Satu Semester Sudah Aku Kuliah - Cerita Pendek tentang Kuliahan

Ada loh yang kesulitan mencari bahan bacaan misalnya cerpen tentang kuliah. Biasanya anak-anak sekolah menengah atas (sma) yang mendekati kelulusan akan sangat antusias menikmati kisah seperti ini. Maka dari itu, kita akan hadirkan sebuah cerita berjudul "Satu Semester Sudah Aku Kuliah" yang merupakan salah satu cerpen pilihan mahasiswa. 


Isi di dalam cerita pendek ini tentu saja akan berhubungan dengan mahasiswa. Mungkin akan berhubungan dengan kegiatan perkuliahan di kampus atau bahkan mungkin tentang kisah cintanya. Agar tidak penasaran silahkan dibaca ya!

Satu Semester Sudah Aku Kuliah
Cerita Pendek tentang Kuliahan

Hari ini adalah hari terakhir pelaksanaan ujian di kampus ku. Otak ku berfikir keras mengerjakan soal-soal yang ada di kertas ujian. Beruntung, semalam aku sudah belajar mati-matian.

Hampir setiap soal bisa kukerjakan dengan mudah. Hanya beberapa soal saja yang berhasil membuatku mengerutkan dahi. Tapi, tetap saja soal itu belum sampai membuatku merasa frustasi. Sesekali Dini menoleh kearah ku.

Memberikan kode-kode aneh yang menjengkelkan. Dengan terpaksa aku pun membalasnya dengan kode yang tak kalah aneh juga. Dia memang gadis yang sedikit menjengkelkan. Sudah berkali-kali aku mengingatkan dan juga mengajak nya untuk belajar.

Tapi sama sekali dia tidak pernah menggubrisku. Baginya dunia yang ada di smartphone nya jauh lebih berharga dibanding dunia yang ada didalam bukunya. Dan disaat seperti ini, aku lah yang jadi korban kemalasannya.

Sekitar lebih dari seratus menit aku mengerjakan soal, akhirnya pengawas memberikan instruksinya juga. Kami semua diberi izin untuk pulang setelah soal-soal dan lembar jawaban kami dikumpul. Hah, lega sekali rasanya.

Beban yang dari beberapa hari yang lalu terasa begitu berat dipundakku kini serasa sudah lepas. Langkahku kini terasa lebih ringan. Dan senyum manis tak akan luput lagi dari wajahku sekarang.

“Abis ini lo mau kemana?” Tanya Dini yang kini berjalan bersamaku. Meski menjengkelkan, dia tetap saja salah satu sahabat terbaikku.

Sejak SMP aku sudah bersahabat dengannya. Dan saat SMA kami juga berada di satu sekolah yang sama. Dan itu sukses membuatku semakin akrab dengannya. Entah sial atau beruntung, kini aku dan dia kembali berada satu kampus yang sama. Dan bahkan kami berada dalam kelas yang sama.

“Kok palah diem si? Lo ngga mau langsung pulang kan?” Tanya Andini lagi membuyarkan lamunanku. Jika dilihat-lihat lagi ternyata wajahnya manis juga.

“Eh… ngga tau ini bingung. Kalo ada yang ngajakin pergi ya ngga langsung pulang.” Jawabku pada Andini. Dia langsung tersenyum lebar mendengar ucapanku. Sepertinya dia memiliki sesuatu yang direncanakan.

“Ke taman dulu yuk.” Ucapnya sembari tersenyum lebar. Aku tau dia pasti sekarang sedang senang. Karena hanya jika sedang senanglah dia akan mengajakku pergi-pergi seperti ini.

“Mau ngapain di taman?”

“Ada bakso yang enak banget disana. Gue pengen banget coba.” Ucapnya lagi masih dengan senyum lebar yang mengambang diwajahnya.
“Terus?”

“Ya lo temenin gue lah. Katanya temen. Tega lo kalo ngga mau nemenin gue.” Ucapnya sedikit manyun. Dan dia tampak sedikit lebih manis saat sedang manyun.
“Iya deh iya. Gue temenin. Tapi ntar traktir gue ya.” Ucapku padanya sembari menaik turunkan kedua alisku.

“Ye… masa cewe nraktir cowo si. Ngga keren amat.” Ucapnya sembari menepuk lenganku.

Sontak kami pun tertawa bersama. Setelah itu aku dan Dini segera pergi ke parkiran untuk mengambil motorku. Entah sejak kapan aku mulai seakrab ini dengan Dini. Aku memang sudah mengenalnya sejak SMP. Tapi dulu kami sama sekali tak sedekat ini.

Mungkin berada dalam satu kelas yang sama membuat kami yang dulu tak saling akrab menjadi lebih sering saling menyapa. Atau mungkin karena saat awal-awal masuk kuliah kami tak banyak memiliki kenalan. Hingga masing-masing dari kami akhirnya bersedia untuk saling menyapa.

Setelah sekitar tiga puluh menit aku mengendarai motorku, akhirnya tiba juga aku ditaman. Aku menaruh motorku di parkiran paling ujung dan belakang supaya lebih mudah saat ku ambil nanti.

Kini aku berjalan berdampingan bersama dengan Dini. Orang yang tidak mengenal kami pasti mengira kami adalah sepasang kekasih. Diwajah kami kini tampak sebuah tawa kecil yang menandakan betapa bahagaianya kami.

Entah bahagia karena kami sedang bersama, atau bahagia karena kami sudah melewati UAS dengan maksimal.

Setelah cukup jauh berjalan, akhirnya kami sampai juga disebuah tenda bakso kecil yang tadi dibicarakan Andini. Tidak mewah memang. Tapi aroma bakso yang kucium saat aku mendekatinya, benar-benar berhasil membuat seleraku tergugah.

Air liurku serasa seperti penuh didalam mulutku. Lidahku seolah sedang marah-marah karena ingin segera mencicipi bakso itu. Aku duduk berhadapan dengan Dini dikedai bakso kecil ini.

Saat aku memandangi kesekitar, nampak beberapa pasangan muda-mudi sedang memadu kasih. Mereka tampak begitu bahagia dengan pasangannya masing-masing. Jujur itu sudah membuatku menjadi iri.

Dan saat aku memandang kedepan, kudapati wajah cantik Dini yang dari dulu tak pernah sedikitpun ingin kumiliki.

“Bang, bakso dua ya.” Ucap Dini pada tukang bakso sembari mengacungkan kedua jarinya. Lalu dia menoleh kearahku lagi dan diberikannya senyuman yang manja padaku.

“Ngapain lo senyum-senyum?” Ucapku ketus padanya. Sengaja satu alisku kuangkat guna menambah kesan ketus.

“Haha nggapapa, gue seneng aja hari ini.” Ucapnya dengan senyum yang masih mengambang diwajahnya.

“Seneng kenapa? Lagi jatuh cinta ya?” Ucapku menyelidik. Dia hanya terus tersenyum dengan menaik turunkan kedua alisnya. Dan itu sukses membuatku jengkel setengah mati.

“Dih.. dasar gila.” Ucapku lebih ketus dari sebelumnya. Sontak dia pun tertawa puas. Seperti sudah berhasil megalahkan seekor singa yang gagah.


Setelah beberapa detik menunggu, akhirnya tukang bakso datang juga mengantar dua mangkuk bakso pesanan kami. Aromanya benar-benar menggugah selera makanku.

Saat kuseruput kuahnya, kurasakan sensasi rasa yang belum pernah kurasakan. Rasanya sangat kental dengan nuansa tradisonal, tapi juga lekat dengan gaya barat. Menciptakan sebuah rasa yang unik dilidahku. Memaksaku untuk memuji sipembuat bumbu.

“Gimana? Enak kan?” ucap Dini padaku. Aku hanya manggut-manggut menyetujui ucapannya. Lalu seperti biasa dia selalu tertawa lebar. Memang saat tertawa dia  tampak lebih manis. Lesung dipipinya memberikan kesan luar biasa diwajahnya.

“Ngga kerasa ya kita udah kuliah satu semester.” Ucapnya lagi. Aku hanya manggut-manggut karena rasa bakso ini lebih menarik bagiku ketimbang ucapannya.

“Kalo diinget-inget lagi, gue ngerasa harus banyak-banyak berterimakasih sama elo deh kayaknya.” Lanjutnya lagi. Aku menoleh kearahnya. Karena memang aku belum mengerti apa yang baru saja ia ucapkan.

“Ya kalo ngga ada elo ngga kebayang deh gue jadi apa. Diawal-awal masuk kuliah cuma lo doang yang gue kenal. Dan kalo butuh apa-apa cuma lo doang yang mau bantu gue.” Dia masih tersenyum saat mengucapkannya.

Perlahan tapi pasti, aku berusaha mencerna ucapannya sebisaku. Dan memang benar apa yang dia ucapkan. Justru, aku merasa akulah yang seharusnya mengucapkan itu padanya.

“Ahaha iya deh iya. Ngga kerasa ya udah satu semester. Rasanya kaya baru kemarin aja kita diospek.” Ucapku yang kini sudah merasa mendapatkan arah pembicaraannya.
“Iya lah ngga kerasa. Kan lo bareng terus sama gue. Hahaha.” Ucapnya lagi dengan mulut yang masih sesak dengan makanan.

“Idih…” Ucapku ketus. Tapi, jika kupikir-pikir lagi. Memang ucapannya ada benarnya juga. Tak bisa kupungkiri kehadirannya sukses membuat hari-hariku terasa semakin cepat.

Aku merasa lebih mudah melalui hariku saat bersamanya. Ah, aku tidak mau menebak-nebak perasaanku sekarang. Yang aku tau, aku merasa waktu terasa berjalan lebih cepat ketika aku bersamanya. Dan aku ingin terus bersamanya.

---oOo---

Back To Top