataku mengikuti sosok tersebut. Meter demi meter dilalui. Aku tak sabar menunggu. Ku arahkan ponsel, membidik wajah sang pendaki. 

Apa yang ku lihat tak mungkin terjadi. “Disana tidak mungkin ada jalan, tidak mungkin bisa dilalui orang. Tapi, pakaian itu sepertinya aku kenal” gumamku.

Benar. Anganku tentang dia yang telah pergi membuatku setengah gila. Sekali lagi aku melihat sosok kekasih yang sedang kurindukan. Fatamorgana, semu. Itu hanya ilusi, harapan yang tak mungkin jadi nyata. 

Aku menjatuhkan tubuhku di tepi kolam, “aku tak kuat lagi”, pikirku, “aku bisa gila kalau terus seperti ini” 

Aku berada di Villa mewah dengan pemandangan super tapi aku seperti orang gila. Tak mau berlarut-larut aku segera menghubungi salah satu sahabatku di Bali. “Buruan ke sini, tempat biasa. Jangan sampai aku gila di sini.”

Betapapun sulitnya, aku harus move on – tak boleh berlarut dalam kepedihan. “Waktunya menikmati hidup. Kapan lagi, belum tentu umurku sampai keriput”, tekadku dalam hati. 

Satu jam kemudian, saat sahabatku datang, aku segera mengubur masa lalu menjengkelkan itu. “Selamat tinggal kasih… izinkan aku move on, melanjutkan sisa hidupku tanpamu. Biarlah bayangmu sesekali menyapaku”, ucapku.

---oOo---

Back To Top