Seperti kemarin, ketika baru
mengenal cinta. Putih biru, putih abu-abu, zaman sma, masa yang sangat indah
bagi kehidupan dan kenangan antara Airin dan Jalal. “Hai cinta, besok bantu aku
kerjain tugas ya…”, begitulah salah satu pesan singkat yang sering mondar-mandir
melalui ponsel mereka.
Tak seperti isi pesan singkat
yang begitu cair, pertemuan-pertemuan mereka di sekolah sangat berbeda, begitu
kaku, penuh rasa grogi dan berdebar-debar.
Nyatanya, momen dan kejadian
seperti itu pun masih saja membekas dalam ingatan. Pernah suatu kali, Airin dengan
manja meminta Jalal untuk mencarikan sebuah buku cetak. Pesan singkat yang
dikirim begitu jelas, begitu mengalir dan tanpa canggung sedikitpun.
Layaknya orang yang sudah dewasa,
“besok temani aku ya, cari buku biologi, mau kan?”, Airin berkirim pesan dengan
sangat lancar.
Sama dengan gadis remaja
tersebut, Jalal pun dengan sangat mudah mengimbangi komunikasi antar ponsel
tersebut. “pasti dong sayang, tenang besok aku bantuin deh, mau seharian juga
enggak apa-apa…”
Hari yang dijanjikan pun datang. Sepulang
sekolah, Airin harap-harap cemas berdiri di dekat gerbang. Sebagian besar siswa
sudah pulang, demikian juga dengan para guru. Sesekali ia melihat ke arah
dalam, “kenapa belum juga keluar?”, pikirnya mulai sedikit kesal.
Beberapa detik kemudian, sebuah
motor berhenti tepat dihadapannya. “Jadi…”, tanya remaja yang masih tetap duduk
di motor.
Jalal tidak berani menatap ke
arah Airin. Airin pun tidak bisa berkata-kata kecuali langsung naik ke motor
yang jalal kendarai.
Sepanjang jalan menuju toko buku
baik Airin maupun Jalal tak pernah mengeluarkan satu patah katapun. Airin duduk
dengan sedikit jarak, hanya tangannya yang sesekali memegang badan Jalal ketika
melewati jalan yang tidak rata.
Jalal mengendalikan motor dengan
lincah bak tukang ojek. Ia pun seolah sedang membawa penumpang VVIP.
Di toko buku pun tak jauh beda,
Jalal hanya berjalan membuntuti dari belakang Airin bak Anjing peliharaan yang
mengikuti majikannya. Lucu, tak ada interaksi antara mereka berdua meski
jantung mereka masing-masing saling berdegub kencang.
Keadaan yang tak jauh berbeda
terjadi lagi ketika Jalal dan Airin duduk di satu meja pada sebuah kesempatan
yang tak terduga. Jalal bahkan hanya mampu mengucapkan salam dengan senyum
kecil dan anggukan.
Airin tampaknya juga dengan
sekuat tenaga mencoba mengendalikan gejolak di dadanya ketika bertemu dengan
Jalal. Dari sorot matanya, terlihat jelas ia masih menyimpan cinta itu, seperti
kemarin, ketika mereka baru mengenal cinta.