Motivasi usaha perlu terus dikobarkan terutama bagi kita yang sedang berjuang merintis sebuah bisnis. Bisa dilakukan dengan banyak cara. Bisa menggali dan selalu mengingat tujuan. Bisa membulatkan tekat dan tentunya bisa juga belajar dari kisah-kisah dalam sebuah cerpen.
Bagaimanapun, motivasi kita untuk membangun usaha sukses harus terus dipelihara agar kita tidak kehilangan arah dan semangat. Seperti dari kisah yang akan kita nikmati kali ini. Sebuah cerpen motivasi sederhana yang bisa dijadikan bahan pembelajaran.
Apa yang Salah
Cerita Cerpen Motivasi Usaha Sukses
Aku masih duduk sendiri di depan gerobak dagangan ku. Sudah beberapa hari ini dagangan ku selalu sepi. Orang-orang yang membeli hanyalah orang-orang yang datang dari jauh dan memang tak pernah berniat untuk membeli bakso ku.
Aku masih merasa heran dengan apa yang sudah aku alami
selama beberapa hari ini. Sudah hampir satu bulan penuh daganganku selalu sepi.
Padahal sebelumnya dalam sehari aku selalu bisa menjual
lebih dari dua puluh mangkuk dalam semalam, tapi sekarang semuanya sudah
berubah. Jangan kan dua puluh lima piring, sepuluh piring dalam semalam saja
rasanya sulit sekali.
Kulihat jam tangan yang menempel di pergelangan tanganku.
Waktu sudah menunjukan hampir tengah malam. Menunggu pembeli datang rasanya
juga akan sia-sia karena memang mungkin tidak banyak orang yang akan keluar
malam jam-jam segini.
Akhirnya dengan setengah hati aku pun meutuskan untuk pulang
tanpa membawa banyak uang. Miris sekali rasanya, aku benar-benar merasa sudah
tidak punya semangat hidup.
Sejenak aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. apakah ada
yang salah dengan daganganku sehingga sekarang menjadi sepi? Tapi perasaan
semuanya masih biasa saja. Tidak ada yang salah. Semuanya masih sama dengan
beberapa hari yang lalu saat baksoku masih memiliki banyak pembeli.
Sesampainya di rumah, ku lihat anakku sedang tertidur pulas.
Kasihan sekali dia, di usianya yang masih sangat kecil, dia harus kehilangan
kasih sayang seorang ibu. yaaah, istriku meninggal beberapa tahun yang lalu.
Saat itu anakku masih duduk di bangku SD kelas empat. Dan
sekarang dia sudah kelas enam SD dan sebentar lagi akan menghadapi UN. Dan
disaat-saat pentingnya ini, aku sama sekali tidak sempat menemaninya untuk
belajar. Bahkan di malam hari aku selalu meninggalkannya karena aku harus
berdagang.
Ku hampiri anakku yang sedang tertidur pulas. Ku tarik
selimutnya ke atas agar dia tidak merasa kedinginan. Kuelus rambut ikalnya, ku
pandangi wajahnya yang tampan. Lalu aku berbaring di samping nya. Berharap
dalam tidurnya dia bisa merasakan kasih sayang yang tak seberapa dari seorang
ayah.
***
Keesokan malamnya, aku kembali berdagang seperti biasa. Dan
semuanya juga hampir sama dengan malam-malam sebelumnya. Sama sekali tidak
banyak pembeli yang mau membeli baksoku.
Aku masih duduk termenung di depan gerobakku. Sesekali ada
orang yang melewati depan gerobakku, ku pikir dia akan membeli baksoku, tapi
ternyata dia malah melewatiku dan berjalan menuju penjual yang lain.
Malam semakin larut dan pembeli tak kunjung datang. Mala
mini ku hitung hanya ada lima orang yang membeli baksoku. Dua dari mereka
adalah temanku sendiri. Beruntung masih ada orang yang mau membeli baksoku
walaupun hanya sedikit.
Karena dengan begini aku masih bisa memberi uang saku untuk
anakku besok.
Kulirik jam tanganku. Waktu sudah menunjukan tengah malam.
Ini artinya aku harus segera pulang. Dan lagi-lagi aku pulang dengan tidak banyak
uang yang aku bawa.
Sedih sekali rasanya, kalau hari-hari terus seperti ini,
bisa-bisa aku akan bangkrut dan anak semata wayangku tidak akan bisa meneruskan
sekolahnya. Dalam perjalanan pulang aku terus bertanya-tanya pada diriku
sendiri.
Apa yang sebenarnya salah dalam daganganku ini. Kurasa aku
selalu menjual bakso yang segar dan layak konsumsi. Saus dan kecap yang aku
gunakan juga bukan saus dan kecap rendahan.
Penampilan dan kesopananku juga selalu kujaga agar
pengunjung tidak bosan. Tapi kenapa daganganku tak kunjung laku? Pikiranku
benar-benar kacau kali ini. Tubuhku terasa begitu lemas. Aku benar-benar merasa
telah di pecundangi oleh dunia.
***
Sesampainya di rumah, aku langsung menaruh gerobak jualanku
dan segera mencari anakku di kamarnya. Tapi aku tidak menemukan sosok anakku
disana. Aku berteriak memanggil namanya , tapi dia tak kunjung menjawab.
Aku terus mencari sosoknya di wc, berharap aku bisa
menemukannya. Tapi aku juga tak kunjung menemukannya. Pikiranku mulai panik.
Tubuhku terasa semakin lemas. Dan akhirnya ku sandarkan tubuhku di kursi ruang
tamu.
Entah kenapa rasanya badan ku begitu lemas. Bahkan
menggerakan kakiku untuk mencari anakku saja rasanya sangat berat.
“Pak, bapak tadi manggil aku?” Suara bocah terdengar dari
belakang. Aku menengok ke arahnya dan kudapati sosok anakku sedang memakai
sarung dan juga kopiah.
“Iya nak, kamu kemana aja dari tadi?”
“Maaf yah, tadi aku lagi sholat, jadi ngga bisa jawab
panggilan bapak.” Deg.. jantungku langsung berdebar. Aku merasa seperti sedang
di hakimi oleh anakku. Dia sholat? Setauku aku tak pernah banyak mengajarinya
bacaan sholat. Terlebih ini sudah tengah malam, ini artinya dia sholat
tahajjud.
Bagaimana bisa dia tau tentang tahajjud? Apa almarhumah
istriku yang mengajarinya? Aku sadar selama ini aku sudah jarang sholat.
Jangankan sholat tahajjud seperti anakku. Sholat wajib saja aku sudah jarang.
Oh Tuhaan… ampuni lah hambamu ini karena sudah lalai dengan perintahmu.
“Sini nak, duduk sebelah bapak.” Ucapku padanya sembari menepuk-nepuk
kursi di sampingku. Dia tersenyum lalu menghampiriku dan duduk disampingku.
“Siapa yang udah ngajarin kamu tahajjud nak?” tanyaku
padanya.
“Bu guru pak. Katanya kalo kita sholat tahajud urusan kita
akan di permudah oleh Allah. Sebentar lagi aku kan mau Ujian Nasional, jadi aku
harus rajin sholat tahajud biar ujianku nanti juga di permudah oleh Allah.”
Ucapnya polos.
Hatiku benar-benar bergetar melihat anakku ini. Aku merasa
bersyukur karena sudah menitipkannya di sekolah islam. Meskipun alasan
sebenarnya adalah biaya, tapi sekarang aku telah merasakan manfaat lainnya.
Anakku telah tumbuh jadi anak yang sholeh tanpa ku ketahui.
Bahkan dia belajar banyak soal agama bukan dari keluarganya, tapi dari
sekolahnya. Terimakasih ya Allah engkau telah membimbing anakku ke jalan yang
benar.
“Yaudah kamu sekarang tidur ya, ini kan udah malem. Besok
kamu kan sekolah.”
“Iya pak, tapi aku mau baca buku dulu. Nanti kan ketiduran sendiri kayak
biasanya.” Ucapnya sembari tersenyum. Aku benar-benar merasa bersyukur sudah
memiliki anak yang sholeh seperti dia.
Aku beranjak dari tempat ku duduk dan segera mengambil air
wudhu. Sekarang aku baru sadar kenapa daganganku tidak laku. Aku sekarang
benar-benar sudah jauh dari Sang Pencipta. Aku sudah terlalu banyak meninggalkan
perintahnya.
Dan terlebih aku tak pernah bersyukur dan berinfak ketika
daganganku masih laku dulu. Mulai hari
ini aku berjanji aku akan mendekatkan diriku pada yang maha kuasa.
Keesokan malamnya aku kembali berdagang. Kali ini berbeda
dengan biasanya. Jika sebelumnya aku berdagang hanya untuk mencarai uang, kali
ini aku berdagang tidak hanya untuk uang.
Tapi juga untuk beribadah. Aku berharap Allah akan meridhoi
usahaku ini. Sehingga aku bisa mengantarkan anakku sampai ke perguruan tinggi dan
membuatnya menjadi anak yang berguna bagi agama bangsa dan negara.
Dan benar saja, begitu aku merubah niatku, pembeli mulai
berdatangan satu-persatu. Memang tidak terlalu banyak, malam ini aku hanya
berhasil menjual lima belas mangkuk bakso saja. Tapi aku tetap bersyukur.
Saat pulang aku sempatkan untuk menyisihkan beberapa rupiah
untuk ku taruh di kotak amal masjid. Aku berharap dengan mengsodaqohakan uangku
ini, Allah akan meridhoi segala usahaku.
Hari-hari berikutnya jumlah pembeli baksoku semakin
meningkat. Aku tidak tau apa yang sudah terjadi. Tidak ada banyak yang ku rubah
dari cara berdagang ku. Semuanya hampir sama. Hanya niatlah yang aku rubah
ketika aku berdagang.
Terimakasih ya Allah, engkau telah memberikan rizki pada
hambaMu ini. Semoga saja Engkau akan menjaga hatiku ini dari kesombongan dan ke
tamakan. Ridhoi lah segala usahaku ini ya Allah. Karena tanpa ridhoMu, aku tak
akan bisa melakukan apa-apa.
---oOo---