Cerpen terbaru, "Benih dari Guru" merupakan lanjutan dari cerpen pemuda serba kekurangan. Sebelum membaca cerita pendek ini perlu saya ingatkan lagi bahwa cerita pendek yang akan kita baca kali ini adalah sebuah cerpen terbaru yang merupakan lanjutan cari cerpen tentang pemuda miskin yang sebelumnya telah dibagikan.
Cerpen tersebut adalah karya yang mengisahkan tentang kehidupan seorang pemuda yang serba kekurangan dengan berbagai permasalahan hidup yang membelit.
Di ceritakan dalam kisah sebelumnya bahwa ada seorang pemuda miskin yang berjuang untuk hidup lebih baik.
Saat sedang belajar di pondok untuk menuntut ilmu secara gratis ia disusul oleh tetangganya karena sang ibu di kampung telah meninggal.
Saat pulang tersebut, salah satu teman Ian di pondok ternyata ikut ke kampung Ian sebagai wakil dari pemilik pondok. Dari dia Ian pun mendapatkan titipan sebuah kantong plastik kecil yang ternyata isinya adalah benih tanaman.
Dengan kondisi yang masih sangat sedih Ian hanya menaruh bungkusan tersebut di kantong bajunya. Bagaimana kelanjutan cerita dari pemuda tersebut, mari kita simak selengkapnya pada Cerpen Terbaru, Benih dari Guru di bawah ini.
Benih dari Guru
lanjutan dari Cerpen Pemuda Serba Kekurangan
Beberapa bulan berlalu, kini Ian sudah tidak dirundung kesedihan lagi. Ia ternyata benar-benar tabah dalam menghadapi semua cobaan hidup.
Meski dihimpit kekurangan, meski sebagai pemuda serba kekurangan namun mentalnya benar-benar patut di contoh. Dalam beberapa waktu ia sudah mampu mengingat lagi mimpi dan tekad hidupnya bahwa ia ingin merubah nasib.
Sore itu ia duduk di depan rumah, melamun, memikirkan apa yang akan ia lakukan untuk melanjutkan hidupnya.
Jika ia menjalani hidup seperti dulu ia tahu benar bahwa sisa hidupnya pun pasti akan sama. Saat itu ia benar-benar bingung mau melakukan apa... dan tiba-tiba ia ingat sesuatu...
"Pak, bajuku seng putih panjang kae neng ndi yo..."
"Kae neng gantungan preng kae loh... baju wes kotor mbok dicuci ndisek"
"Iyo pak, ki arep di rendem sok di cuci..."
Ternyata ia teringat akan bungkusan pemberian gurunya di pondok. Ia pun mencarinya, ia memandangi bungkusan tersebut, "opo isine yo" gumamnya dengan bahasa jawa. Penasaran ia pun segera membuka bungkusan plastik tersebut.
Ia mendapati biji bijian kecil pipih, "weh...wenen iki, tapi sayuran opo seng koyo ngene winie...." Semakin penasaran ia pun memutuskan untuk menanam benih tersebut. Dibaginya menjadi lima bagian, "rep tak tandor peng limo iki, sopo roh iso dadi.."
Esok harinya pekarangan belakang rumah yang hanya beberapa meter itu pun ia cangkul dengan susah payah. Benih pertama di tanam, disirami, dilihat, di lihat dan ditunggu sampai tumbuh...
Setelah beberapa waktu akhirnya ada kecambah yang muncul dari lahan penanaman tersebut. Ian sangat senang namun tanaman yang baru tumbuh tersebut hanya tahan satu minggu sampai akhirnya tak tersisa, sebagian mati sebagian dimakan hama.
Kondisi hidup Ian sebenarnya sedang sulit dan sangat sulit saat itu, bekal dari hasil pemberian orang saat ibunya meninggal telah mulai habis dan ia terpaksa harus mencari persiapan.
Kali ini ada yang sedikit berbeda atas apa yang ia lakukan. Sebelum persediaan makan habis Ian sudah mulai mencari persediaan makan, karena yang ia tahu hanya ngasak yang bisa dilakukan disana maka ia pun "ngasak boden" - mencari sisa-sisa singong di lahan singkong yang telah dipanen.
Sebagian singkong hasil ngasak ia jemur, sebagian lagi rebus untuk makan. Begitu susahnya kehidupan pemuda ini. Namun di sinar matanya tidak ada setitikpun rasa patah semangat yang terlihat. Jika ditatap, matanya hanya memancarkan bara api, sebuah semangat hidup yang membara.
Selain aktivitas tersebut ia menyiapkan lagi lahan tanaman untuk menanam benih pemberian gurunya dari pondok, tanaman kedua ditanam dengan hasil yang sama yaitu tak bersisa.
Tanaman ketiga akhirnya membuahkan hasil - tapi belum bisa di panen. Tanaman ketiga kalinya sudah bisa tumbuh subur, dan itu membuat Ian semakin bersemangat dan semakin fokus untuk menanam tanaman itu.
Pada tanaman ketiga tersebut ia sudah tahu tanaman apa yang sedang ia tanam, "rupane panganane wong sugih iki...".
Sisa benih pemberian tersebut tinggal sedikit dan itu merupakan dilema tersendiri bagi dirinya. Jika ditanam sesuai rencana awal maka ia mungkin tidak akan merasakan memetik panenan tersebut dan akhirnya ia membagi benih yang tersisa menjadi tiga bagian, dua bagian pertama sedikit dan satu bagian terakhir lebih banyak.
Hari demi hari, Ian secara tekun mengamati apa yang sedang ia tanam. Ia memperhatikan segala detail yang berkaitan dengan tanaman tersebut mulai batang, daun dan bahkan akarnya.
Lingkungan yang ada di sekelilingnya pun dipelajari dan diamati dan akhirnya ia menemukan kunci yang telah melekat erat di kedua tangannya.
Setelah lima kali mengalami kegagalan akhirnya di benih yang terakhir tanaman yang ia tanam bisa berbuah, hanya saja tidak semua berbuah dan tidak semua buahnya berkualitas.
Karena telah berbuah akhirnya semua buah tersebut ia rawat, ia berencana menggunakan semua buah yang ada untuk bibit khususnya buah yang paling bagus sedangkan beberapa buah yang ia anggap kurang bagus ia makan sendiri bersama ayahnya.
Saat itu ia hanya bisa panen 5 buah melon, dua berukuran kecil, satu sedang dan satu besar. Dari lima buah melon tersebut tiga buah ia gunakan sebagai bibit dengan bibit dari buah yang paling besar di pisahkan.
Sampai saat itu ia memiliki kepuasan batin tersendiri karena mampu menanam benih yang telah diberikan oleh gurunya di pondok dulu. Tapi ternyata itu bukan berarti ia telah terlepas dari kemalangan.
Suatu sore ia sedang berada di depan rumah dengan ayahnya, ia sedang berbincang-bincang dengan ayahnya dan mengatakan ingin kembali menanam buah yang diberikan oleh gurunya.
Suasana sore itu lumayan sejuk dan angin berhembus sedikit kencang. Saat mereka sedang asyik berbincang tiba-tiba terdengar suara bergemuruh....
"Awas pak...."
"Astagfirullohhh...."
Ternyata, rumah yang Ian huni ambruk, bukan karena angin kencang tapi karena rumah tersebut memang sudah tidak layak, rapuh dan reot. Ambruknya rumah tersebut merupakan kemalangan baru bagi dirinya.
Keadaan dan ketidakmampuan ia harus sampai beberapa minggu tinggal di tenda plastik pemberian orang. Wajar, bagaimana mungkin ia bisa membuat gubuk lagi dengan mudah sedang ia adalah pemuda serba kekurangan, ayahnya pun tak memiliki apa-apa yang berarti.
Tapi rupanya kejadian itu merekatkan Ian dengan ayahnya. Mereka terlihat bahu membahu menabung menyiapkan beberapa kayu dan bahan lain untuk membuat gubuk.
Setelah hampir satu bulan akhirnya mereka mulai membuat gubuk dengan modal bambu dan beberapa kayu dari pemberian tetangga. Saat membuat rumah tersebut mereka sudah tidak memiliki apa-apa untuk dimakan. Akhirnya untuk makan ia dan ayahnya pun meski meminta kepada tetangga.
"Mbokde, ndue sego opo oyek ora...nek ndue aku tak njalok, engko tak ganti karo kerjo yo.."
"Walah ra ono loh Ian, ki no boten setitik mbok godok ae,..."
"Suwon mbokde...."
Sebagai pemuda yang sudah layak dan siap menikah ia benar-benar tidak malu meminta bantuan orang lain. Begitulah sementara waktu mereka makan dengan menjual tenaga, terkadang untuk satu piring nasi oyek ia harus bekerja di sawah seharian.
Namun selama seperti itu Ian tak lupa menyisihkan sesuatu untuk bekal makan esok hari. Hal seperti itu rupanya telah menjadi kebiasaan hidupnya karena hampir semua hal pasti ia sisihkan bahkan kayu bakar sekalipun.
oOo
Beberapa bulan demi bulan berlalu, musim telah berganti lagi, kini Ian dan ayahnya telah memiliki bekal makanan yang cukup untuk beberapa bulan ke depan.
Ya, berjuang selama hampir dua musim hanya bisa tersisa persediaan makan untuk dua atau tiga bulan ke depan itupun dengan jatah makan sehari satu kali. Saat itu Ian kembali teringat benih yang selama ini ia simpan.
Esok harinya ia berencana untuk mulai menanam benih itu lagi karena musim memang sudah cocok dengan tanaman tersebut. "Mudah-mudahan masih bagus" ucapnya dalam hati.
Kali ini Ian benar-benar bisa total, tenaga dan pikirannya benar-benar seratus persen pada proses penanaman melon tersebut. Bagaimana hasilnya, sangat mengejutkan.
Dari dua buah melon sedang yang ia jadikan bibit ia mendapatkan ratusan melon dengan kualitas yang cukup bagus.
Saat itu ia benar-benar bersyukur, setengah dari hasil panen ia bagi-bagikan ke seluruh tetangga yang ada di sekitar rumahnya. Sisanya ia jual kepasar dengan harga yang sangat murah. Ia sama sekali belum tahu bahwa buah tersebut memiliki nilai jual yang cukup bagus.
Ini adalah sejarah baru dalam hidup Ian karena selama hidup baru kali inilah ia bisa menghasilkan uang, selama ini ia bekerja hanya untuk makan dan tidak pernah sama sekali memegang uang.
Akhirnya hasil penjualan melon tersebut ia belikan singkong dan beras, dan beberapa sisanya ia simpan. Bahan makan tersebut akan ia gunakan sebagai cadangan selama ia menanam melon untuk satu musim ke depan. Saat itulah ada senyum lebar yang menghiasi bibirnya yang hitam dan keriput itu.
Begitulah, musim kedua akhirnya ia gunakan untuk menanam benih dari satu buah melon paling bagus yang dihasilkan dari benih pemberian gurunya. Hasilnya pun dua kali lipat dari panen pertama, semua buah yang dihasilkan benar-benar super dengan ukuran dan kualitas yang bagus.
Dari hasil panen tersebut ia menyisihkan beberapa buah yang dianggap paling bagus dan dijadikan benih. Hasil panen sebagian dia bagikan kepada tetangga baru sebagian lagi ia jual di pasar.
Dua kali ia menjual hasil panen di pasar akhirnya ia mulai belajar mengenai harga dari buah tersebut.
Akhirnya ia tahu bahwa buah melon memiliki pangsa pasar yang bagus dan menjanjikan tapi ia tetap menjual hasil panennya tersebut dengan harga murah sehingga para pembeli pun senang dengannya. Sebagian hasil penjualan ia belikan bahan makanan dan sisanya tetap ia tabung.
Akhirna musim demi musim berlalu, kini Ian telah menjadi pemuda yang memiliki keterampilan dan keahlian dalam budidaya tanaman melon.
Semua itu berkat ilmu yang diberikan oleh gurunya di pondok dulu. Ia sangat beryukur, dan sangat berterima kasih kepada gurunya.
Itu ia buktikan dengan membawa semua tabungan uang hasil penjualan melon yang ia tanam ke pondok dimana dulu ia belajar. Ia serahkan semua tabungan tersebut dengan ikhlas untuk kepentingan pondok tersebut.
Atas apa yang ia lakukan tersebut gurunya benar-benar bangga memiliki murid seperti dia, bukan hanya itu, seluruh anak pondok yang belajar disanapun sangat berterima kasih padanya.
Setelah beberapa hari di pondok, ia pulang lagi ke kampung dengan iringan doa dari seluruh warga pondok. "Selamat jalan mas, mugo-mugo panjenengan diparingi sehat, lancar rejeki lan selalu ingat karo seng kuoso, amin...", begitulah dia dari mereka.
--- Tamat ---