Cerita Kehidupan Kakak dan Adik - Mataku memandang lurus ke depan. Menatap lekat sebuah
pesawat yang terbang jauh tinggi. Kedua orang tuaku yang sedari tadi berdiri
disampingku mulutnya tak henti-hentinya berkomat-kamit.
Berdoa memohon supaya anak kebanggaan mereka di beri
keselamatan dalam perjalanan sehingga bisa sampai di tempat tujuan dalam
keadaan utuh. Aku sendiri bingung harus berkata apa.
Aku tidak tau apa yang aku rasakan. Bingung dengan perasaan
sendiri. Bahagia atau kecewa, suka atau duka, bahagia atau sengsara. Ah
semuanya sama saja. Tak ada perasaan khusus yang aku rasakan sekarang.
Mungkin karena semua perasaan khusus itu bercampur aduk
sehingga terjadilah suatu perasaan aneh yang menggebu-gebu di jiwaku. Aku
bahagia sekaligus kecewa, aku juga merasakan suka dan duka, dan bahagia juga
sengsara di saat yang bersamaan.
Mataku masih terus menatap keatas. Ke dalam sebuah pesawat yang semakin lama
semakin tampak mengecil. Di dalam pesawat itu ada seseorang yang sangat aku
kagumi dan ku benci.
Dia adalah kakakku. Kakak kandung yang mungkin sejak aku
lahir sudah sangat terhibur dengan kehadiranku. Aku dan dia lahir dari ibu yang
berbeda. Di dalam tubuh kami ada satu gen yang sama yang diwarisi dari ayah
kami. Ibunya sudah meninggal sejak aku belum lahir.
Dan kemudian ayahku menikah lagi dengan ibu kandungku. Dan
setelah it lahirlah aku. Kakakku adalah laki-laki yang tangguh. Meski sejak
kecil ia di tingal ibunya, aku sama sekali tidak pernah melihat kesedihan
terpancar di matanya.
Bahkan ketika kami berziarah ke makam ibunya, hanya ayahku
yang menangis di depan makamnya. Ibuku hanya mengelus punggung ayah berusaha
menenangkannya. Sementara dia menatap lekat kea rah makam ibu kandungnya dan
tak sedikit pun raut kesedihan nampak diwajahnya.
Aku tau dia pasti sedih karena kehilangan ibu kandungnya
sejak kecil. Walaupun ibu ku memberikan kasih sayang yang sama pada kami, tapi
pasti dia juga tetap ingin merasakan kasih sayang dari ibu yang sesungguhnya.
Yang melahirkannya secara langsung dan memiliki ikatan darah
secara langsung dengannya. Mirisnya tiap kali aku mencoba menghiburnya, dia
malah memberikan aku beberapa mainan yang bisa membuat ku takjub.
Dia menghiburku saat dimana aku harus menghiburnya. Itulah
ironi yang sering aku rasakan saat bersamanya.
Umur kami tidak terpaut jauh. Hanya berbeda dua tahun saja.
Bahkan setelah aku masuk SMA, tubuh kami sudah hampir sama. Aku dan dia tumbuh
bersama seperti saudara yang sesungguhnya.
Tak jarang dia mengajariku ku tentang hal-hal baru yang
menakjubkan. Seperti saat itu ketika dia memperkenalkan ku dengan internet.
“Hey Rendi. Cobalah ini. Ini namanay internet. Disini kau
bisa menemukan apa pun yang kamu mau! Bahkan kau juga bisa mencari pacar
disini!” ungkapnya yakin. Tak hanya itu, dia juga banyak mengari ku hal lain.
Seperti saat aku kebingungan mempelajari tensis dalam bahasa
inggris. Dia tak hanya membantuku untuk mengerti tensis, tapi dia juga
memberikan sebuah pencerahan dengan metode belajar bahasa inggris yang luar
biasa.
Entah sejak kapan aku mulai mengaguminya tapi yang jelas dia
lebih dari sekedar kakak bagiku. Di saat yang bersamaan dia juga bisa menjadi
seorang sahabat sekaligus rival bagiku.
Aku selalu ingin menyainginya, walaupun pada akhirnya dia
selalu berada diatas ku dalam hal apapun. Dan mungkin pada saat itu jugalah aku
mulai membencinya. Ayahku jelas memberikan perhatian lebih padanya karena dia
anak yang berprestasi di sekolah.
Dan bahkan ibu kandungku sendiri pun terasa lebih
mempedulikannya. Yaah, mungkin status ibu tiri juga lah yang membuat dia sangat
perhatian pada kakakku. Paradigma ibu tiri itu kejam membuatnya menjadi takut
untuk bersikap kasar pada kakakku.
Dan bahkan aku lebih sering di marahi dari pada kakakku.
Belum berhenti sampai disitu, kecemburuan dan kebencian ku padanya semakin
bertambah ketika banyak teman-teman gadis seangkatanku terang-terangan berakata
kalau kakakku lebih ganteng dari aku.
Tak jarang mereka selalu menitipkan salam untuk kakakku. Dan
itu membuat ku semakin tersiksa dalam baying-bayang kakakku sendiri. Tapi,
dibalik semua rasa cemburu dan benci itu, dia tetaplah kakakku.
Dia selalu melindungi saat aku di incar oleh gerombolan
bocah nakal ketika SD. Dia juga menemani ku saat aku merasa galau ketika di
putuskan oleh pacarku. Dan mungkin itulah hal gila pertama yang aku lakukan
bersamanya.
Yang membuat kemistri ku dengannya semakin menjadi-jadi.
Saat aku sedang galau karena ditinggal pacarku. Tiba-tiba kakakku mengajakku
untuk mencoba bagaimana rasanya minuman.
Orang bilang alkhohol sangat nikmat di minum ketika sedang
galau. Entah dari mana dia tau kalau aku sedang galau. Mungkin gelagat lemasku
lah yang membuat dia mencari tau tentang kehidupanku.
Yaah, tak bisa ku pungkiri dia memang kakak yang perhatian.
Saat itu, aku dan dia diam-diam mencuri uang ayahku. Dan tentu saja uangnya
digunakan untuk mencicipi bagaimana rasanya minuman.
Hanya demi diriku, dia rela melanggar sesuatu yang sejak dulu
begitu ia hormati. Mengambil hak orang lain! Itu lah sesuatu yang sangat dia
benci. Dan pada hari itu juga, dia menjilat ludahnya sendiri untuk diriku.
Setelah mencuri uang ayahku, kami pun segera pergi membeli
minuman dan meminumnya di pekarangan rumah. Waktu itu aku masih kelas 2 smp dan
dia kelas 1 SMA.
Saat sedang minum, dia tidak henti-hentinya mengumpat. Yah
karena memang rasanya benar-benar tidak enak. Dan naasnya karena umptannya itu,
kami tertangkap basah oleh ayah.
Alhasil kami pun mendapat sebuah hukuman yang mengerikan.
Selama satu minggu hidup tanpa uang jajan dan selama satu minggu pula aku di
musuhi oleh ayah dan ibu. ketika ayahku menggertak dan menyabeti kami, aku
terus menangis.
Tapi kemudian kakakku menertawakanku, dia bilang wajahku
lucu saat sedang menangis. Ku pukul kepalanya, tapi dia palah tertawa. Mungkin
baginya aku adalah hiburan yang menyenangkan.
Sekarang kakak, teman, sekaligus rivalku sudah pergi. Dia
mendapatkan beasiswa kuliah di Australi. Ini artinya mungkin dia tidak pulang
sampai lebih dari tiga tahun kedepan.
Aku merasa kehilangan, tapi juga aku bahagia. Kini aku lah
satu-satunya pusat perhatian kedua orang tuaku. Apapun yang aku minta pasti
akan diberikan. Tapi disisi lain aku merasa kehilangan.
Sebelum dia pergi, dia sempat memelukku dan kemudian
membisikkan sesuatu kepada ku. “Tumbuhlah! Dan saingi segala prestasi ku! Kau
lah satu-satunya orang yang membuat aku bersemangat untuk terus berprestasi!”
itulah yang dikatakannya.
Semangatku terbakar seketika. Semangat bersaing dengannya.
Baiklah rivalku, tunggu dua tahun lagi dan akan ku pastikan kita segera
menginjak bumi yang sama!
---oOo---