Kecil menjadi besar, remaja tumbuh menjadi dewasa. Kisah cerpen kehidupan kali ini mengambil tema tentang kehidupan yang berhubungan dengan pertumbuhan seseorang menjadi seorang dewasa. Sepertinya tidak seperti yang dibayangkan.
Kalau dimaknai dari judulnya sih, sepertinya si peran utama dalam cerita merasa kaget dan tidak menyangka bahwa menjadi seorang dewasa itu ternyata tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Tak mudah, katanya.
Menjadi Dewasa Itu Tak Mudah
Contoh Cerita Cerpen tentang Kehidupan
Ketika masih kecil, satu hal yang sangat aku inginkan adalah menjadi dewasa. Karena dengan menjadi dewasa aku kini berhak menentukan pilihanku sendiri. Saat kecil, pikiranku selalu terkurung dan di batasi oleh pikiran-pikiran orang dewasa.
Tidak boleh ini lah, tidak boleh itu lah. Harus begini lah,
harus begitu lah. Aku tidak pernah bisa melakukan sesuatu yang benar-benar aku
inginkan. Aku ingin segera menjadi dewasa dan bisa melakukan apa saja. Pacaran,
berteman, bekerja, dan lain sebagainya.
Aku ingin itu semua. Karena dengan menjadi dewasa aku akan
bisa mengatur dan menentukan hidupku sendiri. Tidak perlu lagi harus mematuhi
perintah orang tua dan melarang ini dan itu. Yang jelas, aku merasa ada sebuah
kebebasan saat aku menjadi dewasa.
Dan kini Tuhan mengabulkan apa yang aku inginkan. Aku sudah
menjadi dewasa dan sudah tinggal sendiri. Meskipun hanya di sebuah kamar kost
yang kecil dan masih mendapat kiriman dari orang tua, tapi setidaknya aku bisa
menentukan pilihan sendiri.
Begitu lulus SMA, aku memutuskan untuk melanjutkan
pendidikan di kota yang jauh dari kampungku. Karena aku berharap aku akan
segera bisa mendapatkan sebuah kebebasan.
Namun naifnya, aku memilih universitas di kota dimana tidak
ada satupun sanak saudara dan keluarga di kota itu. Dan itulah kesalahan
pertamaku dalam mencari sebuah kebebasan.
Beruntung aku memiliki seorang teman yang juga kuliah di
kota ini. Jadi, dia bisa menemaniku untuk mencari kosan. Dia memang lebih tua
dariku dan kuliah di universitas yang berbeda denganku.
Tapi karena kami berasal dari kampung yang sama, akhirnya
dia bersedia membantu ku dengan suka rela. Dengan penuh perjuangan kami
berjalan menyusuri kota untuk mencari kosan.
Setelah berjuang mengelilingi koat, akhirnya aku mendapatkan
kosan juga. Memang tidak terlalu bagus. Tapi harganya yang murah dan
fasilitasnya yang memadai kurasa cukup untuk membuatku mendapatkan kebebasan.
Setelah aku mendapatkan kosan, temanku itu berpamitan untuk pulang kekosannya
dan meninggalkan ku sendiri di kamar kos baruku ini.
Senang rasa nya akhirnya aku bisa terlepas juga dari
belenggu orang tua. Keesokan harinya aku memulai kuliah pertama ku. Semuanya
terasa lancar dan cukup menyenangkan.
Aku mendapatkan banyak teman baru baik di lingkungan kosan
mau pun di lingkungan kampus. Mereka cukup baik padaku karena memang aku juga
berusaha untuk bersikap baik dengan mereka.
Namun setelah sekitar dua bulan berjalan, sebuah derita kini
menyapaku. Kehabisan uang dan telat kiriman. Itu lah hal yang sering sekali
membuatku menderita. Sebelumnya saat aku kehabisan uang dan orang tua ku telat
mengirimi uang, aku biasa meminjam uang pada temanku.
Tapi kini, aku tidak mungkin mau terus-terusan meminjam uang
pada mereka. Mereka juga pasti memiliki kebutuhannya masing-masing. Alhasil,
puasa dan hidup minimalis menjadi pilihan ku.
Saat kiriman dari kampung tiba, aku berusaha semampu ku
untuk menjadi irit. Aku sadar sikap
boros akan membuat ku menderita. Terlebih aku tidak memiliki sanak saudara
ataupun keluarga disini. Ini cukup menyulitkanku.
Di tengah masalah ekonomi yang melanda, kini muncul masalah
baru yang selalu melekat erat pada orang dewasa. Yah, masalah itu bernama
cinta. Mungkin aku lah yang salah karena
sudah lancang berani jatuh cinta pada gadis idola kampus.
Dan cintaku padanya benar-benar menyiksaku. Dulu aku pikir
saat sudah menjadi dewasa aku bisa dengan bebas mencintai seseorang dan
kemudian menjalin sebuah hubungan.
Tapi kenyataaannya, semua itu sama sekali tak mudah. Aku
harus berkali-kali menelan pil pahit karena terlalu naïf mencintai gadis idola
kampus. Apa lagi yang bisa aku lakukan selain mengaguminya dari jauh.
Pernah sekali aku mencoba untuk mendekatinya. Mencari nomor handphone
nya dan kemudian mengiriminya pesan. Namun aku sadar aku memang terlalu
naif.
Dia sama sekali tidak membalas pesanku. Bahkan hanya sekedar
untuk menanyakan siapa si pengirim pesan. Dan akhirnya sampai sekarang dia
masih belum mengenaliku meskipun aku terus mengaguminya dari jauh.
Sadar akan pilihanku yang terlalu naif, akhirnya aku
memutuskan untuk mengejar wanita lain saja. Yaah, yang sekiranya sesuai lah
untukku. Dan tak butuh waktu lama akhirnya aku berhasil menemukan wanita itu.
Dia berada satu kelas dengan ku dan sudah pasti kami saling
kenal. Dia cukup respect terhadap perjuanganku untuk mendekatinya. Tak jarang
kami berjalan dan duduk bersama.
Hanya sekedar untuk
berbincang masalah kuliah atau pun yang lainnyaa. Begitu hubungan kami semakin
dekat dan sudah cukup lama kami saling mengenal, akhirnya aku memutuskan untuk
menyatakan perasaanku padanya dan kemudian mengajaknya untuk menjalin hubungan.
Tapi sayangnya, dia sama sekali tak memiliki perasaan yang
sama denganku. Sebuah alasan klasik yang selalu digunakan oleh wanita untuk
menolak seroang pria. “kita temenan aja ya. Aku Cuma sayang sama kamu
sebagai teman.” Menjijikan sekali.
Aku benar-benar muak dan hampir frustasi. Kejadian itu terus
terjadi berkali-kali dan berulang-ulang. Dimana kebebasan yang aku cari? Dimana
kebebasan yang bisa kudapatkan ketika aku menjadi orang dewasa? Ah entah lah… semuanya terasa begitu sulit.
Saat terpuruk karena masalah cinta yang tak kunjung ketemu
solusinya, akhirnya aku mencoba bangkit dan kemudian mencari hal-hal baru. Aku
masih yakin kalau aku bisa menemukan kebebasan
lain selain dalam hal cinta.
Yaah, dan kali ini aku mencoba menentukan pilihanku sendiri
dalam hal bakat. Aku yakin jika bakatku sudah terasah dan aku bisa menunjukan
nya pada khalayak umum. Tak hanya cinta yang akan kudapaatkan, uang juga pasti
akan berjalan mengiringinya.
Aku tak akan perlu lagi risau memikirkan kiriman yang telat
dan tak perlu lagi takut karena kehabisan uang. Sejenak aku berfikir lama untuk
menentukan bakatku ini.
Semasa SMA satu-satu nya hal yang aku sukai dan aku kuasai
adalah bulu tangkis. Yaah, setidaknya aku merasa kalau aku memiliki bakat dalam
hal ini.
Aku yakin aku punya potensi besar di dunia bulu tangkis. Dan
saat gadis-gadis melihat ku bermain, mereka pasti akan jatuh cinta padaku. Selain itu jika aku bisa menang dalam
perlombaan bulu tangkis aku pasti akan mendapatkan hadiah berupa uang yang bisa
ku gunakan untuk meneruskan hidup.
Akhirnya tekat ku kini sudah bulat. Aku akan ikut perlombaan
bulu tangkis dan mengasah bakatku. Setiap hari aku berlatih di kampus. Waktu,
pikiran, dan tenagaku ku fokuskan untuk hal ini.
Aku benar-benar berambisi untuk menjadi juara. Dan sampai
akhirnya hari yang aku tunggu-tunggu pun tiba. Lomba bulu tangkis dengan hadiah
jutaan. Tapi semua khayalan dan impian ku seketika sirna ketika aku langsung
kalah di babak awal penyisihan.
Rasanya waktu, pikiran, dan tenaga yang telah ku korbankan
selama ini sangatlah sia-sia. Kekalahanku ini memaksaku untuk merubah pilihanku
untuk mengembangkan potensi diri. Dan menyadarkan ku bahwa aku tidak memiliki
bakat dalam bulu tangkis. Sialan!
Aku pikir ketika menjadi dewasa semuanya akan terasa menjadi
menyenangkan dan mudah. Tapi ternyata semua itu sama sekali tidak berlaku
untukku. Menjadi dewasa sama sekali bukan hal yang mudah dan juga tidak selalu
menyenangkan.
Saat kecil pikiranku dan tindakanku selalu dibatasi oleh
pemikiran dan tindakan orang dewasa. Tapi saat aku dewasa, pikiranku dan
tindakan ku justru dibatasi oleh
pikiranku dan tindakanku itu sendiri. Entahlah semua ini terasa begitu sulit.
Di mana sebenarnya kebebasan yang selama ini aku cari.
Ketika aku berusaha mencari kebebasan aku selalu merasa terkurung. Atau
mungkinkah sebenarnya kebebasan itu adalah sebuah penjara itu sendiri?
---oOo---