Tema pendidikan akan menjadi penyemangat jika kita ikuti dalam sebuah kisah cerpen. Fiktif maupun tidak, sebuah cerita akan memberikan pengalaman tersendiri bagi kita yang membacanya. Nah, bagi yang sedang belajar menulis, cerpen sederhana ini bisa dijadikan bahan rujukan belajar.
Isinya kurang lebih seperti yang terlihat pada judul cerita ini. Yaitu membahas mengenai bagaimana seseorang bersinggungan atau berhubungan dengan kenyataan atau masalah tentang biaya pendidikan. Langsung kita baca saja ya.
Mahalnya Biaya Pendidikan
Cerpen Singkat tentang Pendidikan
Suara tawa terdengar riuh dari berbagai sudut ruangan. Para siswa yang baru saja menginjakkan kakinya di SMA tampak begitu bersemangat di hari pertama mereka bersekolah. Mereka saling berkenalan dan juga saling bercerita.
Ada juga beberapa siswa yang bergerombol dengan teman-teman
yang satu sekolah kala SMP. Bahagia. Itulah kata yang terpancar dari
wajah-wajah muda yang kala itu bersiap untuk mengikuti hari pertama kegiatan
belajar mengajar di SMA.
Termasuk juga Aisyah. Wajahnya tampak berseri-seri. Dia
tampak begitu senang dengan hari ini. Kakinya terus bergerak-gerak saat ia
duduk. Meskipun dia tidak mendapatkan banyak teman tapi dia tetap tampak
bahagia.
Karena setelah satu tahun dia tidak bersekolah. Akhirnya
kini dia bisa melanjutkan lagi pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Saat
dia masih duduk dibangku SMP ayahnya meninggal dunia karena sakit.
Sedangkan ibunya pergi ke luar negeri untuk menjadi seorang
TKW, tapi sampai sekarang ibunya sama sekali tidak pernah mengurusnya.
Jangankan untuk mengirimi uang, bahkan untuk mengirim kabarpun ibunya tidak
mau.
Aisyah hanya tinggal dengan kakek neneknya. Beruntung mereka
masih memiliki sebuah warung kecil yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan
mereka sehari-hari. Setelah lulus SMP Aisyah tidak bisa melanjutkan
pendidikannya ke SMA.
Warung kecil milik kakek dan neneknya tidak mungkin mampu
membiayai pendidikan SMA yang mahal. Alhasil Aisyah pun diperintahkan oleh
kakek dan neneknya untuk berhenti dulu. Jika tidak mau bekerja sendiri, Aisyah
diperintahkan untuk tetap dirumah membantu kakek dan neneknya berjualan.
Di tahun ajaran berikutnya Aisyah akan kembali melanjutkan
pendidikan. Itulah yang dijanjikan oleh kakek Aisyah. Dan kini janji itu
terwujud. Aisyah kini bisa kembali duduk di bangku sekolah, meski resikonya dia
tidak bisa dengan mudah mendapatkan banyak teman.
Saat suasana kelas Aisyah sedang riuh, tiba-tiba seorang
wanita paruh bayah berpakaian rapih masuk ke dalam ruang kelas. Wanita itu
adalah wali kelas Aisyah yang akan segera memberi sambutan kepada anak-anak
baru.
“Assalamu’alaikum wr.wb Selamat datang di SMA Harapan Bangsa
ya anak-anak.” Ucap bu Mus sembari tersenyum. Anak-anak dengan semangat
menjawab salam bu Mus dengan wajah yang berseri-seri. Termasuk juga Aisyah.
“Hari ini kita perkenalan dulu ya. Silakan kalian maju
satu-persatu untuk memperkenalkan diri kalian dan juga katakana cita-cita
kalian.” Ucap Bu Mus semangat.
“Ayo siapa yang berani maju duluan?” Ucap Bu Mus lagi masih
dengan senyuman di bibirnya. Suasana kelas tampak hening.
Beberapa siswa masih terdiam karena memang tidak ada yang
berani maju untuk berkenalan. Namun keheningan itu segera sirna kala Aisyah
mengacungkan tangannya. Dengan berani Aisyah pun maju kedepan untuk berkenalan.
“Nama saya Aisyah. Cita-cita saya ingin menjadi guru.” Hanya
kalimat itu yang bisa dikeluarkan Aisyah. Tapi senyum lebarnya masih terus
mengambang diwajahnya.
Kecintaannya terhadap dunia pendidikann membuatnya tak
sanggup menahan bahagia karena akhirnya dia bisa bersekolah lagi. Suasana
seketika menjadi hening. Menantikan kelanjutan perkenalan Aisyah. Tapi bukannya
melanjutkannya, Aisyah malah terus tersenyum tanpa melanjutkan kata-katanya.
Sontak semua siswa dikelas pun tertawa bersama. Bu Mus juga
ikut tertawa meski akhirnya dia harus mengelus jidatnya karena tidak tahan
melihat kelakuan anak didiknya.
“Sudah-sudah jangan ketawa lagi. Aisyah silakan kembali
duduk dan gentian dengan teman yang lainnya ya.” Ucap bu Mus. Meskipun
ditertawa kan oleh anak-anak kelas, Aisyah sama sekali tidak menghilangkan
senyum yang mengmbang diwajahnya.
Dia masih terus berseri-seri karena begitu bahagia. Dan tak
bisa dipungkiri, keberanian Aisyah telah membangkitkan semangat dari anak-anak
dikelasnya. Sudah tidak ada lagi rasa takut atau pun malu dalam diri mereka.
Saat bu Mus kembali menawari siapa yang ingin berekenalan.
Para siswa pun segera berebut untuk bisa memperkenalkan dirinya.
Saat salah satu siswa sedang berkenalan, tiba-tiba ada
seorang pria dengan seragam yang sama dengan bu Mus. Dia masuk kedalam kelas
lalu kemudian membacakan beberapa nama.
Ada nama Aisyah dalam daftar yang dibacakan pria itu. Pria
itu menginstruksikan pada para siswa yang dipanggil untuk segera menuju ruang
TU. Karena nama-nama yang baru saja dibacakan belum membayarkan uang untuk
daftar ulang.
Lalu Aisyah dengan beberapa siswa lainnya pun segera keluar
kelas dan berjalan menuju ruang TU. Sesampainya diruang TU, sudah ada beberapa siswa
lain yang juga belum membayar daftar ulang.
Satu persatu dari mereka kemudian dipanggil dan diberi
peringatan. Sampai akhirnya tiba Aisyah dipanggil untuk duduk dihadapan seorang
pria paruh bayah. Wajah pria itu tampak lemas.
Dia tidak menyangka masih ada begitu banyak siswa yang belum
membayar daftar ulang. Dikemejanya itu, tercetak nama ‘Musarwan’.
“Aisyah, kamu dipanggil kesini karena orang tua atau wali
kamu belum membayar daftar ulang. Jadi kamu harus segera sampaikan pesan ini ke
orang tua atau wali kamu.
Karena kalau sampai besok biaya daftar ulang kamu belum
lunas, maka kamu tidak bisa meneruskan pendidikan kamu di sekolah ini.” Ucap
pak Musarwan yang duduk dihadapan Aisyah.
Aisyah yang mendengar info ini pun sontak terkejut. Ia tidak
menyangka kalau kakeknya ternyata tidak membayarkan biaya daftar ulangnya.
Pikirannya melambung jauh menebak-nebak alasan apa yang sudah membuat kakeknya
tidak membayarkan uang itu.
Dia begitu khawatir dengan hal ini. tidak disangka impiannya
yang sudah didepan mata kini harus segera pupus karena ulah kakeknya.
“iya pak, akan saya sampaikan pada wali saya.” Jawab Aisyah
lemas. Lalu dia segera berlalu meninggalkan ruangan TU.
Sepulang dari sekolah, Aisyah berjalan gontai menuju rumah
kakeknya. Langkahnya tampak begitu lemas. Dia masih tidak menyangka bahwa
impiannya menjadi guru yang sebentar lagi akan segera terwujud tiba-tiba saja
harus segera sirna karena biaya.
Biaya sekolah yang mahal sudah mengubur mimpinya. Mimpi yang
selalu ia pupuk dan ia jaga itu mau tak mau harus segera sirna terhempas jauh
dari hidupnya.
Saat Asiyah sedang berjalan ditrotoar, tiba-tiba saja ada
sebuah mobil melaju kencang dari arah belakang. Aisyah yang sedang tidak
fokuspun tak bisa lagi menghindar dan terjadilah sebuah kecelakaan.
***
Pagi ini terasa begitu cerah. Suara burung sahut-menyahut
seolah mengadu kemerduan suara mereka. Tampak seorang wanita muda dengan
seragam guru berlari dikoridor sekolah. Wajahnya tampak terburu-buru.
Dia membawa sebuah berkas ditangannya. Dari raut mukanya
tampak sekali ia ingin segera menyodorkan berkas itu pada seseorang. Dan sampai
akhirnya tibalah dia didepan ruangan kepala sekolah.
“Assalamu’alaikum.” Ucap wanita muda itu sembari membuka
pintu ruangan kepala sekolah.
“Aduuh maaf ibu kepala sekolah, ini berkasnya telat saya
bawa. Tapi, ini udah selesai kok berkas laporannya.” Ucap wanita muda itu.
Seorang wanita di atas kursi roda dihadapannya pun tersenyum ramah. Tampak
jelas dari senyumnya bahwa dia adalah orang yang baik.
“Iya bu enggapapa santai saja.” Ucap wanita diatas kursi
roda itu sembari menerima berkas tersebut. “Oh iya bu, satu lagi. Jangan
panggil saya ibu kepala sekolah ya. Panggil saja saya Ibu Aisyah.” Ucap wanita
itu lagi. Lalu kedua wanita itu saling berpelukan.
---oOo---