Antara Investasi, Menabung dan Desakan Calon Mertua untuk Masa Depan Gemilang – “tak masalah kalau harus kerja keras, banting tulang atau peras keringat saat ini Nak. Demi masa depan”, ucap Pak Hassan sambil menghela nafas panjang.
“Bapak bicara seperti itu bukan karena kamu dekat dengan putri Bapak. Tetapi, karena kamu adalah salah satu pemuda – generasi penerus bangsa.
Mau jadi apa Negara ini kalau para pemuda dan pemudi hanya sibuk mengejar senang, dan berpikiran sempit” lanjut Pak Hassan lagi.
Yogga sedikit tertunduk, manggut-manggut seolah mengerti dengan apa yang dikatakan orang setengah baya di depannya itu. Pelan, ia mengangkat dagu, ia menangkap wajah sang Bapak dengan kening yang berkerut, tanda khawatir.
Tak punya nyali, Yogga menjauhkan pandangan dari sekitar mata calon mertuanya. “Iya Pak…” jawabnya singkat. Berharap percakapan tak seimbang itu segera berakhir.
Bagi Yogga, duduk berhadapan dengan Pak Hassan sama saja menghadapi kuliah umum dari guru besar di perguruan tinggi tempatnya kuliah. Sangat berat.
Ya wibawa, tak berpengalaman, belum lagi mengenai pembahasan yang diambil. Bahkan bisa sampai membuat keringat dingin menetes.
“Bapak ini seperti enggak pernah muda saja”, keluhnya dalam hati sembari sedikit menggeser posisi duduknya.
“Bapak pernah muda, karena itu Bapak tahu dan memiliki penyesalan yang teramat sangat.” Ucap Pak Hassan lagi.
“Lihat Bapak sekarang. Bapak menyesal. Bapak tidak bisa berbuat banyak untuk orang lain. Untuk apa berkecukupan kala harus melihat orang kelaparan setiap hari!”, lanjutnya.
Kali ini Yogga secara spontan mengangkat pandangan, menatap dalam kearah mata si Bapak. Ternyata benar, meski bukan paranormal, ia bisa merasakan penyesalan itu. Lewat sorot matanya.
“Bapak serius?”, tanya Yogga tak percaya dengan perkataannya. “Untuk apa bapak bohong. Bapak bukan lagi bercanda…” ucapnya sambil menatap pemuda didepannya itu.
“Makanya, belum terlambat. Mulailah dari yang sederhana, menabung. Syukur-syukur kamu bisa belajar investasi. Mapan di usia muda bisa membuatmu lebih mudah untuk berbagi Nak!” ucapnya memberi nasehat pada Yogga.
“Amin… mohon bimbingannya pak. Almarhum ibu juga berpesan agar saya lebih peduli pada orang lain”, ucap Yogga.
Tiba-tiba matanya terasa perih. Mengucap kata “ibu” membuatnya merasa sedih. Ia kembali teringat bagaimana ibunya harus meregang nyawa hanya karena kurang uang untuk berobat.
Karena itulah ia mati-matian melanjutkan kuliah, agar bisa hidup lebih baik dan lebih layak.
Karena itulah ia mati-matian melanjutkan kuliah, agar bisa hidup lebih baik dan lebih layak.
Setengah jam berlalu. Yogga berbincang dengan Pak Hassan, dijejali berbagai nasehat yang entah bisa diterapkan atau tidak.
Tepat pukul delapan lebih lima menit, akhirnya Rikka keluar dari kemarnya untuk menyelamatkan sang kekasih dari pertempuran tak seimbang itu.
“Alhamdulillah…” ucap Yogga spontan ketika melihat Rikka keluar melampar senyum.
“Alhamdulillah apa…?” tanya Pak Hassan bingung.
“Enggak pak… itu Alhamdulillah saya bisa berbincang dan mendapatkan banyak nasehat berharga dari Bapak…” jawab Yogga sedikit gugup.
“Oh… makanya, ingat pesan Bapak. Mulai dari sekarang!” “Iya Pak, insyaalloh…”
Setelah Rikka siap, Yogga akhirnya berpamitan. Malam itu, mereka akan kondangan ke salah satu kerabat jauh Yogga yang kebetulan merupakan teman dekat Rikka.
Baru keluar pintu, Rikka sudah memberondong Yogga dengan pertanyaan-pertanyaan, “ngobrol apa tadi sama Papa?”, tanya Rikka.
“Biasa… nasehat Bapak pada anaknya!”, jawab Yogga dengan senyum simpul di sudut pipinya. “Idih… Bapak…, pasti di suruh nabung dan investasi ya?”, tanya Rikka. “Iya… tapi Bapak benar juga kok…” jawab Yogga.
“Ya jelas lah. Namanya juga orang tua. Lebih berpengalaman.” Ucap Rikka sembari masuk ke dalam mobil.
“Iya… tapi Bapak membuka cakrawala yang lebih luas. Seolah, Bapak menaruh harapan besar padaku.
Seolah juga, Bapak sedikit kecewa dengan aku”, ucap Yogga. “Harapan, kecewa…? Maksudnya apaan sih!”, Rikka sedikit bingung.
Seolah juga, Bapak sedikit kecewa dengan aku”, ucap Yogga. “Harapan, kecewa…? Maksudnya apaan sih!”, Rikka sedikit bingung.
“Investasi, menabung, itu hanya salah satu sarana saja. Yang lebih ditekankan Bapak adalah berbagi kepada sesama. Sepertinya Bapak sedih dan kecewa melihat masyarakat kita banyak yang masih kekurangan.”
“Ya, wajar saja. Asal kamu tahu saja. Bapak itu masih keturunan ningrat. Leluhur bapak dahulu adalah orang terpandang, pemimpin. Mungkin bapak kecewa karena tidak bisa lebih banyak memberikan manfaat bagi orang lain”
Mobil melaju konstan. Mereka terus bercakap. Berbincang mengenai nasehat-nasehat Pak Hassan tentang kehidupan yang sebaiknya mereka jalani. Masing-masing dari mereka sepakat, mereka harus berguna bagi nusa dan bangsa.
Waktu terus berjalan. Bergulirnya waktu membuat Yogga dan Rikka semakin dekat dengan pandangan-pandangan Pak Hassan. Tidak butuh waktu lama.
Dengan suntikan dan dorongan motivasi kini Rikka dan Yogga mulai aktif berinvestasi. Mereka mulai menyisikan waktu dan pikiran mereka untuk belajar mengelola keuangan untuk hal yang lebih besar.
Terjadi pergeseran tujuan hidup pada diri mereka masing-masing. Mulanya, mereka hanya ingin hidup sejahtera, berkecukupan, tanpa ada ruang bagi orang lain. Sekarang, yang utama adalah orang lain, berbagi.
Perlahan, dua anak muda tersebut mulai lebih akrab dengan berinvestasi. Mereka mulai mengenal berbagai jenis investasi yang bisa dilakukan.
Hasil jerih payah dan usahanya itu pun bukan untuk bersenang-senang atau menikmati hidup. Sebaliknya, mereka terus memupuk kepedulian sosial.
Bahkan, mereka pun memiliki motto investasi sendiri. “Berbagi adalah investasi hidup yang paling menguntungkan”, begitulah.
---oOo---