Maret, Awal Kisah Cinta Sedih yang Berakhir Seperti dalam Film – bulan Maret menjadi hari bersejarah yang tak terlupakan. Meski terkubur di kedalaman bumi sampai membatu, kenangan itu tidak akan pernah luntur dari ingatan.
Ini adalah kisah cinta dengan mantan, yang kini telah menjadi ayah dari anak-anakku. Sebut saja namanya Kumbe, sejenis panggilan sayang. Nama aslinya, tidak penting. Yang terpenting adalah pribadinya yang tiada duanya.
Kau panggil dia “monyet” sekalipun, tidak akan mengurangi rasa hormat, rasa sayang dan kualitas dirinya dimataku. Nyatanya memang begitu, tidak berlebihan atau dilebih-lebihkan.
Dia adalah orang yang sangat sabar. Bagaimana tidak. Ketika aku sedang asyik nonton tv, ia ikhlas mengurus putra pertama kami yang buang air besar. Kurang sabar apa coba!
Pandai, bagiku ia orang paling pandai di dunia. Bukan seperti Einstein, tapi dia pandai mengerti aku, memanjakanku. Bukankah wanita lebih butuh pria yang pandai membuatnya bahagia?
Ah, kalau aku ceritakan kelebihannya, pasti nanti ujungnya sombong. Pokoknya dia sempurna, sebagai sosok pemimpin maupun pendamping hidup.
Tapi, percaya atau tidak, kebahagiaan ku itu dimulai tanpa kemujuran bahkan nasib buruk. Dulu, berkenalan dengan dia adalah musibah terbesar dalam hidupku. Percaya?
Setengah tahun sebelum bulan Maret 2018, kehidupanku tergoncang. Ayahku meninggal dunia, sakit. Beliau meninggalkan 10 juta rupiah untukku, bukan uang tapi hutang. Ayah adalah petani teh, penghasilannya pas-pasan dan harus menguliahkan aku.
Aku punya dua kakak, mereka telah mapan. Tapi ayah tak pernah sepeserpun meminta atau meminjam uang dari mereka. Sampai beliau meninggal.
Bak orang kaya, sebelum meninggal ayah meninggalkan surat, semacam wasiat. Isinya, memohon padaku untuk menyelesaikan kuliah sendiri dan memintaku untuk melunasi hutangnya.
Kebayang bukan? Sepeninggal ayah, setiap bulan ada orang datang ke rumah, menagih hutang. Sepuluh juta hutang ayah memang di renternir, jadi semakin hari akan semakin besar.
Aku berusaha sekuat tenaga. Mengelola apa yang ayah tinggalkan, untuk hidup, membayar hutang dan melanjutkan kuliah. Sampai, bulan itu, datang seorang pemuda tinggi berpakain rapi ke rumahku.
Waktu itu aku sedang sakit. Aku berbaring di kursi depan. Ketika ia mengetuk pintu, aku suruh saja ia masuk. Pemuda itulah yang kelak menjadi cinta sejatiku.
Setelah ku persilahkan masuk, ia kemudian duduk. Ketika aku tanya maksud dan tujuannya, ia justru diam.
“Endak… saya hanya ingin melihat keadaanmu. Bagaimana keadaanmu, sudah baikan. Semoga lekas sembuh ya…” justru kalimat itu yang pertama kali keluar dari bibirnya.
“Ah, gila ini orang” pikirku saat itu. Momen berikutnya, ia justru undur diri dan menyisakan tanda tanya besar.
Belum berganti hari, tiba-tiba ada lagi orang yang datang. Untung waktu itu bukan renternir yang akan menagih hutang. Pakaiannya putih, gagah. Orang itu tiba-tiba saja masuk dan langsung memeriksaku. Karena keadaanku sangat lemas dan pusing aku tidak bisa berbuat apapun, kecuali melongo.
Seperti dokter pribadi, ia memeriksaku dengan baik. Meninggalkan obat, buka lagi resep. Aku benar-benar sangat heran, penasaran dan bingung sekali.
Tiga hari berselang. Kesehatanku mulai pulih. Saat itulah kabar tidak sedap mulai ku dengar. “Wah… calon menantunya renternir. Pasti lunas semua tuh hutang-hutangnya. Enak juga ya punya anak perawan….”
Rumor dan gossip menusuki ulu hati. Semua orang saat itu membicarakanku, seolah aku jual diri untuk melunasi hutang ayahku. Apalagi setelah kejadian itu tukang tagih tidak pernah datang.
Dua bulan kemudian, pria yang sama kembali datang.
Kumbe mengetuk pintu. “Apa kabar Darra… baik bukan?” ucapnya. Saat itu aku tidak mau kecolongan. Aku langsung menodong dia dengan pertanyaan telak. “Siapa kamu… apa maksud kedatanganmu yang sebenarnya. Jawab!”, aku setengah berteriak kepadanya sambil memegang pentungan.
Tak ku sangka. Reaksinya tak pernah ku bayangkan. Raut mukanya begitu ketakutan. Dengan suara terbata ia langsung mengatakan bahwa ia adalah Kumbe anak pak Dirman. Ia datang karena di suruh sang ayah untuk menagih hutangku.
“Oh… jadi ternyata kau anak renternir sialan itu!”, teriakku saat itu. Tanpa berpikir panjang, pemuda itu langsung kabur, melarikan diri.
Kulemparkan pentungan ditanganku. Kuluapkan emosi dan semua kekesalanku pada pemuda tersebut meski sebenarnya mungkin ia tidak layak menanggung dosa orang tuanya.
Setelah kejadian itu, kabar buruk semakin santer. Orang sekampung menilaiku dengan pikiran kotor dan menganggap aku tak punya harga diri.
Cacian dan cemooh orang – orang terakumulasi menjadi kebencian yang mendalam kepada renternir dan pemuda itu sebagai anaknya.
Waktu terus berganti. Sekali dua kali pemuda itu masih mencoba datang untuk menerima kemarahanku. Tapi jujur, saat itu dalam benakku ada tanda tanya besar kenapa renternir itu tidak pernah mengirim orang lain untuk menagih hutangnya padaku.
Tapi, aku justru senang. Itu berarti aku punya waktu untuk mengurus kuliahku. Aku menyibukkan diri dengan kuliah sambil sedikit menyisihkan uang kalau-kalau ditagih lagi.
Waktu terus bergulir sampai waktu itu aku baru saja menyelesaikan tugas akhir. Sore yang begitu dingin, hujan rintik. Seseorang mengetuk pintu pelan.
“Siapa…” ucapku. Tak ada jawaban, aku langsung membuka pintu. Ku dapati pria gagah yang tak lain adalah anak si renternir.
Pakaiannya basah setengah. Di depan tampak motor terparkir di pinggir jalan. Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa ibu melihat pemuda itu basah kuyup.
Aku menggerakkan kepala, mempersilahkannya masuk. Tanpa kata, aku langsung mengambilkannya handuk kering. Ragu-ragu, ia mengelap air hujan yang membasahi tubuhnya.
“Sebenarnya… sebenarnya aku ke sini untuk meminta maaf sama kamu…”
“Maaf… dosa apa yang telah kamu lakukan padaku…”
“Bukan untukku saja, aku meminta maaf atas kesalahan yang pernah dilakukan almarhum ayahku…”
“Almarhum….?”
“Iya benar… ayahku – si renternir yang sangat kamu benci itu – sudah meninggal saat pertama kali aku kemari…”
“Jadi… kamu yang menggantikan ayahmu jadi renternir! Sayang sekali. Ganteng-ganteng jadi renternir!”
“Bukan… bukan begitu. Masalah itu, aku sudah membereskannya. Atas nama ayahku, aku melunaskan semua hutang-hutang orang kepada ayahku. Aku juga sudah mohon agar mereka mau memaafkan ayahku.”
“Apa… jadi maksud kamu… semua orang yang berhutang pada ayahku kamu anggap lunas semua?”
“Bukan dianggap, tapi sudah lunas semua. Jadi untuk itulah aku kesini mau meminta maaf sama kamu”
“Wah… kalau hutangnya lunas sih tidak apa-apa dimaafkan. Ya… sebenarnya sih, gara-gara hutang pada ayahmu, aku kini juga sudah kehilangan ayahku. Ayahku meninggal karena sakit dan tidak berobat. Uangnya hanya untuk diberikan ke ayahmu.”
“Iya.. sekali lagi aku minta maaf…”
Sore itulah, Kumbe si anak almarhum tukang renten itu menjabat tanganku, mengenalkan diri. “Darra…” jawabku singkat saat itu.
Singkat cerita, satu tahun kemudian dia melamarku. Bagaimana bisa? Bisa, kami bertemu lagi beberapa kali, bukan kencan. Tapi sebelum itu aku beberapa kali mendengar rumor tentang kebaikan pemuda tersebut. Pernah aku bertemu seorang wanita yang bahkan benar-benar tergila-gila dengan Kumbe.
Saat ia melamarku, melihat ke dalam pandangan matanya, aku yakin ia berbeda dari ayahnya. Dan itu terbukti, ia menjadi suami yang membuat semua istri cemburu padaku.
---oOo---