Cerita Pendek Remaja - cerpen kita kali ini menggambarkan sebuah kisah remaja dengan sepatu kesayangan yang sudah sangat tua. Bukan sembarang sepatu, sepatu miliknya adalah sebuah sepatu yang memiliki banyak kisah dan kenangan yang tak mungkin terganti.
Cerpen pendek tentang ramaja ini seolah mengatakan kepada kita bahwa di luar sana masih ada banyak orang yang tidak beruntung. Tentu saja, tema sedih sangat terlihat jelas dalam untaian peritiwa yang disajikan dalam cerpen ini.
"Sepatu coklat", bisa menjadi salah satu cerpen pendek yang bisa kita jadikan hiburan dikala senggang. Bisa juga, mengingat pesan moralnya yang cukup dalam maka cerita ini bisa menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi pembaca semua.
Ceritanya cukup menarik, susunan kalimatnya pun sederhana hingga sangat mudah untuk dicerna. Baik bagi pembaca umum atau pelajar bisa menggunakan cerita tersebut sebagai bahan belajar membuat karangan. Mudah-mudahan tambahan cerpen ini bisa bermanfaat bagi pembaca semua.
Ilustrasi Gambar Cerita Pendek Remaja "Sepatu Coklat" |
"Sepatu coklat", bisa menjadi salah satu cerpen pendek yang bisa kita jadikan hiburan dikala senggang. Bisa juga, mengingat pesan moralnya yang cukup dalam maka cerita ini bisa menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi pembaca semua.
Ceritanya cukup menarik, susunan kalimatnya pun sederhana hingga sangat mudah untuk dicerna. Baik bagi pembaca umum atau pelajar bisa menggunakan cerita tersebut sebagai bahan belajar membuat karangan. Mudah-mudahan tambahan cerpen ini bisa bermanfaat bagi pembaca semua.
Sepatu Coklat
Coklat kusam, di bagian bawah tali sol sudah mulai menyembul.
Pada bagian kanan sudah ada lubang seukuran ibu jari kaki, dengan terpaksa Dika - seorang pemuda kurang beruntung - harus menekan jempol kakinya ke bawah agar jari kaki tersebut tidak menyembul
dari sepatunya itu.
Sambil sesekali melihat ke arah jalan, Dika terus saja
memandangi sepatu kesayangannya yang sudah mulai letih menopang badannya yang
semakin besar. Entah apa yang ada di benaknya saat itu.
Sesekali ia melirik pada sepatu orang yang duduk
disampingnya, “seandainya aku punya uang”, ia hanya bisa mendesah menahan
kesedihan.
Nafas yang ia hembuskan terdengar begitu berat, kadang
terlihat dada-nya yang membusung seolah ingin memasukkan semua udara kotor yang
ada di sekitarnya.
Saat itu hari sudah mulai sore, ia terlihat mulai gelisah
dan tak sabar menanti bus yang akan menghantarkannya pulang. Kepalanya tak
henti-hentinya menoleh ke kanan dan kekiri, seolah berharap segera ada
keajaiban.
Setelah hampir satu setengah jam menunggu akhirnya dari
kejauhan terlihat sebuah bus kota mendekat. Tanpa menunggu komando ia lalu
mengangkat badannya, berdiri menenteng tas plastik hitam yang hampir tak muat
dengan barang bawaan.
Akhirnya pulang, sebelum menaiki bus tersebut ia masih
sempat melirik sepatu yang melekat di kakinya. Dengan sangat hati-hati ia
melangkahkan kaki kanan ke dalam bus dan mengambil tempat duduk paling dekat.
Tepat di depannya, Dika melihat sepasang sepatu kulit yang
berwarna hitam, “bagus benar, warnanya saja bikin silau, pasti mahal dan awet,
kapan aku bisa memiliki sepatu seperti itu”, gumamnya dalam hati.
Dika adalah seorang pemuda penjual koran yang sangat setia
dengan pekerjaannya. Ia sama sekali tak pernah berpikir untuk mencari pekerjaan
lain, bukan karena tak mau tetapi karena dia memang tak memiliki kemampuan
apapun.
Hanya dengan bekal sepasang sepatu kain ia menjalani
hari-harinya sebagai penjual koran selama lebih dari tujuh tahun. Dan kini,
melihat satu-satunya teman dalam hidupnya sudah mulai tua, ia pun terlihat
sangat sedih.
Jika dilihat lebih dalam ke tatapan matanya, jelas sekali
terlihat kesedihan itu. Ya, sepatu itu memang bukan sepatu sembarangan. Sepatu
itu adalah sepatu pemberian orang tuanya sebelum meninggal. Sepatu itu pula
yang telah menemani perjalanan hidupnya hingga ia bisa seperti sekarang.
Beberapa tahun lalu, ia hanya berteman dengan sepatu kain
tersebut. Di kala ia harus berlarian dikejar preman pasar, sepatu itulah yang
menunjukkan jalan untuk sembunyi. Sampai ketika ia menemukan pekerjaannya yang
sekarang.
Sesampainya di rumah yang sangat sederhana, Dika lalu
melepas kedua sepatu tuanya itu. Tangan kirinya dibawah menopang kedua sepatu
itu, sementara tangan kanannya di atas menggapai kedua bagian atas sepatu.
Dengan langkah gontai, ia segera duduk di kursi rotan yang
sudah tak bisa berdiri tegak. Bukannya membersihkan diri, ia justru meletakkan
sepatunya itu di atas meja. Tertiup angin, tercium aroma busuk dari dalam
sepatu itu. Ya, wajar karena sepatu itu sangat jarang dicuci kecuali Dika
sedang tidak bekerja.
Dengan tatapan mata yang kosong, Dika memandang dalam-dalam
dua sepatu kesayangannya itu. Tiba-tiba tangannya yang tadi seolah gemetar
lincah membersihkan sepatu itu bagian demi bagian.
Diambilnya sikat gigi yang sudah tidak terpakai. Ia pun
membersihkan bagian kain dari sepatu itu. Sesekali sikat dicelupkan kedalam air
yang ada digayung yang tadi ia siapkan. Setelah itu ia sikatkan perlahan pada
semua bagian sepatu.
“Sekarang kamu terlihat lebih muda, coba sekarang apalagi
yang bisa aku lakukan untukmu”, ucapnya sembari masuk ke dalam kamar,Cerita Pendek Remaja, Sepatu Coklat. Beberapa
menit kemudian ia membawa seutas benang dan jarum, “dengan ini tak kan ada lagi
lubang angin”, ia mengambil sepatunya sembari tersenyum.
Selesai, akhirnya ada senyum yang tersembul dari bibirnya. “Semoga
esok aku mendapatkan rejeki yang lebih banyak, bukan untuk mencari penggantimu
tetapi untuk memuliakanmu dan memberimu kesempatan untuk istirahat". Ia
meletakkan sepatu kesayangannya itu di meja, kemudian ia masuk ke dalam kamar.
--- Tamat ---