Ternyata, seperti ini rasanya
melihat orang yang kita suka dekat dengan sahabat kita sendiri, benar-benar
hancur. Tak seperti biasanya, bel istirahat tak menjadi sesuatu yang menarik bagiku.
Ketika yang lain sibuk berhambur ke kantin, aku hanya duduk di depan kelas,
memandang mereka semua.
Sudah satu minggu ini hatiku
begitu gelisah. Entah bagaimana, aku sendiri tak bisa mengendalikan perasaanku.
Semenjak kejadian itu, aku seolah terpanah asmara, jatuh cinta pada sosok kakak
tingkat yang bahkan tak aku kenal.
Ingatanku terus saja
berputar-putar di sekitar kejadian itu. Sungguh manis, bak dalam film drama, seseorang
yang tak aku kenal berlarian penuh keringat mengejar aku untuk mengembalikan
sebuah buku yang tak sengaja aku jatuhkan.
Tapi bodohnya aku, ia pergi
sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih atau bertanya nama.
Kini sebagian anganku tertambat
pada sosok tinggi kurus itu dan tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa
bercerita dengan sabatku Mirna. Tapi ternyata, hal itu juga tak membantu, bahkan
memperburuk perasaanku.
Ternyata, cowok itu dekat dengan
Mirna. Parahnya, ia tak pernah mencoba melibatkanku dengan cowok tersebut.
Padahal ia tahu benar bahwa aku ada rasa dengan cowok itu.
Yah, Mirna mungkin tidak peduli
dengan apa yang aku rasa. Atau mungkin ia bukan sahabat yang selama ini aku
harapkan. Sekarang, aku hanya bisa menahan sesak di dada, melihat mereka
melintas menuju kantin sekolah.
Mirna mengabaikanku, meski ia
melihatku. Tak ada tegur sapa, basa-basi atau apa kepada teman. Ia asyik
bersama cowok yang aku suka.
Perih rasanya, disaat Mirna
bercanda tawa dengannya, aku hanya bisa menghabiskan setengah waktu istirahat
sekolah untuk membendung air mata. “Airin, sini…!”, teriak Mirna dari kejauhan.
“Telat…!”, ucapku sambil menuju ke WC untuk menangis.