Cerpen Cinta Pertama, Ombak Rindu

Cerpen Cinta Pertama, Ombak Rindu - Asyik jika membaca sebuah kisah cinta pertama. Ada hal-hal lucu. Mengharukan dan bahkan ada kekonyolan yang biasa terjadi pada cinta pertama. Cerpen ini akan memberikan hiburan kisah yang romantis, mengharukan. 



Apakah cerpen cinta ini seperti cerpen lain yang sudah pernah kita baca? Apakah cerita pendek ini benar-benar baru dan belum pernah kita lihat sebelumnya, dari pada penasaran lebih baik kita simak langsung cerpen singkat tersebut.

Terlihat dari judul yang diambil, Cerpen Cinta Pertama yang berjudul "Ombak Rindu" ini tentu akan mengisahkan sebuah perjalanan cinta pertama seseorang. 

Kalau dikaitkan dengan kata rindu, mungkin sang pecinta dalam cerpen ini mengalami masalah dengan rindu, mungkin orang yang ia cinta tidak di sisinya, mungkin. 

Satu yang jelas, cerita dalam cerpen ini dengan sangat sederhana bahkan menggunakan bahasa yang tidak rumit untuk dipahami.

Ombak Rindu
Cerita oleh Irma

Pernah tahu bagaimana tajam belati, begitulah tatapan mata yang ia berikan untukku. Sorot mata tajam itu tak memberikan ruang sedikitpun untuk aku berpaling, ia seolah mengejar dan tak kan pernah membiarkan ku terlepas. 

Hari yang begitu terik ditambah bulatnya bola mata itu membuat aku hanya bisa menyeringai, pelan, aku pun mengerahkan semua tenagaku untuk berpaling dari bola mata itu.

Aku berhasil, namun semilir angin yang membelai lembur rambut yang ku urai ternyata kuasa membujuk ku untuk menoleh, untuk sekali lagi merasakan tajam pandangan itu. 

Seperti terlilit dalam kumparan medan magnet yang kuat akhirnya aku pun menyerah dengan daya tarik dari pesona tatapan matanya. 

Sekali lagi kami beradu pandang, aku mencoba menatapnya lebih dalam mencoba menembus celah sempit yang sempit. 

Saat itu kami seperti benar-benar dalam keadaan saling serang, saling mengalahkan. Ia mencoba melucuti semua milik ku, tatapan itu menyeruak masuk dan ingin mengobrak-abrik jeroan ku.

Belum mau kalah, ku tancapkan pesona itu jauh lebih dalam menembus lubuk dan renung hatinya. "Aku juga bisa melucuti semua yang ada pada dirimu anak muda", gumam ku dalam hati seraya mempertajam pandangan.

Sesaat kemudian mata nya berkedit, menyombongkan kelentikan bulu matanya yang memang sungguh lentik. "Oh indah.....", sebuah pesona yang begitu lengkap dengan senyum tipis yang aku kira tak akan pernah keluar di saat seperti ini.

Mengenal Cahyo bagiku memang bukan waktu yang singkat, kami sudah bertemu saling kenal bahkan dari beberapa tahun yang lalu.

Penampakan fisik dan penampilan lelaki ini memang terlihat biasa saja. Namun hal berbeda selalu saja aku rasakan kala mata kami beradu pandang. "Ada sesuatu.....apa ya?"

Perasaan berdebar pasti selalu menyelimuti dadaku ketika aku berpapasan dengannya, terkadang seperti ada rasa takut atau sejenis malu atau seperti perasaan-perasaan seperti itulah... sulit sekali bagi ku untuk mendeskripsikan yang berkecamuk di dalam hati. 

Tak pernah ku gubris perasaan-perasaan seperti itu meski datangnya seperti bayu. Keanehan-keanehan yang terjadi - yang aku rasakan saat bertemu dengannya - terus berulang, seperti roda yang meroda dalam sebuah ruang sempit yang di sebut hati sampai akhirnya kami berpisah.

oOo

Perayaan valentine bersama rekan-rekan sekelas tahun lalu adalah menjadi hari terakhir pertemuan kami. Sejak itu, sejak kami lulus dari bangku sekolah, kami berpisah, tidak pernah lagi saling bertatap satu sama lain. 

Ya, kami tak pernah bertemu lagi setelah itu, maklum saat acara perpisahan sekolah aku tidak bisa hadir karena sedang di luar kota bersama ke dua orang tuaku. 

Sudah satu tahun - kurang tiga hari tepatnya aku tak bertemu dengan Cahyo, tapi aku masih mengingatnya sampai saat sore itu di sebuah mall.

"Hei.... kalau jalan lihat-lihat dong...!" aku membentak seseorang yang menabrak punggung ku dari belakang.
"Maaf....maaf mbak...." ucap lelaki itu dengan terbata-bata.
"Makanya jangan meleng....!" ucap ku setengah berteriak di hadapan muka lelaki itu.
"Iya....iya mbak maaf saya tidak sengaja.... maaf..." lelaki itu kembali meminta maaf dan langsung buru-buru menjauh.

Begitu kesal karena aku hampir saja terjatuh di depan orang banyak aku langsung putar arah dan berniat bergegas meninggalkan kerumunan yang melihat kejadian itu. 

Belum genap lima langkah mendadak aku hentikan langkah ku. "Sepertinya aku kenal suara dan muka lelaki tadi" ujarku pelan.

Aku langsung membalikkan badan, di kejauhan terlihat lelaki tadi berhenti, entah sedang apa. Aku langsung melangkah menuju kepadanya setengah berlari. 

Entah apa yang menggerakkan kaki ini namun langkahnya cepat dan langsung berhenti memutar di hadapan lelaki itu tepat.

Lelaki tadi pun kaget, "A...ada apa mbak??" sambil gugup ia wajahnya menengadah tepat di depan muka ku. Kami berhadapan, terdiam satu sama lain.

Ada hampir lima menit kami berdiri terpaku berhadap-hadapan seperti itu sampai akhirnya entah kenapa suara tawa ku tiba-tiba pecah. "He he e e e....." ia pun ikut tertawa seperti menjawab salam.
"Aku kenal tatapan mata yang setajam silet ini..." ucap ku pelan

Ia menjawab "rupanya engkau yang sinar matamu tak pernah mau lebih redup dari tatapanku...!?", sambil mengeluarkan senyum andalannya.

Entah mengapa aku sekali lagi tak bisa menang darinya, tak mampu ku tahan rasa haru ini, aku langsung melompat dan memeluknya. "Dari mana saja kamu selama ini...?" ucapku pelan. 

Perlu waktu beberapa detik sampai akhirnya kedua tangannya yang kekar itu merengkuh pelukanku, "Aku kuliah di Universitas Pajajaran", jawabnya sambil melepas pelukan tangannya.

"Ehm... itu bukan pertanyaan yang ingin aku tanyakan, dan aku juga tak peduli dengan jawaban yang baru saja kamu berikan", jawabku "aku tak tahu mau bilang apa", lanjutku sembari sedikit menunduk.

Akhirnya kami memutuskan untuk menghabiskan sejenak waktu berdua, turun ke sebuah cafe dan memesan minuman ringan. 

Kami berbincang, tak lama tapi yang terpenting aku tahu dimana dia tinggal dan dia juga telah memberikan nomor ponselnya, kami bertukar nomor hp, sungguh suatu peristiwa yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. 

Sesampainya di rumah, aku tiba-tiba gelisah, entah kenapa, seharian belum makan tapi aku tak berselera menyantap apapun. Hanya hanphone yang aku genggam erat, seolah sedang menunggu telepon seseorang. 

"Ya Tuhan, apakah yang aku rasakan ini benar, apakah perasaan ini adalah perasaan yang sama yang aku rasakan dulu..., bernarkah aku jatuh cinta padanya, benarkah dia adalah sosok lelaki yang akan menjadi cinta pertama dalam hidupku".

Hati ku terus saja bergemuruh, aku bahagia bertemu dengan dia kembali meski gelisah. Senang rasanya bisa melihat lagi sorot mata tajam dari matanya yang bulat.

Tuhan tolong lembutkan hati dia
Untuk terima ku seadanya
Kerna ku tak sanggup
Kerna ku tak mampu
Hidup tanpa dia di sisi ku
Malam kau bawalah rinduku
Untuk dirinya yang jauh dari ku
Agar dia tidak kesepian
Selalu rasa ada cinta agung


Di ujung senja aku mendapatkan kehampaan, aku berbalut dengan kegelisahan. Hanphone yang sedari tadi aku genggam sampai setengah basah masih tetap membisu, diam seribu bahasa. Aku hanya bisa melamun, aku hanya bisa memeluk angan yang semakin melambung.

"Aku cinta dengan mu, aku suka denganmu sejak dulu sejak pertama kali mata kita beradu", ucap Cahyo. 

"Benarkah, kenapa perlu waktu begitu lama untuk mengungkapkan hal itu, tahukah kamu, aku telah menunggumu selama ini, sampai lelah" jawabku. Tiba-tiba suara handphone ku berbunyi, nadanya keras sehingga aku langsung panik dan mencarinya.

"Ah....rupanya bunyi alarm", dan aku pun tersadar, terbangun dari tidurku, "hanya mimpi, sial!"

Perasaan itu semakin lama semakin meradang, mengganggu, ku lihat jam di hanphone, "masih pagi" aku bergegas merapikan badan. 

Saat itu aku sedang mandi ketika ada suara bunyi dering handphone dari kamar. Ibu memanggil, aku langsung berlari. "Siapa yang pagi-pagi begini menelpon, tidak sopan!"

"Hai Nes, aku sekarang di depan rumah mu, boleh aku singgah?" tanya orang di seberang telephon.
"Aa...aa... Cahyo ya, ya....ya...boleh kok, sebentar ya aku buka kan pintu"

Aku bergegas ganti baju dan langsung berlari ke depan... Di depan ternyata belum ada yang membukakan pintu untuknya, maklum kami hanya berdua, ayah sedang di luar kota sedang pembantu sedang libur.

"Maaf se-pagi ini sudah mengganggu, aku hanya ingin berpamitan, dulu aku pergi tanpa pernah semenitpun berpamitan dengan mu dan aku tak mau hal itu terulang lagi. Besok aku sudah harus kembali untuk mempersiapkan urusan kampus." ia menjelaskan panjang lebar maksud kedatangannya.

Hanya bisa terdiam dan membisu, aku tak tahu harus berkata apa. Jujur saat itu aku sedih, "baru bertemu sudah harus berpisah", ucapku sambil tertunduk.

"Iya.... maaf ya, sesampainya di sana aku akan langsung menghubungi mu." ucapnya seperti tahu apa yang sedang aku rasakan.

"Tidak perlu berusaha menghiburku, aku tak apa-apa" ucapku sedikit ketus
"Sudah tak perlu bersedih, aku ada sesuatu untukmu" lanjutnya

Ia mengambil sesuatu di saku celananya. Aku masih tetap diam menatap bayang muka ku di ubin yang sepertinya sedang mengejek ku. Saat itu, ia meraih tanganku.

"Ini hadiah dari ku, semoga bisa menjadi jalan untuk pertemuan kita selanjutnya", Cahyo kemudian memakaikan sebuah cincin bermata putih, seperti cincin batu akik tapi sangat mungil dan indah.

Setelah memakaikan cincin itu ia pun pamit, ia beranjak dengan aku yang masih tetap diam menunduk. Langkah kakinya pelan seperti orang yang sedang menanggung beban ratusan kilo di pundaknya. Aku hanya mampu menatapnya menjauh, pergi meninggalkan pintu yang masih terbuka.

Tuhan aku tahu banyak dosa ku
Hanya ingat Kamu kala duka ku
Namun hanya Kamu yang mampu membuka
Pintu hatinya untuk cintaku
Hujan bawa air mata ku
Yang mengalir membasuh luka ku
Agar dia tahu ku tersiksa
Tanpa cinta dia di hatiku
Tuhan tolong lembut kan hati dia
Untuk terima ku seadanya
Hanya mampu terserah
Moga cahaya di penanti
Lirik by: Hafiz/Adira

Sampai detik dimana pintu rumahku kembali kosong, aku merasakan sebagian hatiku hampa. Hilang, pupus, aku benar-benar merasakan gejolak yang menerpa hati. 

Tak tahu lagi, apakah cincin ini mampu mempertemukan kami berdua di kemudian hari. Tak ada lagi semangat, aku kembali merasakan kehilangan roh kebahagiaan, semua jadi terasa hampa.

Ia adalah Cahyo, cinta pertama yang entah akan menjadi cinta atau tidak. Kami belum pernah mengatakan cinta, belum ada ucapan sayang selain kenangan di mimpi semalam. 

Haruskah aku menunggu dirinya, bisakah aku kembali bertemu dengannya. Apakah rasa cinta ini bisa sekuat cincin yang melingkar di jari manis ku ini, akankah....?

oOo

Baiknya, dari pada hanya membaca cerpen tentang cinta pertama, Ombak Rindu ini saja lebih baik menyisihkan sedikit waktu untuk melihat beberapa cerita lain. Masih ada beberapa judul yang berkaitan dengan cerita pendek tentang cinta, bisa dilihat langsung di bagian akhir tulisan ini. 

Tag : Cerpen, Cinta, Remaja
Back To Top