Ibu Tiri yang Kejam, Cerita tentang Kedisiplinan

“Ibu Tiri yang Kejam”, cerita tentang kedisiplinan berikut ini memiliki nuansa kesedihan tetapi juga memiliki pesan moral yang sangat baik untuk direnungkan. Tentu tidak sia-sia jika kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari apa yang kita baca.


Cerita kali ini memiliki tema tentang seorang ibu tiri yang sebenarnya memiliki hati yang baik dan peduli. Cerita seperti ini sebenarnya banyak kita jumpai tapi tentu saja semua kisah ada ciri sendiri. 

Kali ini kita akan menikmati kisah yang tidak begitu panjang, cukup singkat dan tidak akan menghabiskan banyak waktu. Seperti apa kisahnya, mari kita nikmati kisah tersebut bersama-sama. 

Ibu Tiri yang Kejam
Cerita tentang Kedisiplinan oleh Irma 

“Hana…! Hana… tuli kamu ya…!” teriak seorang wanita paruh baya sambil membawa sebuah ember kecil berisi air, masuk ke dalam kamar.

“Mau enak-enakan kamu ya di rumahku…!” teriaknya lagi sambil menyiramkan seember air ke atas muka seorang gadis remaja yang sedang lelap tidur. 

Seorang remaja putri kaget bukan kepalang, Hana melompat setinggi-tingginya dari tempat tidur. “Iy…iya bu…”, ucapnya setelah menyadari apa yang terjadi.

“Ibunya sibuk bukannya membantu, pulang sekolah malah enak-enakan tidur. Sudah jam berapa ini!” oceh sang ibu. 

Hana adalah putri pertama anak Legiman, seorang guru jujur yang terpaksa harus bercerai karena tak sanggup memenuhi tuntutan sang istri yang super glamor. 

Hanan terpaksa ikut sang ayah karena ibu kandungnya tak peduli dengan dirinya. Istri kedua Legiman sebenarnya tak seburuk istri pertamanya. Meski begitu, ia lebih cerewet dan tidak bisa berkata lembut. 

Di mata Hana, Sunarti adalah ibu tiri yang sangat kejam. Ia tak pernah mengerti anaknya, ia tak kasihan dengan anaknya yang baru duduk di bangku SMP. Hana yang masih baru gede sudah dijejali dengan berbagai pekerjaan rumah yang berat. 

Meski begitu, Hana tidak berani mengeluh, apalagi melawan. Legiman sang ayah sebenarnya tahu. Kadang ia juga kasihan tapi ia tahu meski keras Sunarti lebih peduli dengan Hana dari pada ibu kandungnya. 

Sunarti memang tidak pernah mengucapkan sayang tapi ia tidak mau punya anak, meski bukan anak kandung, yang tidak berkualitas dan manja. 

Dari pagi buta hingga larut, Surti selalu membuat sibuk Hana dengan berbagai pekerjaan. Tapi bukan berarti lupa bahwa Hana masih sekolah. Bisa dilihat, meski sibuk ia juga tetap menyuruh Hana belajar. 

“Jadi cewek itu jangan lelet. Jangan manja, buruan dikerjakan. Keburu bapak pulang belum siap makanannya”, omel Sunarti sambil meninggalkan Hana di dapur. Ia kemudian pergi. 

Setengah jam beralalu. Sunarti kembali. Ia melihat seluruh sayur mayur siap untuk dimasak. Terlihat senyum kecil di sudut bibirnya yang tebal. “Sudah selesai?”, tanya Sunarti. 

“Iya… sudah bu… Ini mau diapakan bu?”, tanya Hana lagi. “Ya dimasak. Ya sudah, sekarang kamu cuci piring dulu. Biar ibu yang masak. Dari pada kamu yang masak nanti bapak kamu enggak doyan lagi kayak kemarin.” Lanjut Sunarti. 

Hana berlalu tanpa menjawab perkataan ibunya. Ia segera bergegas memberesi cucian kotor di dapur. Tangan mungilnya terlihat terampil mengerjakan pekerjaan rumah tersebut. 

Sedikitpun tak terlihat beban di wajah Hana. Hanya butir keringat yang tak henti mengalir di wajahnya. Sore itu Hana selamat. Tak ada lagi omelan yang keluar dari mulut ibunya, sampai sang ayah pulang. 

Menjelang magrib, Legiman pulang dari kebun. Ia segera duduk di ruang keluarga sambil menikmati acara tv. Sunarti datang dari dapur membawa segelas teh dan kue kering. 

“Ini tehnya pak…” 

“Oh… iya bu… terima kasih” 

Legiman kemudian menyeruput teh buatan Sunarti. “Tumben ibu bikin enggak manis?”, ucap Legiman. “Gulanya tinggal sedikit pak. Jadi di hemat”, sahut Sunarti sambil duduk di sisi suaminya. 

“Oh, Alhamdulillah kalau begitu. Tadi di ladang ada orang datang beli kepala bu. Lumayan, ini dapat uang seratus ribu”, ucap Legiman sembari mengeluarkan dua lembar uang lima puluh ribuan dan memberikannya kepada sang istri. 

“Wah, coba kalau setiap hari begini pak… ibu pasti tidak akan sering marah-marah”, ucap Sunarti sambil tersenyum. 

“Ibu bisa saja… tapi kan pohon kelapa kita tidak banyak bu. Ya mungkin minggu depan giliran kita jual pisang. Pisangnya sudah banyak yang tua, mau dijual semua atau bagaimana bu?”, lanjut Legiman. 

“Jangan semua pak… sisakan sedikit buat kita” jawab sang istri. “Ya sudah. Eh, ngomong-ngomong Hana dimana bu. Ko sepi dari tadi?” tanya Legiman. 

“Ah, anakmu ya dimakar. Kalau enggak ibunya teriak-teriak mana mau dia keluar…” jawab Sunarti. 

Malam mejelang. Udara semakin hening. Nyanyian binatang malam sesekali menyeruak di kegelapan. Legiman dan keluarganya terlelap dalam mimpi yang tak jelas. 

Pagi buta, suara Sunarti sudah memecah keheningan. Ia berteriak-teriak membangunkan Hana. Hari masih pukul lima pagi tapi suasana sudah begitu panas di rumah itu. 

Hana beranjak dari pembaringan setengah berlari. Jam lima, tapi baginya itu sudah kesiangan.

Banyak hal yang harus ia kerjakan sebelum berangkat sekolah. Menyiapkan pelajaran, menyapu, mencuci piring dan membantu ibunya didapur. 

Kadang badannya merasa letih, tapi ia sama sekali tak pernah mengeluh dengan perlakuan ibu tirinya yang kejam. 

“Mungkin ada hikmah di balik perlakuan ibu seperti itu”, ia menyimpan keyakinan di hati bahwa Alloh menyiapkan sesuatu yang indah baginya. 

Sekejam apapun ibu tiri, Sunarti adalah ibu tiri kejam yang menyimpan kepedulian dalam hatinya. Hana mendapatkan ibu yang tampak mengerikan namun memiliki hati yang seperti salju. 

---oOo--- 

Bagaimana menurut rekan semua, menarik tidak kisah tentang ibu tiri di atas? Ya, meski sangat pendek tetapi mudah-mudahan tidak begitu mengecewakan. 

Sekedar mengingatkan saja, rekan semua bisa mendapatkan cerita lain yang tak kalah menarik dari kisah di atas. Masih banyak kisah-kisah menarik lainnya yang sudah disiapkan. Jangan lupa untuk membacanya juga. 

Lain waktu kita akan menambah lagi koleksi terbaru yang tak kalah. Pastikan rekan semua mencatat alamat situs ini untuk mendapatkan kisah-kisah lainnya. Salam hangat dari kami.

Tag : Cerpen, Ibu, Kehidupan
Back To Top