Sepertinya, cerpen tentang keluarga berikut ini suasananya sedih. Bukan sok
tahu tapi kalau dilihat dari judulnya sih sepertinya demikian. “Titip rindu buat ayah”, adalah salah satu cerita yang mengangkat tema hubungan kekerabatan
antara anak dan sang ayah.
Tentu saja, cerpen ini kental
dengan ikatan kasih sayang diantara keluarga. Kalau membahas judulnya jadi
semakin penasaran saja dengan isi ceritanya. Nanti dulu deh, tidak usah dibahas
mengenai isi dari cerpen ini.
Nanti kita baca saja langsung
baru setelah itu bisa bercerita bagus tidaknya karya tersebut. Yang terpenting
adalah kita mendapatkan satu tambahan referensi bacaan lagi. Kadang kan memang
sulit mencari cerita
menarik apalagi yang baru dan belum pernah dibaca.
Di sini saja kadang hanya bisa
menyiapkan satu judul satu hari, padahal banyak sekali yang menantikan
kisah-kisah terbaru. Tapi tidak apa-apalah, nanti juga semakin banyak
koleksinya. Sekarang kita baca saja dulu cerita tersebut.
Titip Rindu Buat Ayah
Cerpen
tentang Keluarga
Gemuruh suara takbir dimalam
hari berkumandang, orang-orang di sekitarku sangat bahagia menyambut datangnya
hari raya Idul fitri. Sementara aku sedikit bahagia, tetapi tidak terlalu
bahagia. Karena meski malam ini adalah malam yang bahagia tetapi tidak sempurna
tanpa ayahku. Aku dan ibuku sangat merindukan ayahku yang telah lama merantau
meninggalkan kami.
Tapi rindu tidak terlampau
rindu, karena ada sebuah ponsel yang menjadikan dekat jarak kami. Jarak bukan
halangan untuk kita saling melepas rindu, meski dengan ponsel tidak semua rindu
tercurahkan dengan baik. Tetapi setidaknya aku selalu bisa mengetahui kabar
ayahku di sana.
Biar bagaimanapun lebaran tanpa
ayah tentulah menjadi suatu momen yang tidak indah lagi, karena semua orang
asyik bersilaturahmi dengan ayahnya, tetapi aku silaturahmi tanpa seorang ayah
dan hanya bersama ibu saja.
Pagi itu aku dan ibu berangkat
ke masjid untuk mengikuti sholat idul fitri. “Tunggu ibu nak”, ungkap ibuku
kepadaku ketika berjalan ke masjid. “Iya bu”, aku lantas menunggu ibuku yang
sedang berjalan. Kami pun berjalan lagi bersama-sama, sampai hingga akhirnya
kami di jalan bertemu teman ayahku.
“Di mana Indro mbak, kok gak
bareng”, ungkap teman dari ayahku.
“Mas Indro gak pulang mas”,
ungkap ibuku sambil sedikit sedih.
“Ya elah emang gak kangen apa
sama keluarga itu si Indro”, ungkap teman ayahku.
Ibuku tersenyum dan langsung
berjalan lagi menuju ke masjid. Sementara itu mmasjid sudah terisi penuh dengan
banyak orang, sementara aku dan ibuku menengok ke kiri dan ke kanan untuk
mencari tempat untuk sholat. Setelah bebarapa menit mencari-cari ada sebuah
tempat kosong di barisan paling belakang sendiri, ibukupun langsung bergegas
menghampirinya.
Sementara aku belum menemukan
barisanku di saf laki-laki, aku terus mencari dan ternyata di bagian barisan
tengah ada barisan yang masih koson, aku pun menghampirinya dan kemudian duduk
di barisan tersebut.
Tak lama kemudian setelah aku
duduk semua jamaah berdiri untuk melakukan sholat idul fitri. Dengan
lantanngnya mereka mengucap takbir tanda kemenangan bagi umat islam. Usai
sholat petugas khotbahpun mengisi khotbah untuk para jamaahnya.
Terlihat begitu khusyu’nya para
jamaah menyimak khotbah yang disampaikan oleh petugas kot’bah, namun di satu
sisi ada anak-anak yang justru asyik bermain di tengah-tengah kotbah yang
sedang berjalan. Aku pun maklum karena dia masih kecil dan belum tahu bahwa
ketika khotnah tidak boleh berbicarak.
“Dek jangan berisik ya dek”,
ungkapku memperingati anak kecil tersebut dengan lembutnya.
Sementara itu anak kecil
tersebut langsung diam ketika aku menegurnya. Kini suasana masjid begitu nyaman
karena hanya terdengar suara khotbah dan tanpa suara anak kecil yang asyik
bermain.
Khotbah pun selesai dan para
jemaah berdiri untuk kemudian bersalam-salam dan saling melepas maaf untuk
orang yang pernah menyakiti.
Saat seperti inilah yang sangat mengharukan bagiku, andai ayah di sini aku akan menangis sambil mencium tangan ayahku, tetapi ayahku jauh. Mungkin aku sebuah jaringan komunikasi yang bisa menitipkan pesan rinduku untuk ayah.
Saat seperti inilah yang sangat mengharukan bagiku, andai ayah di sini aku akan menangis sambil mencium tangan ayahku, tetapi ayahku jauh. Mungkin aku sebuah jaringan komunikasi yang bisa menitipkan pesan rinduku untuk ayah.
Usai sholat idul fitri, aku pun
keluar dari masjid dan berdiri sejenak di halaman sampai ibuku keluar dari
masjid.
Tak lama kemudian ibuku keluar dari masjid, kami pun pulang ke rumah dengan hati yang suci. Sesampainya kami di rumah, ibuku menyiapkan makanan untuk kami bersarapan bersama. Sarapan begitu sepi tidak ada ayah di tengah-tengah sarapan di momen yang indah ini.
Tak lama kemudian ibuku keluar dari masjid, kami pun pulang ke rumah dengan hati yang suci. Sesampainya kami di rumah, ibuku menyiapkan makanan untuk kami bersarapan bersama. Sarapan begitu sepi tidak ada ayah di tengah-tengah sarapan di momen yang indah ini.
Usai sarapan aku pun menjabat
tangan ibuku dan kemudian menciumnya sambil mengucapkan maaf dari hati yang
dalam atas kesalahan yang mungkin saja pernah kuperbuat. Sementara ibuku pun
demikian meminta maaf kepadaku atas kesalahan yang pernah dia perbuat. Usai
bermaaf-maafan dengan ibuku, aku pun menelpon ayahku.
“Halo assalamualaikum ayah”,
ungkapku kepada ayah.
“Waalaikum salam Rendi”, ungkap
ayahku.
“Ayah tabakallahuwaminkum ayah,
Rendi minta maaf lahir dan batin”, ungkapku kepada ayah.
“Iya Rendi tabakallahuwaminkum,
ayah juga minta maaf kalo banyak salah”, ungkap ayahku.
“Ayah sepi banged lebaran gak
ada ayah”, ungkapku.
“Iya maaf nak, kerjaan ayah gak
bisa ditinggal, tapi tenang abis lebaran ayah pulang kok”, ungkap ayahku.
“Yang bener yah.?”, ungkapku.
“Iya kamu mau bawain oleh-oleh
apa.?”, ungkap ayahku.
“Aku pingin dibelikan baju yang
ada tulisan Jakarta yah”, ungkapku kepada ayah.
“Oke siap komandan heheh”,
ungkapku.
“Hahaha, ayah lebaran di kota
rame gak yah”, ungkapku kepada ayahku.
“Sepi banged nak, warung-warung
aja pada tutup, untuk stok makanan ayah masih ada, jadi masih bisa makan”,
ungkap ayahku.
“Berarti enak di desa dong yah.?”,
ungkapku kepada ayahku.
“Iya dong, di desakan yang
perantau pada pulang jadi rame”, ungkap ayahku.
Sementara itu ibu di belakangku
dan meminta ponselnya,”Rendi, pinjem si ibu pingin ngomong sama ayah”, ungkap
ibuku. “Ayah-ayah ini ibu mau ngomong sama ayah”, ungkapku dan langsung
memberikan ponselnya kepada ibuku.
“Halo assalamualaikum ayah”,
ungkap ibuku.
“Waalaikum salam bunda”, ungkap
ayahku.
“Ayah tabakallahuwaminkum
ayah”, ungkap ibuku.
“Iya bunda tabakallahuwaminku”,
ungkap ayahku.
“Ayah gimana kabarnya.?”,
ungkap ibuku.
“Baik, bunda gimana..?”, ungkap
ayahku.
“Bunda baik dan sehat kok”,
ungkap ibuku.
“Masak apa bunda..?”, ungkap
ayahku.
“Masak opor kesukaan ayah dong
hehe”, ungkap ibuku.
“Bagi dong”, ungkap ayahku.
“Yah suah habis sama Rendi hehe”,
ungkap ibuku.
“Ayah mau gak, opor ayam enak
banaged”, ungkapku dengan berteriak.
“Ayah minta dong Rendi”, ungkap
ayahku.
“Makanya pulang”, ungkapku.
“Hahahah”, ayah dan ibuku
tertawa.
“Ayah sudah dulu ya, bunda sama
Rendi mau siap-siap silaturahim ketempat tetangga”, ungkap ibuku.
“Iya nda”, ungkap ayahku.
“Asssalamualaikum”.
“Waalaikum salam”.
Kami pun mengganti pakaian kami
dan kemudian bersilaturahim ke temapat tetangga-tetangga kami. Aku dan ibuku
keluar dari rumah, sementara aku melihat pak Hasim dan istrinya yang merupakan
tetangga kami hendak ingin bersilaturahim ke rumahku.
“Buk mau kemana .?”, ungkap pak
Hasyim.
“Ini mau silaturahim, ayo
mampir dulu ke rumah”, ungkap ibuku.
“Iya”.
Kami pun kembali masuk ke rumah
karena ada pak Hasyim yang bertamu. “La pak Indro dimana.?”, ungkap pak Hasyim.
“Mas Indro gak pulang pak, kerja di Jakarta”, ungkap ibuku.
“Kerja apa di sana buk.?”,
ungkap pak Hasyim.
“Kerja jadi manajer di
perusahaan semen, makanya lebaran gak pulang dan baru bisa pulang abis
lebaran”, ungkap ibuku.
“Wah sukses ya bapak Indro”,
ungkap pak Hasyim.
“Iya Allhamdulliah, pak Hasyim
sekarang kerja dimana.?”, ungkap ibuku.
“Sekarang buka usaha jual
seperpart buk, yah baru rintis buk hehe”, ungkap pak Hasyim.
“Bagus itu jadi wirausaha,
ketemu keluarga terus hehe”, ungakap ibuku.
“Iya buk, saya dulu juga pernah
merantau tapi gak betah jadi pulang lagi hehe”, ungkap pak Hasyim.
“Gak betah karena mikirin saya
dia buk”, ungkap istri pak Hasyim.
“Hahahahhah”, pak Hasyim dan
ibuku tertawa.
Akhirnya pak Hasyimpun pulang
setelah cukup lama mengobrol dengan ibuku, aku dan ibuku melanjutkan
silaturahmi ke tempat tetanggaku yang lain. Hari pertama sampai hari ke lima,
aku dan ibuku selesai mendatangi orang-ornag yang ada di desaku.
Sedangkan hari ke 7 ayahku
pulang dengan membawa baju pesananku. Kini rinduku trobati karena hadirnya
sosok ayah yang menjadi pinta dalam hati.
---
oOo ---
Jangan terlalu banyak deh, satu
atau dua judul setiap hari juga sudah lumayan untuk hiburan. Lagian kasihan
juga mata kita kalau terlalu lama membaca, Cerpen tentang Keluarga, Titip Rindu Buat Ayah. Tapi, tidak salah dong kalau kita
mencari beberapa cerita lain untuk dibaca lain waktu, benar tidak?
Jadi, besok kalau ada waktu luang kita bisa langsung membaca cerpen. Menghemat waktu di internet, dengan begitu biayanya juga tidak banyak kuota. Ya sudah, silahkan pilih saja beberapa judul yang sudah disediakan dibagian akhir tulisan ini. Itu saja ya, silahkan dilanjutkan.
Jadi, besok kalau ada waktu luang kita bisa langsung membaca cerpen. Menghemat waktu di internet, dengan begitu biayanya juga tidak banyak kuota. Ya sudah, silahkan pilih saja beberapa judul yang sudah disediakan dibagian akhir tulisan ini. Itu saja ya, silahkan dilanjutkan.