Contoh Cerita Cinta Sejati, Kekasih Untuk Anakku

Hem... Contoh cerita cinta sejati dalam bahasa Indonesia berikut ini adalah salah satu hasil request dari rekan pengunjung. Katanya minta dicariin sebuah cerpen sederhana yang banyak terdapat percakapan tapi tidak panjang. 

cerita cinta sejati

Berikut sudah disiapkan satu karya khusus yang mudah-mudahan bisa sesuai dengan kebutuhan yang ada. 

Kalau dilihat sekilas, karya cerpen seperti itu biasanya hanya untuk kebutuhan bahan belajar untuk adik-adik yang masih sekolah. 

Meski sebenarnya kisah yang diangkat dalam karya tersebut juga cukup layak untuk dijadikan bacaan saat santai. Tidak percaya, silahkan dibuktikan sendiri ya.

Kekasih Untuk Anakku
Cerita Cinta Sejati

Baju berwarna merah muda. Rok pendek se-lutut. Tangan memulaskan gincu bening di bibir. Tubuhnya berputar ke kanan, ke kiri. 

Memandangi cermin dengan lekat. Tangan kanannya kemudian mengayunkan sisir ke rambutnya yang panjang. 

“Gimana ibu nak, sudah cantik belum?” “Duh, ibu ini dandanannya kayak abg, ibu mau kencan ya?”

Sari tersenyum tipis kepada anak gadisnya, “ibu diajak dinner sama teman kantor ibu…” “Oih… benar kencan. Sini, sini bu coba aku lihat… sudah, sudah cantik bak bidadari kok…”

Wulan tersenyum lebar mengetahui Sari akan jalan bersama lelaki. Itu berarti ibu sudah mulai membuka pintu hati untuk pria lain. Menggantikan ayahnya yang sudah sejak lama tiada.

Melihat putrinya tersenyum senang, Sari merasa begitu bahagia. Sore itu mungkin kali pertamanya ia kembali merasakan gairah hidup sejak ditinggal suami. 

“Ya sudah, ibu berangkat dulu ya, sudah ditunggu… di depan…” “Enggak di ajak masuk bu, aku kan pengen kenalan…” “Nanti saja, nanti juga kan kesini lagi…”

Sari segera bergegas. Wulan mencoba mengintip seperti apa penampakan pria yang mengajak ibunya makan malam. 

Sayang, Wulan tak sempat melihat wajahnya. Pria dengan mobil taff itu sudah keburu berbalik arah. Ia hanya bisa melihat perawakannya yang tinggi ideal. Wulan kemudian kembali ke kamarnya.

***

Kamis siang, Wulan keluar dari kampus setelah dari pagi kuliah. Ia segera menuju ke kantin untuk melepas lelah dan mengisi perut. 

“Biasa ya bu…”, Wulan segera memesan mie bakso kesukaannya lengkap dengan segelas es jeruk segar.

Selesai di kantin. Perut Wulan serasa penuh. Ia pun melangkah keluar gerbang kampus. Hari itu ia tidak membawa motor. 

Ia memilih naik taksi agar tidak ribet menyetir. Ia segera memesan taxi dari ponsel miliknya.

Baru selesai memesan taxi, tiba-tiba ada seseorang yang berjalan di belakangnya, menyenggol badannya hingga ponselnya terjatuh, “prak…!” Ponsel jatuh ke tengah jalan raya. 

Seketika itu juga, ada pengendara motor gede yang melintas… “Prak… krek….” Motor melintas tepat di atas ponsel.

“Ponselku…” pengendara itu langsung berhenti menghampiri Wulan yang jongkok di pinggir jalan. 

“Rusak ya mbak… maaf ya… enggak tahu…”, ucap pria itu. “Begini aja, saya akan ganti ponsel itu. 

Sekarang mbak ikut saya aja ke konter depan… saya akan ganti sama persis seperti ponsel mbak itu”, lanjut dia.

Wulan hanya terdiam. Tanpa kata. Pria itu segera meraih tangan Wulan, “mbak… mari ikut saya. Enggap apa-apa, tidak jauh kok. 

Cuma di depan itu”, ucapnya lagi sambil menunjuk sebuah took ponsel yang tak jauh dari kampus Wulan. Wulan pun segera bangkit setelah mengumpulkan puing-puing ponsel miliknya.

“Enggak, enggak usah mas… ini salah saya…”
“Tidak mbak… saya bersi keras… embak harus terima…”

Pria itu segera mengambil puing ponsel di tangan Wulan, termasuk kartu sim yang ada. Ia segera menarik tangan Wulan dan menghidupkan motor. 

Lima menit kemudian mereka berhenti di sebuah toko besar.

Pria itu segera meminta penjaga untuk mencarikan ponsel yang sama persis dengan yang rusak. “Sekalian pengaman ya mas, pasang tracker juga ya biar kalau ada apa-apa bisa dilacak”. 

Penjaga toko segera sibuk menyiapkan ponsel baru Wulan. Sementara itu, pria ganteng itu melayangkan tatapan mata teduh pada Wulan.

“Sekali lagi maaf ya… seharusnya aku berkendara dengan lebih berhati-hati”
“Enggak apa-apa pak, lagian itu juga bukan sepenuhnya salah bapak…”

“Eh… jangan panggil pak. Panggil aja Lerian, lagi pula aku juga masih single kok… nama kamu siapa…?”

“Eh, iya pak… eh maksudku mas Lerian…”

Lerian menatap wajah Wulan. Wulan memberanikan diri melirik ke arah pria yang ada disampingnya. Sejenak mata mereka beradu pandang. 

Ada getaran yang tak biasa di hati Wulan. Tatap mata teduh Lerian mengusik hati Wulan.
“Eh… btw kamu mau kemana?”

“Mau pulang mas… tadi baru saja pesan taxi… Oh ya ampun taxi ku….”
“Ah, taxi mu jelas sudah pergi… emang rumah kamu dimana?”
“Daerah Galangan II mas…”

“Oh… se arah sama aku. Kebetulan. Sekalian aja aku antar, aku juga mau ke kantor kok…”
“Enggak usah mas… nanti merepotkan…”
“Sama sekali tidak…”

Akhirnya, Lerian mengantar Wulan. Sebelum sampai ke rumah Wulan meminta turun. Memaksa, akhirnya Lerian hanya mengantar Wulan sampai gang.

***

Hujan deras menyelimuti bumi. Wulan tiduran di kamar sibuk dengan ponsel di tangan. Wajahnya berseri. Tatapan matanya hangat tak kepalang.

“Eh… senyum-senyum sendiri. Apaan sih?”
“Ih…. Mau tahu aja ibu ini…”

“Ya habisnya, hujan gini mainan ponsel sambil cengar-cengir dari tadi… pasti cowok ya…? Kenalin dong?”

“Sok tahu deh ibu… Eh, ibu kan masih punya hutang, gimana kemarin dinner-nya… tuh… kan, aku belum dikenalin…”

“Oh…. Kok jadi ibu sih yang kena….”
“Ah… ibu kan sudah janji mau kenalin orang yang ajak dinner ibu… siapa sih Bu?”
“Iya… iya, besok deh Ibu ajak ke rumah…”

“Nah, gitu dong…. Sebentar ya Bu…”
“Eh… mau kemana, ibu ditinggal nyelonong aja…”
“Pipis…”

Wulan segera pergi ke kamar mandi. Sari hanya bisa tersenyum sendiri melihat anak gadisnya yang sedang kasmaran. Ia pun kemudian duduk di ranjang. 

Menoleh ke kanan, rasa ingin tahu dan penasaran-nya pun muncul. “Sebenarnya siapa sih pria yang dekat dengan anakku…”

Sari segera mengambil ponsel Wulan. Jarinya menari di atas ponsel. Sekilas dilihatnya sesuatu yang seperti sangat akrab dengannya. 

Nomor ponsel. Sebelum ia sadar nomor siapa itu, Wulan sudah datang ke kamar.

“Hayo….”
“Apaan sih kamu... ngagetin ibu aja…”

“Hayo ibu ngintip ponsel aku ya… Uh dasar ibu…”

“Anu… enggak, ibu cuma heran ponsel kamu kok mengkilap banget, kayak masih baru aja… perasaan ponsel itu sudah lama banget…”

“Ah.. anu bu, panjang ceritanya…”
“Ha… emangnya….”

Wulan segera menceritakan awal kejadian pertemuan dengan Lerian. Ia menceritakan dengan detail bagaimana Lerian dengan jantan mengganti ponsel miliknya. 

Ia juga sempat memuji ketampanan pria bernama Lerian tersebut.

Guntur menggelegar, petir menyambar berkali-kali. Dada Sari bergetar begitu hebat. Panas seperti ada api yang menyambar tepat di ulu hati.

“Namanya Lerian?”
“Iya Bu… orangnya ganteng, kalem… senyumnya kayak madu… eh… jadi malu…”

“Hem… kapan mau dikenalin sama ibu…”
“Nanti ah, masih baru….”

“Em… hati-hati ya nak… ya sudah ibu ke dapur dulu…”
“Iya…”

Sari keluar dari kamar Wulan dengan perasaan tidak menentu. Nama yang disebutkan anak gadisnya adalah nama pria yang sedang mengisi relung hatinya saat ini. 

“Ah… apa mungkin… Ah, tidak mungkin…”

Perasaan Sari berlawanan dengan anaknya. Ketika Wulan bahagia dan berbunga-bunga, ia selalu merasa cemas, khawatir dan gelisah. 

Ia sangat takut kalau pria yang dicintai anaknya adalah pria yang akan segera melamarnya.

Rasa takut dan ke khawatiran itu semakin menjadi. Sari tak sanggup lagi menahan gelisah itu. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk memastikan semua yang ia takutkan.

Sore itu, saat Wulan sedang mandi, Sari segera masuk ke kamar Wulan. Ia segera mencari ponsel anaknya. 

Perlahan, jarinya mulai mengais informasi. Galeri foto, jarinya sejenak berhenti. Ia kemudian memberanikan diri membukanya. 

Didapatinya sebuah foto seorang pemuda yang tersenyum di sisi anaknya, “Lerian…!”

Sari segera menutup ponsel. Meletakkannya pada posisi semula. Keluar dari kamar Wulan dengan menahan derai air mata.

---oOo---

Back To Top