Waktu yang Berlalu

"Waktu yang Berlalu", contoh cerpen tentang waktu yang hilang berikut ini sedianya akan ditulis dalam bahasa Inggris. Tetapi karena keterbatasan maka kita dahulukan dulu yang menggunakan bahasa Indonesia agar bisa langsung dinikmati oleh rekan semua. 

cerpen waktu

Bagus kok, tidak membosankan, kisahnya cukup memberikan inspirasi. Dari kisah dalam cerpen ini kita bisa belajar dan mengetahui bahwa masa muda memang masa yang sangat penting. 

Apalagi kita tahu bahwa waktu tidak bisa diputar ulang. Semua yang terlewat tidak bisa diulangi lagi. Kesempatan yang terbuang tidak akan bisa diraih lagi. Itulah sebabnya sejak kecil kita sudah harus belajar segala hal untuk masa depan.

Waktu yang Berlalu
Cerpen tentang Waktu

Yuli duduk terpaku seorang diri. Matanya sendu, menatap jalan yang ada tepat di depan rumahnya. Beberapa mobil fuso berderet menghalangi tatapannya yang tembus pandang. 

Ia hanya bisa merenung, mengingat segala peringatan, nasehat dan saran yang pernah sampai di telinganya.

“Nanti kamu menyesal Yul. Kamu harus sekolah. Setidaknya sampai SMA”
“Malas… untuk apa sekolah. Kakak aja sekolah jadi buruh. Buang-buang uang saja!”

“Kamu tidak boleh begitu Nak. Sekolah itu untuk masa depan kamu sendiri. Bukan untuk apa-apa, supaya kamu pintar”

“Pintar juga paling-paling jadi koruptor”

Kala itu, Yuli kecil menolak dengan keras anjuran ibu dan kakak-kakaknya untuk sekolah. Untung saja, setelah berdebat dan dirayu oleh sang ibu, Yuli akhirnya mau bersekolah SMA.

Tapi bagaimanapun sesal merasuki pikirannya setiap waktu. Bukan karena tak sekolah tapi karena tidak memanfaatkan waktu dengan baik. 

Ibunya yang janda telah bersusah payah membiayai ia sekolah tapi ia tidak pernah serius.

Teman-temannya banyak yang kini sukses. Mereka yang rajin belajar dan menuntut ilmu sungguh-sungguh, pandai atau tidak banyak dari mereka yang sudah bekerja dengan gaji lumayan.

Sesekali matanya berkaca-kaca mengingat semua petuah yang ia abaikan. Tak sering, hanya sesekali saja ia sadar akan apa yang sudah hilang. 

Kala tak ada anak yang main di rumah. Kala ia duduk sendiri di sore itu, ia sering melamun dan menyesali apa yang sudah lewat.

“Sore-sore melamun, nanti disambar setan kamu Yul…”
“Eh… kamu Jo, ngagetin aja kamu ini!”

“Lagian kamu juga, mentang-mentang sendiri bawaannya melamun…”
“Parjo… Parjo… ya namanya sendiri ya melamun. Habisnya mau ngobrol sama siapa coba, setan?”

Untung saja ada Parjo, Yuli jadi sedikit terhibur, tak terlalu mengingat batin yang terganggu. Parjo kemudian mengeluarkan ponsel dari kantongnya. 

Ia kemudian menghidupkan lagu dari ponsel miliknya. Sore menjadi lebih sendu berbalut debu…

“Lama-lama bosan juga ya seperti ini terus…”
“Kenapa memang, bosan ya nikah aja…”

“Nikah paleloe…! Mau di kasih makan apa tuh anak orang”
“Nasi lah… memang makan rumput…!”

Yuli terdiam mendengar perkataan Parjo sahabatnya. Ia kemudian memandang ke arah sahabatnya dengan tatapan serius, “mbok ya bantu kawan mu ini Jo, cariin pekerjaan kek yang gajinya 5 juta…”

“Weh… aku aja gaji 2 juta habis di jalan mau cariin kamu gaji 5 juta… mending buat aku sendiri…” 

Parjo kemudian membenarkan posisi duduknya. “Sabar Yul, nanti kalau di kantor ada lowongan aku kasih tahu…”

Suasana kembali hening. Parjo tak melanjutkan perkataannya. Ia tahu jika diteruskan nanti suasana sore itu jadi tidak karuan. 

Ia memilih untuk mengalihkan perhatian Yuli pada hal lain. Cewek, apa lagi yang menarik selain hal itu untuk anak muda?

Dengan adanya Parjo, sore itu Yuli sedikit terhibur. Ia tidak terlalu terbebani dengan beban masa depan yang semakin nyata di depan mata. 

Setidaknya, dengan sahabat ia bisa kembali bernyanyi menghibur hati yang gundah.

***

Waktu berlalu. Dua minggu kemudian Yuli mendapat kabar baik. Di kantor Parjo bekerja ada lowongan. Parjo pun segera memberitahu Yuli dan menyuruh dia untuk melamar posisi di kantor tersebut.

“Ada kerjaan Yul… mau enggak kamu?”
“Kerjaan, serius kamu Jo!”

“Iya benar. Kemarin ada kawan dari personalia kasih kabar ada bukaan”
“Posisi apa Jo, aku mau daftar lah…”
“Staff admin… butuh 3 orang”

“Waduh, tugasnya apaan itu Jo? Kamu kan tahu aku bodoh”
“Admin ya surat menyurat, laporan segala macam Yul… Pokoknya kerjaan komputer gitu…”

“Ah, coba dulu waktu sekolah aku serius ya Jo. Aku kan enggak bisa komputer Jo…”

“Sudah, lamar-lamar aja Yul… siapa tahu diterima. Aku juga gak bisa bantu diterima enggak-nya…”
“Ya sudah, aku besok ngajuin lamaran lah…”

Yuli bersemangat. Setelah mendapatkan kabar dari Parjo ia langsung menyiapkan segala berkas lamaran yang diberitahukan sahabatnya. 

Tak menunggu lama, esok harinya Yuli langsung datang ke kantor Parjo dan melamar pekerjaan.

Setelah memasukkan berkas lamaran, Yuli diminta menunggu pihak perusahaan yang akan menghubunginya. 

Satu minggu berlalu, Jum’at siang, Yuli mendapat telepon dari kantor bahwa hari Senin depan ia harus mengikuti interview. 

Ia pun segera sibuk. Ia langsung ke rumah sahabatnya Parjo untuk bertanya mengenai proses interview di kantornya.

Sore hari, ia ke rumah Parjo, “Jo, Senin aku interview, gimana ya?”, tanya Yuli. “Gimana apanya Yul?”, tanya Parjo. 

“Ya, nanti waktu interview bagaimana?”, tanya Yuli. “Mengalir aja Yul, aku juga enggak tahu materinya apa apa. 

Pokoknya nanti kan kamu ditanya-tanya seputar pekerjaan dan lain-lain…”, terang Parjo.

Sampai larut, Yuli mencoba mengorek pengalaman sebanyak mungkin. Tampak di matanya bahwa ia sangat berharap bisa bekerja di kantor tempat Parjo bekerja. 

Dengan begitu, ia tak akan lagi menjadi bahan ejekan dan cemoohan orang-orang di sekitar rumahnya.

***

Hari yang ditunggu pun tiba. Pagi, Yuli sudah berdandan rapi layaknya pegawai kantoran yang mau berangkat kerja. 

Sepatu hitam, kemeja putih, celana hitam dengan tas kulit berisi beberapa berkas yang mungkin akan dibutuhkan.

Yuli keluar dari rumah dengan wajah sumringah. Ia mengendarai motor legenda tua miliknya dengan santai. 

“Mari Pak… Bu…”, Yuli begitu ramah menyapa semua orang yang ia temui. Hari itu ada rasa bangga ketika ia memakai pakaian rapi.

Sampai di kantor, ia segera mengelap keringat di pipinya. Ia merapikan pakaian. Dengan senyum simpul ia kemudian memasuki kantor di depannya.

Satu jam kemudian, pintu kaca di dorong dari dalam. Yuli keluar dengan kepala menunduk. Sambil berjalan ia melonggarkan dasi hitam yang terikat di kemeja yang ia pakai. 

Ia menenteng tas hitam dengan lemas. Tanpa gairah dan penuh rasa putus asa. Ia menghidupkan motornya, berlalu menuju taman kota.

“Sial… sial… kenapa nasibku seperti ini ya. Kapan aku bisa diterima bekerja seperti teman-teman lain…” Yuli menghela nafas dalam. 

Seribu perasaan berkecamuk di hatinya. “Belajar itu yang rajin Dek. Nanti kamu kalau enggak punya skill bakal susah cari kerja Dek…”

Tiba-tiba ia teringat nasehat ayuk-nya ketika masih sekolah. Saat itu sang ayuk memperingatkan dia untuk tekun dan rajin belajar. 

Ia harus sekolah dengan sungguh-sungguh. Meski hanya sma tapi kalau rajin dan bersungguh-sungguh pasti dapat ilmu yang bermanfaat.

Semua kini terbukti tapi waktu telah berlalu. Yuli tak bisa berbuat banyak selain memeluk perih. Andai saja ia rajin seperti teman lain. 

Ia tentu bisa komputer dan bisa diterima bekerja di kantor Parjo. Nasi sudah menjadi bubur, waktu telah berlalu, Yuli harus tetap menjalani kehidupan yang sulit itu.

---oOo---

Back To Top