Cerpen tentang Mimpi Seorang Sahabat Sejati - Namaku Leina, aku tinggal di Jakarta. Aku adalah putri
seorang dokter. Ayahku memiliki watak yang keras seperti batu yang sangat sulit
untuk dilunakkan. Apalagi untuk hal yang berkaitan dengan keluarga, pasti harus
sesuai keinginannya.
Walaupun putri dari seorang dokter, aku sama sekali tidak memiliki
minat untuk menjadi seperti ayah. Meskipun begitu, ayah ibu ku selalu memaksa
untuk mengikuti jejak ayahku.
Bahkan, sejak lulus SMP aku dimasukkan ke sekolah kesehatan,
apabila aku menolak perintah mereka, Ibuku selalu berkata bahwa surga itu
berada di telapak kaki ibu. Agustus 2010 lalu, seharusnya menjadi hari yang
sangat bahagia bagiku karena aku berhasil diterima di sebuah Universitas di
Jakarta yang berada tidak jauh dari rumahku.
Aku berhasil melewati persyaratan yang diberikan oleh pihak
kampus. Namun, semua sirna bak ditelan bumi ketika dua orang berpakaian rapih
mendatangi ku dan memberikanku sebuah paspor dan tiket, mereka adalah ayah dan
ibuku.
Ternyata tanpa se-pengetahuan ku mereka sudah menyiapkan
keberangkatan ku ke London. “Paspor ini untuk mu Rei, ayah sudah menyiapkan
segala keperluanmu untuk tinggal di London.”
Seketika pikiranku menjadi kacau.“Tapi yah, aku sudah masuk
di kampus ini. Tidak adil rasanya jika aku harus meninggalkan kampus yang aku
inginkan sejak SMP ini. Lagi pula aku tidak tertarik untuk belajar di negeri
orang.”
Berusaha aku menolak tapi hasilnya tetap sama ayah tetap
keras kepala.“Ayah tidak mau tahu, yang jelas dua hari lagi kamu harus
berangkat”, bantah ayah ku.
Kesedihan semakin membalut hati ku, hingga tanpa sadar aku
terbangun dipagi hari dimana pada hari itu aku akan diberangkatkan ke London
oleh ayah ku. Tepat jam 5 sore, aku berangkat menuju Bandara dengan diiringi
hujan yang seolah-olah tidak ingin aku pergi.
Langkah kaki ku berat untuk meniggalkan kota ini. Hatiku
ingin menjerit sekeras mungkin, namun siapa yang mau dengar? Apa yang bisa ku
lakukan selain menuruti perintah kedua orang tua ku untuk sekolah di London.
”Jika kamu ingin menjadi anak yang berbakti kepada orang tua
maka kamu harus menuruti perintah mereka, ayah percaya kamu pasti akan
melakukannya kan?”, desak ayahku.
“Tapi yah.” Aku berusaha menjawab namun ayah ku langsung
memotong pembicaraan ku, “Itu pesawat yang akan kamu tumpangi akan segera
berangkat.” Aku langsung menuju pesawat yang 5 menit kemudian berangkat.
Dua hari setelah aku tiba di London, aku berusaha menatap ke
segala penjuru Kota itu, semua nampak asing bagi ku. Hari pertama aku pergi ke
kampus aku belum bisa beradaptasi dengan baik dengan hingar-bingar mahasiswa
kampus itu.
Dengan keadaan ku yang seperti itu, datang seorang wanita
dengan 2 tumpuk buku menyapaku. “Hei, what is your name? And where are you come
from?” Aku tersadar dan melihat wanita yang menyapa ku.
“Hei, I am Leina and I come from Indonesia, who are you?”
tanya ku kepada wanita itu.“Aku Nadia, aku juga dari Indonesia.” Aku pun
terkejut. Ternyata Nadia adalah warga Negara Indonesia juga, pembicaraan kami
pun berlanjut hingga aku memutuskan untuk tinggal bersama Nadia.
Waktu berjalan, 1 semester telah aku lalui dengan beban
berat yang ada dipundak. Suatu hari, saat aku membersihkan tempat tidur, aku
membaca hasil Laboratorium yang menjelaskan bahwa Nadia positif mengidap
penyakit kanker yang memang sudah 2 tahun terakhir bersarang ditubuhnya.
Sebagai seorang sahabat, aku tentu bisa merasakan sakit yang
dirasakan Nadia. Namun, meski Nadia mengidap penyakit yang mematikan ia tetap memberi
aku semangat.
”Kamu harus tetap semangat ya Rei, aku tahu kamu tidak suka
disini. Itung-itung selain demi orang tua kamu, dan demi aku juga kamu harus
tetap bertahan disini. Aku yakin suatu saat cita-cita kamu bakal tercapai kok.”
Aku menangis mendengar kalimat yang terucap dari mulut
Nadia. “Terima kasih ya, terima kasih banget kamu sudah mau jadi sahabat
terbaik. Terima kasih juga sudah mau mendengarkan segala cerita dan masalah
aku.” Nadia langsung memeluk ku.
Semakin lama aku berada di Kampus itu keinginan ku untuk
meninggalkan London semakin kuat, tapi aku kasihan pada Nadia jika aku pergi
maka siapa yang akan menemaninya dalam keadaan ia melawan penyakit seperti itu.
Pada 5 Januari orang tua ku datang mengunjungi ku. “Hai yah,
bu. Apa kabar? I miss you so much.” Sambil memeluk ibu ku. “Oh iya Bu, Yah
kenalin ini Nadia. Dia sahabat aku selam disini, aku juga cerita apapun ke
Nadia.
Jika bukan karena Nadia juga aku mungkin sudah lama pergi
meninggalkan kota ini.” Pembicaraan ku di potong oleh Nadia dengan menyubit ku
sebagai isyarat untuk tidak melanjutkan omongan ku.“Leina, ibu sama ayah baru
saja sampai. Apa kamu mau bikin masalah?” bentak ibu ku.
Aku diam, berpikir bahwa aku akan mengatakannya besok pagi
saja kalau semua sudah dalam keadaan segar kembali. Ketika pagi datang aku
bangun agak kesiangan dan langsung menyiapkan buku mata kuliah ku.
Tak seperti biasanya Nadia yang selalu membangunkan ku di
pagi hari, hari itu tidak.“Nadia bangun, kamu kan ada kelas pagi hari ini.”
Panggil ku sambil mengetuk pintu kamarnya.
Namun saat aku menggoyangkan tubuhnya, Nadia tetap diam saat
itu aku mulai panik dan aku mengetahui bahwa Nadia pingsan. Aku langsung
memberi tahu ayah dan kami langsung membawa Nadia ke Rumah Sakit.
Setelah 3 jam, Nadia pun akhirnya sadar dan dipindahkan di
ruang rawat. Karena aku tahu sejak semalam Ayah dan Ibu tidak memakan makanan
apapun aku segera pergi ke lantai atas untuk membeli makanan.
Tanpa sepengetahuan ku Nadia mengatakan semua tentang aku
kepada ayah.“Om, terima kasih ya sudah mau membawa aku ke Rumah sakit ini,
terima kasih juga sudah mau menemani aku disini.
Om, aku mau minta maaf sebelumnya aku cuma mau bilang kalau
selama ini setiap malam Leina selalu selalu nangis om. Aku tahu Leina nangis
karena apa, ya karena fakultas ini.
Dia tidak ingin om masuk fakultas ini, tapi demi om sama
tante dia rela korbanin masa depannya. Maaf om kalau aku lancang tapi om Leina
itu anak yang baik, please om kasih Leina kebebasan buat milih apa yang dia
suka.
Lagian Leina juga sudah dewasa, aku yakin dia pasti bisa
milih mana yang baik dan mana yang buruk.” Bujuk Nadia. Ayah ku hanya diam
mendengar ucapan Nadia.
Di tempat lain, sesudah aku membeli makan untuk ayah dan ibu
aku terhenti di ruang tunggu, aku menangis melihat keadaan Nadia yang sudah
semakin parah.
Melihat aku yang sedang menangis ayah segera memelukku.
“Ayah minta maaf nak, ayah tau selama ini ayah salah. Sebagai tebusan untuk kesalahan
yang telah ayah lakukan kamu boleh memilih dimana kamu akan kuliah. Ayah akan
dukung apapun keputusan kamu.” Kata ayah ku.
Awalnya kau tak mengerti apa yang dibicarakan oleh ayah,
yang jelas aku bahagia mendengar semua nya.“Terima kasih ayah, sudah mau
mengerti keinginan aku, terima kasih sudah mau dukung apapun keputusan aku.”
Aku pun merasa sangat bahagia.
Beberapa hari kemudian, aku menyelesaikan segala urusan
kepulangan ku ke Indonesia. Nadia juga mengantar ku sampai Bandara. Di hari
pertama ketika aku pulang ke Indonesia ternyata kondisi kesehatan Nadia kembali
turun, ia pun segera dilarikan ke Rumah Sakit dan sempat beberapa jam mengalami
koma.
Keesokan harinya ayah diberi tahu bahwa Nadia telah
meninggal dunia, sebelum meninggal Nadia sempat menulis pesan agar kematiannya
tidak usah disampaikan ke Leina sebelum Leina masuk ke fakultas yang
diinginkan.
Di sisi lain, setelah satu tahun aku kembali dari London aku
mendaftar di Universitas Negeri di Yogyakarta di Fakultas Sastra. Seperti matahari
yang menyapa pagi dengan sinarnya, wajah ku juga tersenyum menyapa pagi di
Yogyakarta.
Selain itu, aku juga bahagia karena aku juga berhasil
menerbitkan sebuah buku yang ku tulis selama aku masih tinggal di London. Saat
aku menerbitkan buku pertama ku, aku diberi tahu ayah bahwa Nadia telah
meninggal 1 Tahun yang lalu.
Aku merasa sangat sedih karena hal itu.”Yah, boleh tidak
jika aku minta izin untuk menemui keluarga Nadia yang ada di Malang.” Pinta ku
dengan kesedihan yang tersirat diwajahku.
”Pasti boleh nak, sana kamu segera berangkat. Jika sudah
sampai kamu harus beri kabar ya.” Tutur ayah ku.“Baik yah, aku pasti kasih
kabar.” Aku segera bergegas
Akhirnya aku pergi ke Rumah Nadia yang ada di Malang, aku
pergi ke sana awalnya hanya ingin bertemu dengan orang tuanya namun orang
tuanya bercerita banyak tentang Nadia lalu memberikan diary miliknya.
Aku lalu membacanya bait demi bait isi hariannya. Air mataku
berlinang seakan menumpahkan perasaan ku sesungguhnya.
Kini aku baru tahu sesungguhnya hari-hari Nadia yang ia
lalui begitu berat, kini saatnya aku mewujudkan impian Nadia yang tertulis
dalam buku hariannya yaitu mendirikan sebuah yayasan penderita kanker. (Cerpen
oleh Lisa Maliana XI IPA2)
---oOo---