Investasi, Anak dan Keluarga adalah Pilihan Terbaik Menuju Sukses

Investasi, Anak dan Keluarga adalah Pilihan Terbaik Menuju Sukses – “investasi lagi, investasi lagi! Bosan Yah… Yah… sekali-kali ngomong liburan napa…!” Mutie protes kepada sang ayah yang tak bosan berbicara mengenai itu-itu saja.


Sang ibu yang duduk disampingnya hanya tersenyum. Kalau sudah begitu, tidak ada yang bisa ia lakukan. Perdebatan antara anak dan ayahnya seperti itu bisa sampai larut. 

“Eh… hasil turnamen kamu kemarin bagaimana, kamu belum cerita sama ibu?”, Kartini mencoba mengalihkan pembicaraan. “Ah… biasa bu, sudah bisa ditebak. Kelas kami mendapat juara umum. Seperti biasa!” jelas Mutie pada sang ibu. 

“Nah… tuh, like mother like daughter, sama – sama sombongnya…”, sang ayah ikut nimbrung. “Eits… salah itu Yah… mana ada seperti itu. Yang ada kan like father like son…”, jawab Kartini tak mau kalah dari sang suami. 

“Teng… teng… teng…., mau Mutie siapin ring enggak nih…!” Mutie menatap ke arah ayah dan ibunya seolah serius. “Ah… kamu ini…!” jawab ibunya. 

Konyol. Keluarga Karim yang hanya memiliki satu anak it uterus berdebat sampai malam. Sudah seperti ring tinju, masing-masing saling serang dengan sindiran. 

Kala salah satu sudah menandakan raut muka sedikit serius, yang lain langsung berkelakar, bercanda bahkan saling peluk. Kehangatan sangat terasa di sela-sela candaan tersebut. 

Karim adalah sosok suami yang mampu membawa keluarganya dalam keadaan yang sejahtera. Kerja keras dan disiplin, Karim juga sangat konsisten dalam menabung apalagi investasi. 

Akhir-akhir ini, Karim sedang gila dengan yang namanya investasi. Hampir setiap saat ia akan membahasnya baik dengan istri maupun dengan anak semata wayangnya. 

Mutie yang masih duduk di bangku SMA tentu jengah. Ia sering kali sangat bosan mendengarkan celoteh sang ayah, apalagi saat ia mendapatkan nasehat untuk belajar menyisihkan dan menabung. 

Awal mengenal bisnis tersebut, keluarga Karim sempat mengalami guncangan. Bukan karena resiko yang diterima tetapi karena sang ayah terlalu fokus dengan apa yang sedang dikerjakan. Semua energy dicurahkan kesana. Bukan hanya Mutie, sang istri pun kadang merasa ada yang salah dalam diri Karim. 

“Yah… santai saja Yah. Tidak baik loh terlalu menggebu seperti itu. Lagi pula kita kan tidak kekurangan, sudah lebih dari cukup. Jadi ayah tidak perlu terlalu ngotot dalam cari uang…” 

“Kalau enggak sekarang kapan lagi Ma… lagi pula Mutie juga membutuhkan banyak biaya. Apa kamu mau dia hanya bisa menjadi seperti yang lain?” 

“Bukan seperti itu pak… tapi Mama merasa Ayah terlalu berlebihan…” 

“Berlebihan bagaimana sih… tidak ada yang berlebih kok!” 

Ketika mendapatkan sentuhan nasehat, Karim merasa sedikit tidak senang. Ia mulai berpikir bahwa sang istri kurang mendukung. 

Wajahnya berkerut, dahinya tampak seperti benang kusut. Sang istri pun tahu benar melihat perubahan itu. 

“Yah… bukan Mama tak mendukung, atau tak setuju. Mama hanya mengingatkan agar Ayah tidak terlalu berlebihan.” Kartini mencoba menjelaskan maksudnya kepada sang suami. 

Karim menghabiskan waktu lebih banyak. Ia semakin tenggelam dalam bisnis yang ia geluti. Pelan tapi pasti, semua berubah. Prilaku Karim pun bergeser mengikuti perkembangan investasi yang diikuti. 

Mutie, gadis remaja yang masih sangat mendambankan kasih sayang dan perhatian orang tua mulai merasakan dampaknya. Apa yang ia takutkan pun semakin nyata di depan mata. 

“Ma… Ayah mana. Kok enggak kelihatan!” 

“Ayahmu lagi di kantor. Katanya ada urusan…” 

“Ah… ayah sekarang enggak asyik. Janji jemput, aku dibiarkan pulang sendiri…” 

“Ya sabar Nak… ayah kan lagi ada pekerjaan penting. Itu juga kan buat kamu…” 

Mutie duduk terdiam. Ia tidak berselera berdebat dengan sang ibu. Perasaan, hatinya tidak begitu enak. Ia terlihat murung, kecewa. 

Embun menghilang ditelan mentari, keceriaan yang dulu menyelimuti keluarga Karim kini mulai memudar. Bukan salah Karim sibuk dengan pekerjaannya. 

Tapi, terlalu tenggelam dalam satu kegiatan kadang bisa membuat kita lupa pada hal lain – yang sebenarnya lebih berharga. 

Selain Mutie, Kartini pun sebenarnya mulai merasakan hal yang sama, sepi. Dulu, ia selalu bisa tersenyum damai melihat kedua orang yang sangat ia sayang bercengkrama dihadapannya. Sekarang, semua berbalik. Di hari libur pun, jarang sekali mereka bisa berada di satu meja. 

Lama waktu berganti, Mutie tak bisa lagi menahan diri. “Aku harus protes. Aku harus bilang sama Ayah apa yang aku rasakan”, Mutie bertekad. 

Rabu, 07 Februari 2018, kesempatan baik ia dapatkan. Sepulang sekolah, Mutie mendapati sang ayah sudah di rumah. “Tumben… jam segini ayah sudah di rumah. Kesempatan bagus ini!” 

Mutie langsung bergegas ke kamar. Ia segera berganti pakaian dan duduk, melihat sang ayah yang sibuk di depan laptop. 

“Yah… bagaimana perkembangan investasi ayah?” 

“Oh… baik-baik, semakin bagus. Kini ayah sudah bisa lebih tenang. Tumben kamu tanya seperti itu?” 

“Enggak apa-apa yah… Mutie cuma agak bingung. Belum paham dengan maksud investasi. Sebenarnya investasi itu apa si yah?” 

Karim pun dengan berapi-api menjelaskan kepada putrinya mengenai investasi. “Sederhananya, investasi itu adalah tabungan yang sangat penting bagi masa depan Nak…” 

“Terus, bagaimana dengan keluarga Yah. Apakah keluarga bisa dikatakan juga sebagai investasi. Bukankah dalam keluarga kita juga mengeluarkan sesuatu dan tidak langsung mendapatkan balasan. Contohnya ayah yang membesarkan anaknya yang tidak bisa membalas atas apa yang diberikan orang tuanya itu” 

Karim tertegun. Ia tidak menyangka anak gadisnya mengatakan hal seperti itu. Dalam hati kecilnya ia dapat mengerti apa yang sebenarnya ingin Mutie sampaikan kepadanya. Ia menarik nafas dalam. Melanjutkan pekerjaannya. 

---oOo--- 

Back To Top