Kulit Indah Mempesona, Aku Tak Pernah Malu Bekerja Sebagai Tukang Jamu Keliling

Kulit Indah Mempesona, Aku Tak Pernah Malu Bekerja Sebagai Tukang Jamu Keliling – nasib orang beda-beda bukan, bahkan kadang tak masuk akal dan tak pantas – seolah. Tapi Tuhan tahu yang terbaik bagi umatnya.


Aku berusaha tak mengeluh, berjuang tetap tegar menerima kenyataan – yang kata orang pahit dan memilukan. Aku sendiri percaya bahwa semua pasti ada maksud dan tujuannya. 

“Lagi pula, roda kan berputar. Tidak selamanya kita akan miskin, buat apa malu”, ucapku ketika salah satu tetanggaku mengejek pekerjaan yang aku jalani. 

“Ah iya… kamu kan wanita super yang bisa bertahan dalam keadaan apapun!” sindirnya. “Bukan begitu juga Jeng. Ikhlas menerima takdir itu lebih menyenangkan ketimbang meratapi dan menyesalinya” aku tak mau kalah argument dengan dia. 

Setiap pagi – sekitar jam 8 atau jam Sembilan – aku sudah harus berperang dengan tetanggaku sendiri. Perang mulut, perang argument yang kadang sebenarnya membuatku lelah, dan muak. 

Entah, aku sendiri heran kenapa banyak orang yang lebih suka mengurusi persoalan orang lain. Padahal dia sendiri memiliki segudang kekurangan, masalah yang harus diselesaikan. 

Pagi itu, udara dingin menusuk tulang. Seperti biasa, aku sudah menyelesaikan setengah pekerjaan rumah tangga. 

Menjemur pakaian adalah rutinitas yang paling berat. Aku harus berhadapan dengan mata-mata sinis, hati-hati yang sombong serta manusia-manusia yang iri akan kelebihan orang lain. Kalau bisa, semua kebaikan jadi milik kita sendiri. 

Satu demi satu helai baju menggantung. Suasana sepi dari sekitar rumah. Tak ada berisik tiada yang mengusik. Tanganku terus telaten membelai satu persatu kain di dalam ember. 

“Wah… jam segini baru jemur baju… kesiangan ya. Pasti habis begadang!”

“Ah… Yu Narti bisa saja…”

“Jemm… kamu itu loh. Apa tidak bosan jadi tukang jam uterus. Apa endak kepingin kerja yang lain?”

“Yah… mau bagaimana lagi Yu. Bisanya cuma ini…”

“Eh… kalau kamu mau. Aku ada kerjaan. Jadi babu mau tidak. Gajinya besar kok, ini bukan babu sembarang babu…”

“Walah Yu… mana ada babu yang gajinya besar. Ngawur sampean…! Mau besar paling juga hanya cukup buat kebutuhan sehari-hari, sama saja dengan tukang jamu Yu…”

“Ah kamu ini. Tapi kalau kamu sepertinya bisa lebih bagus gajinya. Apalagi mau lembur”

“Ha… lembur. Pembantu ada lemburnya juga toh”

“Ah kamu… suk lugu kamu Jemm…! Paling-paling kamu juga nyambi!”

Wajar mungkin, kadang memang banyak orang yang berpikir aneh. Apalagi melihat penampilanku. Pernah ada satu pelanggan jamu yang mengira bahwa aku adalah artis. Entahlah, kok bisa mereka berpikir demikian. 

Sempat aku penasaran dan bertanya langsung, “penampilan Mbak beda, enggak pantas kalau jualan jamu. Mbak cantik, seksi bahkan seperti anak orang kaya”, aku hanya tersenyum malu mendengar perkataan itu. “Tukang jamu, cantik, seksi… becanda!” pikirku.

“Jemm… Jemmi….!”, suatu sore – ketika aku sendang sibuk meracik jamu – seorang tetangga bernama Mbak Eva teriak-teriak memanggilku. 

“Ada apa Mbak… teriak-teriak begitu?”, tanya ku penasaran. “Gawat Jemm… ini gawat!”, ucapnya tergopoh. 

“Aduh…. Gawat apanya sih Mbak…?”, aku semakin penasaran. “Begini… begini Jemm… Mas Mansyur… anu mas Mansyur!” ucap Eva terpotong.

“Mbak… bentar-bentar. Minum dulu nih… Mbak, kalau ngomong jangan sepotong-sepotong gitu ah, jadi salah tafsir nanti. Emang anu-nya mas Mansyur kenapa?”, tanyaku sembari meledek, “kurang keras?” lanjutku.

“Ah kamu ini Jemm… bukan, anu, mas Mansyur sepertinya sudah tidak bergairah dengan aku Jemm… bagaimana ini. Kamu punya jamu yang bisa buat mas ku itu tambah bergairah sama aku tidak?”, jelas Mbak Eva.

“Waduh Mbak… ini urusan orang dewasa to… Mbak… kalau jamu kuat ada, tapi kalau masalah bergairah itu bukan hanya dari jamu, tapi dari Mbak Eva juga”, jelasku. 

“Maksudnya pie Jemm…”, tanya Mbak Eva tampak tidak mengerti.

“Gini Mbak… Mbak Eva juga harus tampil menggairahkan, mempesona gitu…”, jelasku. “La… terus aku harus bagaimana. Apa aku kurang cantik sih Jemm…” tanya Mbak Eva.

“Mau jawaban jujur atau bohong nih!” aku memastikan bahwa Mbak Eva tidak akan tersinggung jika aku berkata jujur. “Ya jujurlah…” jawabnya tegas.

Aku kemudian menjelaskan padanya bagaimana seharusnya ia merawat tubuhnya agar tetap cantik. “Meski kita hanya ibu rumah tangga, tapi kita tetap harus merawat diri, demi suami tercinta”, jelasku. 

“Wah… pengalaman juga kamu Jemm… jangan-jangan kamu sudah tak perawan lagi ya…” jawabnya meledek. “Hush… ngawor Mbak Eva ini…”

Adegan berlanjut ke curhat dari hati ke hati. Dia yang mengawali, aku pun terpancing. Aku mulai berkeluh kesah mengenai pandangan orang yang sedikit miring tentangku. 

“Jangan hiraukan perkataan orang Jemm… tapi memang wajar sih. Coba lihat kamu, kulitmu kencang, putih mulus, bersinar. Badanmu juga bagus, sintal. Jadi memang kurang pantas bekerja seperti itu.”

Untuk kesekian kalinya, ternyata yang jadi masalah adalah tubuhku. Lalu, apa salah jika aku seperti ini. Tentu tidak bukan. 

“Mbak… pengetahuanku tentang jamu-lah yang membuat aku bisa merawat tubuh dengan baik. Warisan keluarga!” jawabku.

“Nah… itu, itu harus dibagi Jemm… jangan serakah. Coba bagi caranya, bagaimana kamu bisa memiliki kulit indah yang sempurna seperti itu. Padahal kamu kan sering berkeliling panas-panasan”, Mbak Eva menodong aku dengan pertanyaan yang tidak bisa lagi dielak.

“Intinya perawatan dari dalam Mbak… disiplin makan, jamu juga penting…bukan promosi loh ini…” jelasku.

Kalau hanya kulit mulus, bagiku mudah. Dari kecil aku sudah dilatih disiplin dalam menjaga badan, apalagi oleh ibuku. Dulu aku merasa gerah, tetapi lama kelamaan juga biasa. 

Itulah sebabnya mesk jadi tukang jamu, aku sering di ajak selfie oleh pelanggan. Aku tidak malu, yang penting usaha pekerjaanku ini halal. Mudah-mudahan, dengan bekal kerja kerasku, sebantar lagi aku bisa mewujudkan impianku mendirikan pabrik jamu milik sendiri.

---oOo---

Back To Top