Cerita tentang Orang Miskin yang Jadi Kaya Memelihara Sapi

Gimana ya? Cerita tentang orang miskin yang akan dibagikan kali ini entah bisa dikatakan sebagai cerpen atau tidak. Yang jelas kisah yang diangkat dalam cerita berikut cukup mengharukan dan mungkin bisa membuat pembaca menangis.

cerita petani miskin kaya
Cerita tentang Orang Miskin yang Jadi Kaya
Ceritanya sedih. Bagaimana tidak, ceritanya mengangkat kesulitan hidup sebuah keluarga yang tidak mampu. Mungkin ceritanya bisa memberikan inspirasi dan motivasi.

Berangkat dari kekurangan dan keterbatasan, seseorang bisa saja bangkit dan meraih sukses. Tidak ada yang mustahil.

Semua bisa diraih oleh orang-orang yang tekun, rajin dan bekerja keras. Kita lihat langsung saja bagaimana selengkapnya.

Pasti Jadi Orang Kaya
Cerita Orang Miskin

Pernah melihat keajaiban secara langsung di depan mata? Mustahil belum pernah, karena di dunia ini banyak sekali hal ajaib yang terjadi.

Banyak hal yang diluar nalar terjadi di sekitar kehidupan kita. Hanya mungkin kebanyakan kita tidak menyadari hal itu. Seperti hal yang terjadi pada adik ibuku.

Beliau adalah adik kandung ibuku pas, aku menyebutnya Paman, tapi biasa memanggilnya Man Manto.Berbeda dari keluargaku, keluarga Man Manto lebih kurang beruntung.

Paman pekerja kasar, ia hanya bekerja sebagai buruh padahal anaknya banyak. 

Enggak banyak banget sih, tapi kalau dibanding keluargaku jauh lebih banyak. Keluargaku anaknya hanya dua sedangkan Paman mempunyai 4 orang anak.

Anak kedua Man Manto se-usiaku, satu kelas dan satu sekolah. Ia sering sekali menceritakan bagaimana kerasnya hidup yang harus dijalani di rumahnya.

Sebenarnya, anak pertama Man Manto sudah menikah. Tapi meski sudah menikah ia masing sering menjadi tanggungan Man Manto.

Suaminya juga orang kampung, petani biasa. Mereka sering kekurangan bahkan hanya untuk kebutuhan makan sekalipun.

Dulu Man Manto pernah merasakan kehidupan yang lebih mudah. Saat itu Bi Jah, istri Man Manto masih berdagang.

Tapi Bi Jah akhirnya dilarang berdagang oleh paman karena pernah kerampokan di jalan. Man Manto tidak mau mengambil resiko untuk keselamatan sang istri.

Beliau lebih rela kerja dua kali lipat kerasnya asal keluarganya terjamin keamanannya. 

Sejak saat itu beban hidup Paman tak pernah sedikit. Paman mati-matian berusaha menyekolahkan anak-anaknya. Ia sering bekerja sampai malam, bahkan saat menggarap sawah sekalipun. 

Man Manto punya satu lokasi sawah. Tidak luas. Semenjak kebutuhan hidup yang terus menikah, ia rela menggarap sawah orang dengan sistem bagi hasil.

Menurutku, Paman adalah sosok lelaki yang bertanggungjawab, penyayang dan tidak pernah mengeluh sedikitpun. Ia menghidupi keluarganya dengan penuh suka cita, meski sangat sulit. 

Sebagai keluarga miskin, Paman kerap kali mendapatkan musibah yang berhubungan dengan keuangan. Pernah, suatu ketika anak pertama Paman hendak lahiran tapi terpaksa harus operasi cesar. 

Biaya operasi cesar untuk melahirkan tidak sedikit bagi keluarga Paman. Ia harus membantu mencarikan biaya karena anak menantunya pun tidak memiliki uang.

Tak punya tabungan, tak punya apapun untuk dijual, Paman akhirnya harus hutang dan menanggungnya sampai beberapa tahun. 

Belum sembuh luka bekas operasi anak pertamanya, Paman harus kembali pusing karena sang istri sakit. Setelah di bawa ke dokter, Bi Jah didiagnosa menderita kanker.

Meski masih stadium awal dan akhirnya bisa sembuh total namun kondisi keuangan Man Manto semakin parah.

Akhirnya, satu-satunya harta dan modal hidup mereka harus dilepas, Paman menjual sawah yang ia miliki. 

Meski kehilangan hak kepemilikan sawah, Paman tidak kehilangan mata pencarian. Seluruh keluarga besar ber-rembuk.

Ibu dan Pakde sepakat untuk membeli sawah Paman dan membiarkan Paman mengelola sawah tersebut. Hanya seperti itu cara yang bisa ditempuh agar Paman dan keluarganya bisa selamat. 

Waktu berselang, uang hasil jual sawah itu habis untuk membayar hutang dan untuk kebutuhan sehari-hari anak sekolah. Tinggal beberapa juta yang ada pada Ibuku. 

“To, yayuk belum punya duit, jadi sisa uang kamu yang 5 juta masih belum bisa yayuk kasih…”
“Ya sudah lah yuk… mau apa lagi kalau yayuk belum ada…”

“Lagian mau buat apa lagi si To, bukannya sudah lunas semua hutang kamu?”
“Ya sudah lunas yuk, tapi ya namanya hidup kan butuh makan…”

“Ya sudah, yayuk segera carikan, tapi jangan diarepin ya…”
“Iya yuk…”

Malam itu Man Manto pulang dengan perasaan yang sedikit kecewa. Kasihan benar Paman. Aku bahkan sampai bilang ke ibu suruh cepat mencarikan uang buat Paman.

Tapi rupanya, ibu punya rencana lain. 

Dua hari berselang, ibu dan ayah pergi ke rumah Paman. Kebetulan waktu itu aku sedang belajar di rumah Paman bersama Mbak Nita anak Paman yang kedua.

Sayup ku dengar ibu dan ayah bicara serius dengan Paman. Yang ku dengar, ibu dan bapak tidak bisa mencarikan uang tapi ibu bapak masih punya satu ekor sapi betina dan akan diserahkan sebagai ganti hutang ibu ke Paman.

“Sapi itu harganya lebih dari 10 juta To. Itu buat kamu separo. Kamu pelihara saja, tidak usah dijual. Nanti anak pertama sapi itu buat yayuk.

Setelah itu sapi babon itu untuk kamu. Dengan sapi itu kamu bisa nabung To, bisa untuk kebutuhan besar”

“Tapi yuk….”
“Sudah, enggak usah tapi-tapian. Kalau masalah kebutuhan sehari-hari nanti sambil jalan yayuk bantu. Iya kan Pak…”

“Iya benar To… sapi itu diternak aja…”
“Ya sudah yuk, kang, terima kasih atas bantuannya, sudah merepotkan yayuk dan kakang terus…”

Begitulah. Dengan sedikit paksaan, akhirnya Man Manto menerima sapi dari ayah dan ibu. Ayah dan ibu mewanti-wanti Man Manto dan Bi Jah agar merawat sapi itu dengan baik layaknya anak sendiri.

Ayah meminta sapi itu jangan sampai dijual sampai anaknya banyak. 

Waktu berlalu. Satu tahun sapi paman bertambah satu ekor. Paman dan bibi benar-benar hidup prihatin, makan seadanya, tidak pernah beli baju dan tidak pernah sama sekali bersenang-senang. 

Tiga tahun berlalu, aku sudah masuk kuliah tapi Mbak Nita anak paman tidak kuliah. Ia memutuskan membantu Bibi di rumah.

Sapi milik Paman sudah menjadi 3 ekor. Satu indukan dan dua yang anakan dan sudah besar. 

Suatu malam Paman dan Bibi main ke rumahku. Setelah makan, mereka kemudian ngobrol bersama di ruang tv.

Saat itu Paman mengutarakan niatnya untuk menjual salah satu sapi untuk biaya memperbaiki rumah.

“Omahku wes arep rontok kang, la pie?”
“Halah To, yang penting kamu waspada. Ambruk juga enggak balan nimpa kamu sampai mati kok…”

“Maksud mas mu gini lho To. Waktunya belum tepat kalau kamu jual sapi sekarang, apalagi untuk rumah. La kalo yayuk, mending kamu jual sapi untuk buat kandang yang lebih besar…”

“Owalah yuk, omahe dewe we arep roboh kok mikiri kandang sapi to….”

“Ya itu salahnya kamu Jah, kamu mikirnya jangka pendek saja… kalau sapi yang kamu tahan, besok-besok kamu bisa buat rumah gedong magrong-magrong… opo ndak mau kamu punya rumah yang kokoh permanen?”

“Ya mau to yuk…”
“Ya itu, wes to nggugu yayuk…”

“Iya To. Itu namanya cobaan orang mau sukses. Kalau kamu jual sapi untuk rumah kamu bakal kehilangan modal. Wes gini saja, kalo kamu kekeh. Sapi kamu jual terus beli sapi pedet saja tapi yang betina ben sesok jadi babon. Sisa uangnya kamu belanjain untuk dandan rumah seperlunya saja… harus bisa, harus cukup…”

“Ha… itu kata mas mu itu bagus To. Tahun depan kamu punya babon dua. Berarti satu tahun bisa nambah dua sapi sekaligus kan… nanti kamu bisa beli sawah lagi…”
“Ngunu yuk…?”

“Iyo… wes besok kamu cari bakol, harga sapi mu berapa. Tapi jangan di kasih ke bakol, nanti mas mu yang bayarin aja, nanti di tambahin harganya. Iso kan mas…?”

“Iyo… iso asal sabar…”

“Yo wis kui, arep pie meneh… rampung to masalahmu?”
“Yo nek ngunu wes ra popo yu… aku manut saran-ne sampean… sok tak golek bakul.”

“Karo iki jah. Nek masak ojo terlalu di irit. Masak sego seng rodo akeh ben cah-cah podo wareg. Seng penting ono sego, lawuhe sak-sake wae kan keno…”

“Iyo yu, lawong beras we karo golek yu…”

“Yo ora popo, ra sah sedih, ra sah ngeluh. Yayuk percoyo uripmu podo ra bakal koyo ngene terus…

Koe Nita jo mbojo ndesek yo ndok… sok nek mbokde ono rejeki akeh koe belajar jahit baju. Mbokde seng bayari…”
“Enggeh mbokde…”

Beruntung, Man Manto meski sudah punya keluarga sendiri masih mau mendengarkan nasehat kakak-nya.

Bi Jah juga sangat sabar dan tidak pernah protes atau merasa hidupnya di atur oleh bapak dan ibuku. Lagi pula, memang tidak ada alasan bagi Paman dan Bibi untuk tidak mendengarkan bapak dan ibu.

Semua nasehat bapak dan ibu terbukti benar.

Betapapun miskin-nya Paman, tekad dan niat Paman untuk merubah hidup sangat kuat. Itu yang membuat Paman akhirnya bisa pelan-pelan bangkit dari kondisi ekonomi yang terpuruk. 

---oOo---

Tidak ada kata "tidak mungkin", petani miskin pun bisa menjadi orang kaya, sudah banyak cerita yang terjadi seperti itu. Makanya, terus semangat dan tetap berusaha.

Dan jangan lupa, pesan moral cerpen ini adalah "tidak ada salahnya membuka hati untuk menerima bantuan dari keluarga". Itu saja ya, silahkan dilanjutkan ke kisah - kisah menarik lainnya.

Back To Top