Berbicara mengenai renungan, biasanya maknanya dalam. Bahkan dalam sebuah cerita pendek sekalipun. Cerita renungan biasanya akan
mengajak pembaca untuk menghayati dan mengkaji lebih jauh tentang topik utama
yang diangkat oleh penulis. Contoh cerita tersebut yaitu cerita yang akan
segera kita baca di bawah ini.
Contoh cerpen tentang renungan berikut ini mengajak kita
untuk berpikir mengenai kebanggaan tentang suatu hal yang sangat penting.
Mendapatkan beasiswa, pada satu sisi adalah sebuah kebanggaan yang layak untuk
diperjuangkan. Di sisi lain, kadang kala ada hal yang bersinggungan dengan hal
itu, misalnya layak atau tidaknya seseorang mendapatkan beasiswa tersebut.
Belum lagi jika kita bicara mengenai jenis beasiswa yang
didapatkan, maka mungkin tidak bisa serta merta dikatakan membanggakan mana
kala seseorang mendapatkan beasiswa. Ya itulah, namanya juga cerita yang
didesain untuk mengajak kita merenung, jadi memang perlu direnungkan lebih
jauh.
Adanya cerita ini mudah-mudahan bisa memenuhi kebutuhan
rekan pengunjung semua yang ingin membaca kisah-kisah yang lebih kental dengan
nuansa moral di dalamnya. Semoga saja, kisah yang disampaikan bisa menjadi
tambahan referensi serta inspirasi kita bersama.
Haruskah Bangga Mendapatkan Beasiswa?
Contoh Cerpen
Renungan Singkat
Malam ini aku duduk berdua dengan Doni. Dia adalah temanku
semasa SMA juga semasa kuliah. Sudah cukup lama kami tidak saling berbincang
dan mengobrolkan soal masa depan.
Beberapa bulan belakangan, memang kami sibuk dengan skripsi
kami masing-masing. Dan masuk ke fakultas yang berbeda tentu juga membuat kami
semakin jarang bertemu. Dan kini kami bisa kembali duduk bersama. Sekedar
menikmati kopi dan juga berbincang tentang masa depan.
“Abis ini lo mau kerja dimana?” Tanya ku membuka obrolan
baru.
“Gue pengen buka usaha sendiri.” Jawabnya singkat lalu
mengangkat secangkir kopi di depannya. Dan kemudian diteguknya kopi itu
perlahan.
“Lo sendiri abis ini mau kemana?” Tanya nya sembari
meletakkan cangkir kopi nya diatas meja.
“Gue mau ke luar negeri. Gue udah dapet beasiswa disana.”
Ucapku sembari tersenyum lebar. Membanggakan sesuatu yang telah berhasil ku
peroleh setelah lama tak berbincang dengannya.
“Oh ya bagus dong. Itu tandanya lo bakal jadi orang sukses.”
Ucapnya sembari membakar sebatang rok*k di mulutnya.
Dia memuji ku, tapi tak sedikit pun ada rasa iri yang
kurasakan dari dalam dirinya. Sejak SMA cita-cita kami memang sama. Sama-sama
ingin menjadi pengusaha yang sukses. Dan mungkin ini juga lah yang membuat kami
menjadi seakrab sekarang.
“Lo yakin langsung mau buka usaha sendiri?” tanya ku lagi.
Lalu kuhisap sebatang rok*k yang ada ditanganku.
“Yakin lah.”
“Modalnya?”
“Bokap.” Jawabnya singkat. Lalu kami terdiam lama. Yaah,
sepertinya baru untuk kali ini jalan pikiran kami berbeda. Aku sama sekali
tidak sependapat jika ada seorang fresh-graduate langsung membuka usaha
sendiri.
Tidak ada pengalaman dan tentu aka nada banyak masalah.
Terlebih lagi mental seorang fresh-graduate kurasa tidak cukup tebal
untuk menghadapi sengitnya persaingan di dunia bisnis. Terlebih untuk
bocah-bocah ambisius macam kami ini yang cenderung tergesa-gesa.
“Emang lo mau buka usaha apa?” Tanya ku lagi.
“Tadinya si mau buka usaha percetakan dan penerbitan. Tapi
setelah gue rundingan sama bokap nyokap, gue lebih disaranin buat buka usaha
advertising aja.”
“Terus lo mau?”
“Ya gue jelas mau dong. Gue ngerasa punya cukup bakat disitu. Lagian gue juga
udah punya sasaran pasar sekaligus jaringan yang luas. Jadi gue si yakin-yakin
aja.” Jawabnya serius.
Tentu saja ini membuatku merasa iri padanya. Entah aku yang
kurang pandai bersyukur atau memang hatiku ini sudah kotor dengan rasa iri.
Tapi yang jelas aku selalu merasa disaingi olehnya.
Bahkan ketika aku mendapatkan beasiswa dan jelas-jelas
hidupku akan lebih terjamin, aku justru malah merasa iri denganya yang baru
saja mau mengarungi besarnya lautan bisnis.
Kalau diingat kembali, sejak SMA memang aku selalu merasa
iri padanya. Semua yang aku dapatkan seolah tak pernah berharga dimatanya. Tapi
semua yang dimilikinya selalu tampak menggiurkan dimataku.
Rumput tetangga memang tampak selalu lebih hijau. Saat aku
berhasil menjuarai perlombaan catur tingkat provinsi, dia berhasil mendapatkan
juara satu lomba olimpiade tingkat provinsi.
Saat aku ingin memamerkan permainan gitar yang baru saja aku
kuasai, tanp kusadari dia sudah bisa memainkan piano dengan nada pentatonic.
Saat aku berhasil mendapatkan gadis paling cantik dikelas kami, dia berhasil
mendapatkan gadis paling sholehah di sekolah.
Ah entahlah, aku terlalu silau dengan semua yang dia miliki.
“Lo mau berangkat kapan?” tanyanya padaku yang sedang
melamun. Dia menanyakan keberangkatanku? Apa dia sudah mulai iri denganku?
“Besok lusa. Lo anterin gue ke bandara ya?”
“Siap boss. Semoga lo jadi orang yang sukses disana ya.”
Ucapnya lagi sembari mengangkat cangkir kopinya. Mengajakku bersulang. Memang
aneh ketika mengadukan secangkir kopi.
Tapi karena yang meminta adalah, sahabat sekaligus rivalku,
dengan senang hati tentu akan menerimanya. Kuteguk lagi kopi yang hangatnya
sudah mulai menghilang. Rasa pahitnya kini semakin terasa kala aku ingat
sebentar lagi temanku akan menjadi seorang pengusaha sukses.
Sementara aku, hanya akan menjadi seorang mahasiswa lagi
yang masih belum tau arah tujuan hidupku kemana. Sebenarnya sangat tidak salah
ketika aku mengambil jurusan ekonomi.
Semuanya sangat selaras dengan impianku untuk menjadi
pengusaha. Tapi berbeda dengan Doni. Dia juga ingin menjadi seorang pengusaha.
Tapi dia mengambil jurusan desain grafis.
Awalnya aku memprotes keputusannya karena mengingat
cita-cita kami. Tapi dia hanya menjawab dengan sebuah kalimat yang sangat
sederhana. “Aku menyukainya.” Itulah jawabannya atas protesku.
Aku pikir saat itu dia sudah melupakan mimpi kami. Tapi
sekarang, justru aku lah yang melupakan mimpi indah ini. Saat dia sudah mulai
merajut mimpinya perlahan, aku justru masih harus sibuk menyiapkan benang yang
harus kurajut.
Menata ulang semuanya dan kemudian menebak-nebak hasil akhir
dari rajutanku. Ah, entahlah. Aku menjai ragu dengan beasiswa ku yang sekarang
ini.
***
Aku terduduk di losmen kosanku sendiran. Ku tatapi
bintang-bintang yang tampak sedang menari. Cahaya nya terang redup terang
redup. Seolah sedang menggambarkan kondisi hati dan pikiranku saat ini. Yaaah,
hati dan pikiranku sangat kacau saat ini.
Antara iya dan tidak. Antara berangkat dan tetap tinggal. Ah
entahlah. Pertemuanku dengan Doni hari ini seperti merubah semua rencana yang
ku siapkan. Dia mengingatkan ku akan mimpi-mimpi semasa SMA dengan cara nya
sendiri.
Hanya dengan mengatakan bahwa dia akan membuka usahanya
sendiri, aku langsung teringat akan mimpi itu. Mimpi tulus yang keluar dari
mulut polos seorang remaja belasan tahun.
Mimpi itu sudah lama aku lupakan. Dan kini, mimpi itu hadir
dan merusak segalanya. Tekadku, ambisiku, dan semangatku untuk bisa sampai
keluar negeri.
Terkadang aku bertanya-tanya dengan diriku sendiri. Haruskah
aku bangga dengan beasiswaku? Haruskah orang lain iri pada ku karena aku
mendapatkan beasiswa?
Kalau iya, apa alasannya? Mungkin saat aku sudah pulang dan
kembali ke negeri ini Doni sudah menjadi seorang pengusaha sukses. Dia memang
tidak mendapatkan beasiswa sepertiku.
Tapi sangat mugkin baginya untuk memberikan beasiswa kepada
seseorang yang dikehendakinya kelak. Tapi, bukankah aku juga bisa menjadi
seperti dia. Saat kembali nanti aku sudah memiliki gelar yang berada diatasnya.
Tapi, apakah aku benar-benar membutuhkan gelar ini? Apakah
aku merasa bahagia dengan beasiswa ini? Ah entahlah. Ada terlalu banya tanda
tanya dan juga kata ‘tapi’ dalam kepalaku saat ini.
---oOo---