Kalau ada rekan pelajar yang ingin buat cerita cerpen tema sekolah, siapa tahu cerpen berjudul "seragam sekolah" berikut ini bisa dijadikan bahan belajar. Cerpen berikut sengaja dibuat untuk bahan belajar rekan pelajar semua dalam mempelajari pelajaran bahasa Indonesia khususnya tema menulis cerpen. Dengan adanya contoh ini mungkin saja bisa membantu.
Karya cerpen ini sangat sederhana dan mungkin kurang begitu pantas jika dikatakan sebuah cerpen. Namun begitu karya ini murni dibuat oleh penulis sendiri sebagai bahan belajar menulis. Jadi tidak ada salahnya membaca cerpen ini untuk menambah referensi.
Cerita yang diangkat dalam cerpen berikut ini seputar dunia pendidikan yaitu mengenai murid sekolah.
Dikisahkan ada seorang murid sekolah yang sangat prihatin dalam kehidupannya. Ia sangat semangat dan giat belajar meski memiliki banyak keterbatasan.
Suatu hari ia hendak meminta seragam sekolah yang baru karena yang ia miliki sudah tidak layak. Tetapi melihat kondisi ia pun tidak tega dan lebih memilih meminta sepatu yang dianggap harganya lebih murah.
Sebuah keadaan yang sangat sulit untuk usia remaja. Tapi ia tabah dan tidak mengeluh, sungguh patut di tiru. Lalu apakah ceritanya hanya seperti itu saja?
Apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga mereka, apakah akhirnya pelajar itu bisa membeli seragam yang dibutuhkan.
Tentu tidak akan bisa diketahui kalau tidak kita baca cerpen tersebut. Maka dari itu lebih baik kita baca saja contoh cerpen pelajar di bawah ini.
Cerita yang diangkat dalam cerpen berikut ini seputar dunia pendidikan yaitu mengenai murid sekolah.
Dikisahkan ada seorang murid sekolah yang sangat prihatin dalam kehidupannya. Ia sangat semangat dan giat belajar meski memiliki banyak keterbatasan.
Suatu hari ia hendak meminta seragam sekolah yang baru karena yang ia miliki sudah tidak layak. Tetapi melihat kondisi ia pun tidak tega dan lebih memilih meminta sepatu yang dianggap harganya lebih murah.
Sebuah keadaan yang sangat sulit untuk usia remaja. Tapi ia tabah dan tidak mengeluh, sungguh patut di tiru. Lalu apakah ceritanya hanya seperti itu saja?
Apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga mereka, apakah akhirnya pelajar itu bisa membeli seragam yang dibutuhkan.
Tentu tidak akan bisa diketahui kalau tidak kita baca cerpen tersebut. Maka dari itu lebih baik kita baca saja contoh cerpen pelajar di bawah ini.
Seragam Sekolah yang Rusak
Siang yang terik, udara begitu panas, jalanan begitu berdebu
dan terlihat gersang. Ratih berjalan sambil terus melihat jempol kakinya yang
menyembul keluar dari sepatu kain miliknya.
Sesekali ia juga tampak meraba baju bagian lengan yang ia kenakan, tanpa jelas lengan baju itu telah dijahit sampai pada bagian ketiak.
Sesekali ia juga tampak meraba baju bagian lengan yang ia kenakan, tanpa jelas lengan baju itu telah dijahit sampai pada bagian ketiak.
Ketika berpapasan dengan orang Ratih tampak memperhatikan
langkahnya dengan baik, ia menyembunyikan jari kaki yang keluar itu seraya
mempercepat langkahnya seolah ingin sekali cepat sampai rumah.
Setelah setengah jam lebih ia berjalan akhirnya ia sampai di
sebuah rumah kecil semi permanen. Kemudian ia segera masuk ke dalam, “bu aku
pulang”, ucapnya sambil terus menuju ke kamar.
Ibunya yang sedang sibuk di belakang tidak mendengar suara Ratih. Setelah ganti pakaian, Ratih pun segera menemui ibunya.
Ibunya yang sedang sibuk di belakang tidak mendengar suara Ratih. Setelah ganti pakaian, Ratih pun segera menemui ibunya.
“Bu… aku beli seragam baru ya, yang ini sudah jelek!”, ucap
Ratih
“Eh, kamu ini pulang-pulang kok sudah minta-minta, makan
dulu”, ucap Martinah.
Ratih pun kembali ke dapur dan mencari makan. Melihat
anaknya ke dalam Martinah sekilas melemparkan pandangannya pada putrinya yang
sudah mulai remaja itu, “Kasihan Ratih, dia pasti malu memakai seragam sekolah
yang sudah banyak jahitan seperti itu”, gumamnya dalam hati.
Martinah pun segera menyelesaikan pekerjaannya dan menemui
anaknya di meja makan. Tampak Ratih sangat lahap menyantap makan siang itu
meski hanya sayur daun singkong, sambal dan ikan asin.
“Heh… anak gadis itu makannya pelan-pelan, tidak baik…”
“Lapar abis bu….”
“Gimana tadi sekolahnya?”
“Ya begitu bu, oh iya tadi aku terpilih mewakili lomba sain
bu…”
“Oh, bagus itu, itu baru anak ibu…”
“Oh iya bu, ayah belum pulang ya?”
“Belum nak, kata bapak kamu ini lagi sepi jadi mungkin bapak
kamu pulangnya malam…”
“Kasihan bapak, yang lain sudah tidur bapak masih narik
angkot”
Mendengar perkataan anaknya ia pun langsung membelai kepala
Ratih. Martinah kemudian menanyakan kepada anaknya tentang seragam sekolah yang
tadi ia minta. “Oh iya nak, kamu tadi bilang apa, beli seragam baru, memang
seragam kamu sobek lagi ya?”
“Iya, kalau sobek sih enggak bu, tapi kadang Ratih malu,
apalagi besok mau lomba…”
“Em… ya sudah, besok ibu jualkan ayam biar kamu bisa beli
baju sekolah…”
“Enggak usah deh bu, beli sepatu aja, sepatuku sobek soalnya…”
“La…kok bisa, jangan lari-lari geh kalau jalan…”
“Ya…ibu, kan memang sepatunya sudah tua, kayak ibu….”
Mereka pun kemudian tertawa. Setelah Ratih selesai makan, ia
pun kemudian membereskan meja makan, tak lupa ia membantu sang ibu mencuci
piring kotor dan mempersiapkan dagangan untuk besok.
Melihat anaknya sedang mencuci piring, Martinah segara ke
kamar Ratih. Ia kemudian mencari sepatu putrinya yang katanya sobek.
Diambilnya sepatu kain itu, kemudian ia ke kamarnya dan keluar dengan membawa benang dan jarum. Ia pun langsung menjahit sepatu putrinya yang sudah menganga cukup lebar.
Diambilnya sepatu kain itu, kemudian ia ke kamarnya dan keluar dengan membawa benang dan jarum. Ia pun langsung menjahit sepatu putrinya yang sudah menganga cukup lebar.
Malam harinya, Martinah meminta sang suami untuk memegang
beberapa ayam yang ia pelihara untuk dijual guna membeli sepatu Ratih yang
sudah sobek dan seragam sekolah.
Hanya itu yang bisa ia lakukan karena dagangan dia memang juga sedang sepi apalagi sang suami yang bekerja sebagai sopir angkot sering kali pulang tidak membawa uang sama sekali.
Hanya itu yang bisa ia lakukan karena dagangan dia memang juga sedang sepi apalagi sang suami yang bekerja sebagai sopir angkot sering kali pulang tidak membawa uang sama sekali.
Ratih memang terlahir di keluarga sederhana yang kurang
mampu. Untuk sekolah saja ia harus sering menunggak iuran.
Jangankan untuk kebutuhan lain, untuk makan saja mereka harus irit dan mengandalkan kebun kecil di belakang rumah.
Jangankan untuk kebutuhan lain, untuk makan saja mereka harus irit dan mengandalkan kebun kecil di belakang rumah.
Mereka sangat jarang membeli sayuran, mereka hanya
mengandalkan daun singkong, talas, dan beberapa sayuran lain yang ada di
pekarangan.
Meski begitu Ratih selalu bersyukur karena masih bisa makan tiga kali sehari. Ia juga selalu giat belajar agar kelak ia bisa menjadi orang yang sukses.
Meski begitu Ratih selalu bersyukur karena masih bisa makan tiga kali sehari. Ia juga selalu giat belajar agar kelak ia bisa menjadi orang yang sukses.
--- Tamat ---