“Penilaian”, sebuah cerpen tentang renungan kehidupan yang merupakan hasil karya belajar dari salah satu yang mungkin biasa saja. Tentu saja, ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil. Selain itu ada hiburannya juga. Siapa yang mau menikmatinya?
Cerita kali ini berjudul “arti sebuah penilaian”, terdengar asing ya? Ya, kadang kita memang memiliki banyak konflik dalam perjalanan hidup. Yang namanya kehidupan memang penuh warna.
Kadang mengenai perasaan, kadang mengenai hubungan sosial antara sesama dan kadang juga berkaitan dengan hubungan kita dengan pencipta.
Bagaimana dengan kisah kali ini? Kalau yang satu ini lebih dekat dengan prinsip hidup yang coba digenggam erat oleh seorang remaja. Menarik karena didalamnya terdapat pergolakan batin yang cukup hebat.
Arti Sebuah Penilaian
Cerpen Renungan Kehidupan oleh Irma
Langit sore tampak begitu mesra. Iis dan Usman tampak serasi, duduk bersama di taman kota yang mulai gemerlap dengan lampu-lampu.
“Yang, besok jadi kan…?” “Iya, jadi…”, seperti biasa, Usman tampak tak terlalu bersemangat menanggapi percakapan kala itu.
“Yang, besok jadi kan…?” “Iya, jadi…”, seperti biasa, Usman tampak tak terlalu bersemangat menanggapi percakapan kala itu.
“Ya sudah, lebih baik sekarang kita hunting baju yuk” ajak Iis sambil menggandeng tangan Usman yang masih duduk dengan tenang.
“Kenapa sih meski harus hunting baju segala!”, Usman beranjak tanpa membalas ucapan kekasihnya.
“Kenapa sih meski harus hunting baju segala!”, Usman beranjak tanpa membalas ucapan kekasihnya.
“Aku enggak mau kita kelihatan biasa besok. Aku kan malu sama teman-teman kalau kita pakai dress yang seperti biasa. Apa kata mereka nanti”, ucap Iis di sela perjalanan mereka.
“Memang kalau kita berbusana seperti biasa mereka bakal bilang apa?”, tanya Usman dengan nada datar.
“Memang kalau kita berbusana seperti biasa mereka bakal bilang apa?”, tanya Usman dengan nada datar.
“Ish… kamu itu kayak enggak tahu mereka saja. Mereka kan perfeksionis gitu”, jawab Iis. Masih dengan nada datar Usman menjawab, “enggak penting juga kali penilaian mereka”, jawabnya.
“Ih, kamu itu kenapa sih. Tiap kali kita mau ke acara pasti kamu begitu, sinis. Kamu enggak suka ya…!”, Iis memprotes Usman.
“Ih, kamu itu kenapa sih. Tiap kali kita mau ke acara pasti kamu begitu, sinis. Kamu enggak suka ya…!”, Iis memprotes Usman.
Tahu jika dilanjutkan akan terjadi badai, Usman hanya terdiam membisu. Tampak ia sedang tak berselera berdebat dengan Iis.
Hari semakin larut. Iis masih saja memaksa kekasihnya untuk melangkah ke sana ke mari mencari sesuatu yang tak pasti. Jam sepuluh malam, Usman sudah tidak bisa lagi bertahan.
“Udah larut nih, yuk pulang…!” Kali ini suaranya terasa begitu dalam. Sorot matanya lebih tajam dari biasanya. “Satu lagi sayang, sepatu kamu belum dapet…”, Iis menarik tangan Usman bak kerbau.
Kala itu, tak ada kejadian istimewa yang mengikuti Usman dan kekasih. Hanya hal-hal prinsip yang terus menjejali pikiran dan jiwa pria muda tersebut.
Menjalani hidup berdampingan dengan Iis terus menyisakan gundah dan bimbang. Kasih dan sayangnya yang tulus membuatnya memutar otak, mencari solusi terbaik namun tak berakhir perih.
Usman tak letih mendedikasikan pikirannya untuk membuat Iis bahagia. Ia tak letih untuk mengarahkan kekasihnya ke jalan terbaik, seperti yang ia percaya.
“Ia pasti bisa berubah. Ia hanya belum mengerti bahwa prinsipnya itu salah dan akan menjerumuskannya ke kehdupan yang tak bermakna.
“Sebenarnya aku tak sepaham dengan pemikiranmu itu sayang…”
“Pemikiran yang mana? Kamu nih bicaranya aneh?”
“Tidak baik kalau kita hanya memikirkan apa kata orang tentang diri kita. Karenanya kita bisa diperbudak hal yang kurang bermanfaat”
“Maksud kamu?”
“Harkat, drajat dan martabat manusia itu hendaknya dibentuk dari prilaku yang mulia, bukan hanya karena materi dan penampilan semata.
Enggak penting penilaian orang lain terhadap kita. Yang terpenting adalah penilaian Tuhan pada kita”
Enggak penting penilaian orang lain terhadap kita. Yang terpenting adalah penilaian Tuhan pada kita”
Jauh di lubuk hati Iis sebenarnya ia percaya dan setuju dengan apa yang dikatakan Usman. Namun apalah daya, rasa gengsi telah membutakan logika dan mengesampingkan nilai moral.
“Coba renungkan, bukankah hal itu hanya menyusahkan kita sendiri?”, Usman tak letih meyakinkan Iis yang tampak masih ragu.
Kali ini Iis benar-benar terganggu dengan pikiran itu. Bukan karena masalah prinsip yang dibicarakan tetapi pernyataan Usman yang membuatnya tak tahan untuk menangis.
“Aku takut, aku tidak bisa bertahan dengan seseorang yang hanya mementingkan penilaian orang lain”, ucapan Usman itu menghujam tepat di ulu hati. “Apakah aku yang salah…!” teriaknya dalam hati.
---oOo---
Mungkin salah satu dari kita pernah mengalami hal itu. Memegang sebuah prinsip hidup kadang memang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Kadang, bahkan menjadi sangat sulit karena melibatkan hal lain.
Kisah yang terjadi antara Iis dan Usman adalah salah satu contoh yang biasa terjadi dalam kehidupan kita. Ada banyak kejadian semacam itu yang tenggelam berbumbu perih.
Mungkin, kegelisahan Usman bisa mewakili banyak kegelisahan hati di kehidupan manusia lain. Kita yang ingin berpegang teguh pada prinsip, sepanjang prinsip tersebut baik, tentu tidak boleh mudah menyerah.