Kehidupan keluarga juga merupakan topik yang tidak akan pernah kekurangan judul untuk dibahas. Seperti pada cerpen kita kali ini. Bertema kesepian, cerpen kehidupan keluarga ini menggambarkan bagaimana seseorang yang berjibaku dengan perasaan yang tidak menyenangkan. "Setengah Tahun, Kesepian", judulnya sangat menarik bukan?
Bukan hanya judul yang menarik, susunan cerita ini secara keseluruhan pun bisa dijadikan sebuah bahan pembelajaran khususnya kita yang masih pelajar. Membaca cerita ini bisa melatih kita dalam mengungkapkan ide dan gagasan dalam sebuah cerita fiksi.
Setengah Tahun, Kesepian
Cerpen Kehidupan Keluarga
Hari ini tepat bulan ke lima aku sendiri. Yah, aku benar-benar sendiri. Saat aku masih berusia dua belas tahun ayahku pergi meninggalkanku dan ibuku. Penyakit leukemia yang dideritanya memaksanya pergi lebih dahulu meninggalkan kami.
Saat itu aku masih cukup kuat karena disampingku ada ibu
yang menemani. Dia memang orang yang paling terpukul atas penyakit yang
merenggut nyawa ayahku. tapi dia selalu menggenggam tanganku dan berusaha
menguatkan aku.
Dalam genggamannya seolah dia berkata bahwa semua akan
baik-baik saja. Dia sebisa meungkin berusaha untuk menguatkan dan juga
menghiburku. Sedih memang, ibuku menghiburku saat seharusnya aku menghiburnya.
Dan lima bulan yang lalu. Yah, lima bulan yang lalu. Ibuku
meninggal karena sebuah kecelakaan mobil. Dia meninggal dengan cukup tragis.
Mobil ditabrak oleh mobil lainnya dan mobil yang menabraknya itu pergi
meninggalkan ibu ku yang sudah sekarat.
Masyarakat yang melihat kejadian itu sudah berusaha
menolongnya. Tapi, sesampainya dirumah sakit nyawa ibuku sudah tidak dapat
tertolong lagi.
Aku benar-benar sendiri sekarang. Aku adalah anak tunggal dan
aku tidak punya orang tua.
Saat ibuku meninggal aku baru saja merayakan kelulusan SMA.
Dan sekarang aku sudah kuliah semester satu disalah satu Universitas ternama
didaerahku. Beruntung ayah dan ibuku menyisakan beberapa harta yang bisa
kugunakan untuk hidup.
Tidak, tidak hanya untuk hidup tapi juga untuk meneruskan
pendidikanku dan mungkin juga untuk membangun masa depanku. Tapi, walau
bagaimana pun kepergian mereka tetap saja meninggalkan luka yang begitu
mendalam dalam hati dan benakku.
Selama lima bulan terakhir aku benar-benar merasakan sepi
yang tak tertahankan. Aku selalu menangis sendirian dikamar jika mengingat
nasibku. Aku sama sekali tak punya lawan bicara dirumah. Dan dikampus, aku juga
tak memiliki banyak teman.
Sungguh pedih nasibku ini. Hidup sendiri dan sama sekali
taka da yang peduli. Kali ini benar-benar sudah tak ada lagi yang menguatkanku.
Saat ayahku pergi, ibuku selalu ada disisiku. Dan kini, aku hanya sendiri.
Menahan sakitnya derita kehidupan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Semuanya kuhapi sendiri dalam sepi.
***
Air mataku kembali menetes. Jatuh membasahi gundukan tanah
yang masih tampak baru. Kucabuti beberapa rumput yang mulai liar diatas
gundukan tanah itu. Dan sesekali kutaburkan beberapa bunga diatasnya.
Gundukan tanah yang disebelahnya pun tak luput dari
perawatanku. Sebisa mungkin kubersihkan gundukan tanah itu, sampai tak lagi
menyisakan satu pun rumput liar.
Setelah selesai membersihkan kedua gundukan tanah itu, aku
segera membacakan ayat-ayat Tuhan. Berharap dengan bacaanku ini, mereka berdua
akan semakin tenang di alam yang lain.
Saat aku berbalik dan beranjak untuk segera pulang, kudapati
ada sosok pria yang juga menangis sepertiku. Mungkin dia menangisi kedua orang
tuanya. Atau dia menangisi orang lain, aku tidak tau. Tapi yang jelas dimatanya
aku bisa melihat kesedihan yang begitu dalam.
Saat sedang memandanginya, tiba-tiba dia menoleh ke arahku.
Aku pun langsung menundukan wajahku dan segera berlalu meninggalkannya. Saat
hendak masuk kedalam mobilku, tiba-tiba langkahku terhenti.
Ada seserang yang memegang lenganku. Seolah ingin
menangkapku dan membawaku ikut serta bersama. Aku menoleh kearahnya. Dan
kudapati wajah seorang pria yang tadi menangis. Tapi, kini raut sedih
diwajahnya sudah menghilang.
Dia tersenyum manis kearahku. Aku tidak tau apa maksudnya.
Hanya mengerutkan dahilah yang bisa kulakukan sekarang.
“Renita kan? Anak sastra?” Ucap pria itu tanpa melepas
cekalannya pada tanganku. Aku hanya bisa terdiam melihat tingkahnya. Kenapa dia
tau aku? Ku rasa aku tidak cukup terkenal dan aku juga tidak mengenalinya.
“Ah.. Ee.. aku Rayhan anak sastra juga. Tapi kita beda
kelas. Mungkin kamu ngga kenal sama aku.” Ucapnya kikuk. Dia melepaskan cekalan
tangannya dilenganku, lalu dia segera menyodorkan tangannya pertanda mengajakku
berkenalan.
“Oh, iya.. iya.. ada perlu apa ya sama aku?” ucapku sembari
menyambut sodoran tangannya.
“Ee.. gini, aku boleh nebeng engga? Tadi mobilku masuk
bengkel pas aku mau nyampe sini.” Aku hanya bisa terdiam mendengar ucapannya.
Wajahnya memang sama sekali tidak menunjukan bahwa dia orang
jahat. Tapi, tetap saja aku berfikiran negatif. Tidak semua orang yang berwajah
baik itu benar-benar orang baik. Semua pelaku korupsi juga berwajah baik.
“Tenang aja, aku bukan orang jahat kok. Rumahku ngga jauh
juga dari rumah kamu.” Ucapnya lagi sembari menyodorkan KTP padaku. Sepertinya
dia memang benar-benar butuh pertolongan ku sekarang.
“Em… yaudah deh iya.” Akhirnya aku bersedia membantunya. Aku
tetap tersenyum saat menyerahkan kunci kontak mobilku padanya. Dan aku juga
menerima KTP yang dia tadi sodorkan kupandangi wajah yang ada dalam KTP itu.
Dan ternyata, dia memang benar-benar tampan.
***
Sekitar tiga puluh menit aku berada dalam satu mobil
dengannya, akhirnya kini kami tiba didepan rumahnya. Dan benar saja, rumahnya
memang terletak tidak jauh dari rumahku.
Selama dalam perjalanan ada banyak hal yang kami bincangkan.
Mulai dari kegiatan kampus, sampai nyerempet-nyerempet ke dunia politik. Sesaat
sebelum kami sampai dirumahnya, aku sempat menanyakan makam siapa yang ia
kunjungi.
Dan ternyata, itu adalah makam mantan kekasihnya. Sepertinya
dia sangat mencintai kekasihnya. Dan mungkin, dia sekarang sedang kesulitan
untuk move on. Tapi, ada yang aneh saat aku mendengar ceritanya.
Dia bilang kekasihnya meninggal lima bulan yang lalu dalam
sebuah kecelakaan mobil. Sama persis dengan nasib ibuku. Tapi, kenapa bisa
sama? Apa ini hanya kebetulan? Atau, memang keduanya berhubungan?.
“Udah sampe, mau mampir dulu engga?” Ucapnya saat turun dari
mobilku.
“Ah lain kali aja deh. Lagi ada kerjaan dirumah.” Aku
tersenyum sembari memberikan penolakan halus padanya.
“Oh, yaudah. Makasih ya udah mau ngasih tebengan. Kamu
ati-ati dijalan.” Ucapnya sembari tersenyum dan memberikan lambaian tangan. Aku
juga hanya tersenyum sembari membalas lambaian tangannya dari balik kaca
mobilku.
Aku senang ada yang mengenaliku meski aku tak mengenalnya.
Terlebih, dia juga orang yang tampan. Saat duduk dan bicara dengannya aku juga
merasa nyaman. Dan tak bisa kupungkiri, mungkin aku mulai menyimpan harapan.
***
“Deert..dert…dert..” ponselku bergetar menandakan
sebuah pesan masuk. Membuayarkan lamunanku dimalam yang sepi. Ku buka layar
ponselku dan kudapati nama Rayhan disana.
Pesannya berisi perintah untuk keluar rumah karena Rayhan
sudah berada didepan rumahku sekarang. Aku memang sudah cukup dekat dengannya
selama sebulan ini.
Semenjak pertemuan itu, kami sering makan bersama dan juga
nonton bersama. Tak bisa kupungkiri, sepertinya aku mulai benar-benar merasa nyaman dengannya.
“Udah dari tadi ya?” Tanyaku saat aku berjalan kearahnya.
Dia masih tampak tersenyum kearahku. Sepertinya dia juga merasakan apa yang
kurasakan.
“Engga kok barusan aja.”
“Em.. mau makan dimana?”
“Udah deh, ikut aja. Aku yang atur.” Ucapnya masih dengan
senyum yang manis. Aku pun hanya menurut padanya. Aku segera masuk kedalam
mobilnya dan dalam sekejap kami sudah berjalan meninggalkan rumahku.
Saat dalam perjalanan, aku sedikit khawatir karena dia
membawaku ke atas bukit. Aku tidak tau apa yang ingin dilakukannya. Tapi,
sesampainya diatas bukit aku langsung tersenyum puas.
Tidak kusangka dia akan membawa ku ke tempat seromantis ini.
Aku duduk bersama dengan Rayhan dengan ditemani satu buah lilin diatas meja. Di
atas meja juga ada beberapap makanan yang siap kami santap.
Tapi, sedari tadi aku dan Rayhan sibuk bercerita. Nampak
jelas bahwa masing-masing dari kami sedang merasakan kebahagiaan yang sama.
Keberadaanya, benar-benar sukses menghapuskan rasa kesepian dalam diriku.
Kesepian yang sudah kurasakan selama setengah tahun ini,
telah hilang dengan keberadaanya disisiku. Aku berharap, dia juga akan
menemaniku dihari-hariku berikutnya.
---oOo---