Boneka Teddy Bear untuk Kekasih

Cerpen tentang Kasih Sayang, Boneka Teddy Bear untuk Kekasih - Contoh cerita kali ini adalah sebuah karya yang mengambil tema tentang cinta tepatnya sebuah cerpen singkat yang mengangkat tema kasih sayang antara dua insan. 

Cerpen tentang Kasih Sayang, Boneka Teddy Bear untuk Kekasih


Cerita yang diangkat merupakan kisah cinta yang sedih dan tragis, bahkan mungkin anda akan menangis membacanya.  

Kisah diawali dengan sebuah ilustrasi kejadian tragis yang menimpa seorang pemuda, tepat di hari ulang tahun wanita yang ia cintai. Memilukan, sangat menyedihkan, namun begitu apakah kisah hidup antara kekasih tersebut akan terhenti? 

Tidak, perjalanan hidup masih panjang, suka atau tidak suka semua orang yang mengalami kesedihan dan duka seperti itu pun harus tetap melanjutkan hidup.

Kisah pada cerpen singkat berjudul "boneka teddy bear untuk kekasih" pada akhirnya akan selesai dengan sebuah kesimpulan yang sungguh jauh dari dugaan. 

Apakah pahlawan akan selalu menang di akhir kisah, apakah cinta akan selalu berakhir dengan indah? Dari pada penasaran mari kita baca langsung cerpen tersebut!


Boneka Teddy Bear untuk Kekasih

Cerita Oleh Mandes


“Ini mungkin tidak akan bertahan selamanya, tapi mudah-mudahan ini bisa membuat kamu selalu ingat padaku”, itulah kata-kata terakhir yang aku dengar dari mulutnya sebelum ia akhirnya pergi selamanya meninggalkanku. Tepat di depan halaman rumahku Budiarno mengalami kecelakaan setelah memberikan boneka itu.

Suasana begitu riuh dan ramai beberapa detik setelah terdengar benturan keras di depan rumah. Aku, yang sedari tadi masih berdiri di depan pintu, langsung berlari keluar dan mendapati motor yang Budi gunakan hancur berkeping.


Aku melihat beberapa orang mengerumuni seorang pemuda yang bersimbah darah. Sadar bahwa pemuda itu adalah Budiarno aku langsung berteriak dan berhambur memeluk tubuhnya yang bersimbah darah. Suaraku habis, tenggorokan ku mengering, tak keluar lagi sepatah kata pun dari bibirku ketika orang-orang mulai menutupi tubuh Budiarno dengan beberapa lembar koran.

Sampai saat sayup terdengar suara sirene ambulans, aku sudah tidak bisa mengingat apa-apa lagi, gelap, semua yang ada di depan pandanganku begitu gelap. Tepat pertengahan hari tanggal 1 Januari 2015 – di hari ulang tahun ku – seorang lelaki dengan tulus telah mengorbankan hidupnya hanya untuk memberikan sebuah boneka kepadaku.

Sekarang sudah genap satu tahun semenjak kepergian nya tetapi duka itu masih terus ada menyelimuti hatiku. Begitu perih dan sakitnya hati ini tak dapat aku tahan, sepanjang waktu, sepanjang hari aku hanya duduk terdiam mendekap luka itu. Kini hanya boneka teddy bear pemberiannya yang bisa selalu aku peluk.

Aku sudah menghabiskan berbulan-bulan meninggalkan kehidupan nyata. Keluarga ku bahkan sudah kehabisan cara untuk membuatku kembali bangkit. Mereka tahu benar betapa berat pukulan yang aku rasakan, aku depresi, stress berat. 

Dengan badan yang semakin kurus tatapan mataku semakin sayup dan redup, aku tak perduli lagi dengan kehidupan dan aku pun tak mau lagi menjalani hidup seperti ini.

“Mega… Nak, makan dulu ya, sedikit saja”, ucap ibuku. Dalam satu hari bisa dihitung berapa suap nasi yang masuk ke perutku, itu pun harus dipaksa lebih dulu. Begitu besarnya kepedihan yang aku rasakan, apa aku salah? Seseorang telah pergi dari dunia ini hanya karena aku, apa berlebihan jika aku merasa terpukul? 

Tidak ada satupun orang yang bisa memahami betapa perih hati ini, sampai suatu ketika ada seseorang yang datang ke rumahku. Saat itu seperti biasa aku sedang duduk di teras rumah ditemani ibuku ketika seorang laki-laki dengan santai melangkah menghampiri kami…

“Selamat pagi….” ucapnya
“Budiarno……! Teriakku langsung memeluk lelaki tersebut.

Erat dan sangat erat kupeluk lelaki itu sambil menangis dan berderai air mata sampai akhirnya aku sadar bahwa Budiarno yang aku kenal telah tiada. “Tapi….bukankah…” ucapku dalam hati seraya melepas pelukanku padanya…
“Maaf….”
“Eh…tapi, bukankah Budiarno sudah….”
“Em…iya maaf mbak, sebelumnya perkenalkan, nama saya Budiarto, saya adalah saudara kembar Budiarno…”

Tubuhku pun kembali lemas, aku jatuh terduduk di bangku teras disamping ibuku. Ibu ku sendiri hanya terdiam sambil menatap pria itu dalam-dalam.
“Tante, saya adalah saudara kembar Budiarno, saya datang kesini untuk bertemu dengan Mega…”

Seperti tidak percaya, ibuku hanya terdiam sambil terus menatap wajah pria itu sampai akhirnya pria itu minta izin untuk berbicara dengan aku.
“Tante, boleh saya berbincang sebentar dengan Mega?”
“Oh… iya, iya, silahkan, tante tinggal dulu sebentar…”

Ibu bergegas ke dalam memberikan kesempatan pemuda itu sendiri bersamaku di depan teras. Aku masih tetap duduk lemas mematung seperti sebelum pemuda itu datang.
“Sebagai saudara, aku juga sangat terpukul atas kepergian Budiarno. Bahkan sampai sekarang aku masih sering memimpikannya”

“Budiarno tidak pernah cerita apapun tentang saudara kembarnya”
“Ya, saat itu aku sedang kuliah di Australia, dan sekarang aku sedang menunggu kelulusan. Kami memang sangat jarang bertemu, kami biasanya hanya berkomunikasi lewat handphone.”
“Kenapa kamu kemari?”

“Minggu lalu, saat aku masih di Australi aku mendapat mimpi aneh. Tiga hari berturut-turut aku bermimpi Budiarno datang menemuiku dengan seorang gadis. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk pulang karena aku tahu pasti ada sesuatu. Sampai di rumah aku ke kamar Budiarno dan mengemasi barang-barang yang masih ada. 

Di situlah aku mendapatkan foto ini. Gadis yang ada di mimpiku itu adalah gadis yang ada di foto ini, dan gadis di foto ini adalah kamu Maya…”

“Lalu apa…. Tidak ada gunanya kamu kesini, Budiarno tidak akan bisa kembali padaku, ia tidak akan bisa hidup lagi!”

Aku berlari ke dalam meninggalkan pemuda itu sendirian. Sampai saat itu aku tidak tahu apa yang ia lakukan di rumahku. Ternyata, keesokan harinya ia datang lagi. Ia mengetuk pintu kamarku dan membukanya. Aku tetap terdiam tanpa menghiraukan kedatangannya.

“Selamat pagi….” Ucapnya dengan senyum tipis di bibirkan, persis, begitu mirip dengan senyum Budiarno yang selalu aku rindukan.

Sekilas aku melihat ia meletakkan seuntai bunga mawar di meja kamar. Ia lalu duduk disampingku yang masih tidak beranjak dari tempat tidur.

“Aku sangat sedih kehilangan saudaraku, dan aku sangat kasihan kepadanya…” ucapnya pelan. “Aku tidak bisa membayangkan betapa sedih dan sakitnya ia disana melihat seseorang yang ia cintai terpuruk sepi” lanjutnya. “Hari ini aku ingin mengajakmu ke suatu tempat, kamu mau ya?” ucapnya singkat.

Tanpa menunggu jawabanku dan tanpa menghiraukan bagaimana keadaanku saat itu ia langsung menarik tanganku dan mengajakku pergi. Rupanya ia mengajakku ke peristirahatan terakhir Budiarno. Aku hanya bisa duduk bersimpuh dan terus menatap batu nisan itu.

“Ar… hari ini, di depanmu aku berjanji akan menjaga Maya dengan sepenuh hati seperti yang kau inginkan.”, ucapnya.

Entah apa maksudnya membawaku ke makan Budiarno, tapi dari suaranya ia begitu serius mengucapkan kalimat itu di depan nisan Budiarno. Taklama, setelah beberapa saat tertegun ia mengajakku kembali pulang. Sesampainya di rumah ibuku sudah menunggu di depan pintu.

“Kalian kemana aja pagi buta gini… “
“Jalan-jalan tante…cari udaha segar”
“Cari udara segar kok pakai mobil, ya sudah yuk ke dalam, tante sudah siapkan sarapan..”
“Iya terima kasih banyak tante…”

Sesampainya di dalam aku langsung menuju ke kamar. Sebelum aku menutup pintu ibuku memegang tanganku pelan…
“Yuk, mandi dulu sayang, ibu sudah siapkan semua..”
Beberapa saat kemudian aku selesai mandi dan langsung mengurung diri di kamar.

“Sayang, ditungguin Budiarto tuh, disuruh sarapan dia tidak mau, sana ditemani…”
“Ogah ma…”
“Eit… gak apa-apa sayang… yuk..”

Di bawah, Budiarto sudah menunggu di meja makan. Ketika aku sampai ia langsung menyiapkan kursi untukku. Tanpa disuruh ia pun langsung mengambilkan aku sepucuk nasi dan beberapa lauk.
“Hem…. Enak juga loh, eh…mega kok gak sarapan…. Coba deh, enak kok…”

Ia langsung berdiri dan memberi satu suapan kecil dari piringnya. Tak sadar mulutku pun terbuka ketika ia menyodorkan sendok tersebut.
“Benar kan, ternyata ibumu jago juga ya memasak….”
“Iya dong, ibunya siapa dulu….”
“Eh… iya tante, boleh minta tolong…?”
“Apaan nak Budiarto, minta tolong apa?”

“Anu… eh, itu, ada nasi di itunya Maya… eh di bibirnya maya…”
“Eh… kamu ini kenapa toh, kok gugup begitu….”
“Iya tante, maklum, selama ini aku belum pernah sarapan ditemani gadis secantik Maya…”
“Hem…. Awas ya kamu macam-macam sama putri tante…”
“Iya tane maaf…. Abisnya salah tante juga punya anak cantiknya minta ampun…. Apalagi jika ditambah ada nasi didekat bibirnya… he e e e….”
“Kamu ini bisa aja….”

Lama-lama malu juga, aku langsung mengusap nasi yang sedari tadi menempel di bibirku.. saat itu entah kenapa hatiku terasa sedikit lega. Budiarto seolah menjadi obat dari luka dan perih yang selama ini aku rasakan. Apalagi Budiarto memiliki prilaku yang baik sopan dan lucu, mirip Budiarno tapi tidak semua.

Pelan, secara rutin ia mengunjungiku setiap pagi, mulai dari sekedar membawakan bunga dan mengucapkan selamat pagi, mengajakku ke taman dan memberikan oleh-oleh. Bahkan pernah suatu pagi aku kaget karena ia tiba-tiba sudah ada di sampingku dengan membawa sarapan.

Aku ingat apa yang ia ucapkan saat itu, “pagi putri, ini aku sudah siapkan sarapan spesial buat kamu, ini aku yang masak loh, minjem dapur tante… tapi cuci muka dulu ya biar gak bau acem…” ucapnya sambil tersenyum.

Tiga bulan berlalu, dan aku mulai merasa nyaman dan terbiasa dengan keberadaannya di kehidupanku. Semakin hari ia semakin sering melibatkan aku dalam kegiatan sehari-hari yang ia lakukan sampai akhirnya suatu hari…

“Ma…. Kemana si kunyuk Budiarto… kok gak kelihatan….?”
“Iya gak tahu nih, biasanya pagi buta dia surah teriak-teriak…”

Belum selesai aku bertanya kepada ibu tiba-tiba telpon rumah berbunyi. Ada telpon, siapa sih pagi-pagi begini, biar itu angkat dulu ya. Sesaat kemudian ibu kembali dan menemuiku.

“Sayang, Budiarto sakit, ia sekarang dirawat di rumah sakit.”
“Apa Ma, di mana, sakit apa ma, kenapa tidak bilang dari tadi….”

“Iya, itu tadi orang tuanya, katanya diminta Budiarto untuk bicara sama kamu…”
“Yasudah yuk kita kesana ma, kasihan dia…”

Sejak kedatangan Budiarto, kehidupan ku berangsur pulih. Ia mampu memberikan obat pada luka hatiku. Ia memberikan keteduhan, kenyamanan dan pengorbanan. Begitulah, hari-hariku kini tak jauh dari Budiarto seorang saudara kembar dari pacarku yang telah tiada.

--- Tamat ---

Tag : Cerpen, Cinta
Back To Top