Korban Investasi Bodong, Masa Depan Gemilang Hilang Ditelan Bumi

Korban Investasi Bodong, Masa Depan Gemilang Hilang Ditelan Bumi – “Sebagai generasi muda, seharusnya kan kita memang lebih berani. Bukan jadi pengecut yang selalu bersembunyi di balik ketiak orang tua”, Marto berapi-api berbicara diantara beberapa rekan satu fakultas.


“Ah, bisa – bisa kamu saja. Itu bukan masalah nyali, tapi bukti nyata…” timpal salah seorang pemuda berambut sedikit gondrong. 

“Benar itu Mar, sebelum kamu bicara lebih banyak, akan lebih baik jika kamu tunjukkan buktinya lebih dulu. Apa hasilnya investasi yang kamu ceritakan itu”, jawab yang lain. 

Suasana mulai sedikit riuh. Para pemuda itu mulai bergemuruh, ada yang berbisik beradu argumen dan lain tampak ragu-ragu. 

Marto tersenyum simpul. Ia menarik nafas sedikit dalam dan menunggu beberapa rekannya kembali menghujamkan pandangan tak percaya itu kepadanya.

“Endak ada yang namanya sukses tanpa pengorbanan. Ini bukan bim salabim tapi perlu perjuangan. Masih ingat dengan istilah semakin tinggi pohon semakin kencang tiupan anginnya? Untung besar pasti resiko besar dong. Kalau untuk bukti, kalian bisa lihat di depan mata kalian."

Marto terus berapi-api menyampaikan gagasan itu. Banyak dari mereka kemudian mulai bimbang dan mulai percaya dengan apa yang diceritakan Marto. 

Begitu juga dengan Idin. Pria bujang dengan rambut keriting itu dari tadi lebih banyak diam. Tapi dalam hati kecilnya ia tertarik dengan apa yang Marto katakan.

“Kamu bisa jamin enggak kalau aku inves dan akan berhasil”, tiba-tiba Idin angkat bicara. “Aku jamin deh, dengan nilai investasi yang kamu berikan, bulan berikutnya kamu sudah bisa mendapatkan gaji”, jawab Marto tegas. 

“Aku bisa menyelesaikan kuliahku tepat waktu nih…”pikir Idin. Dahinya berkerut seketika itu, ia tampak menyelam dikedalaman pikiran sendiri – mulai menghitung-hitung telur dari bebek yang belum ia beli. 

“Ah… enggak usah banyak mikir, keburu banyak yang ngantri. Hanya modal 10 juta, siapa yang mau besok bisa langsung menemui aku..” ucap Marto melihat gelagat ragu di wajah teman-temannya. 

Malam semakin larut. Satu persatu dari mereka akhirnya tertidur. Tapi tidak dengan Idin. Harapan akan mendapatkan penghasilan untuk bekal kuliah mulai menyiksanya. 

Keterbatasan yang melilit membuatnya harus berpikir keras mengatasi segala masalah keuangan. Apalagi, bayaran kuliah yang jatuh tempo, kamar kost yang habis dan bon makan di kantin yang menumpuk terus menghantui malam-malamnya. 

Kala yang lain terlelap dalam mimpi, Idin terjaga. Ia duduk di sofa yang dudukannya sudah bolong – bolong. 

Matanya yang besar bulat masih menyala terang. Kedua tangannya mendekap, angan menembus jauh di luang ruang keluarga yang cukup sempit untuknya.

“Tadi Parjo bilang akan ikut… bagaimana dengan kamu Din?”

“Entahlah…”

“Tidak perlu banyak berpikir Din, kesempatan tidak datang dua kali… jangan sampai menyesal… Lagi pula, ini kesempatan bagus untuk menambah biaya kuliah…”

“Modalnya itu bagaimana, banyak itu?”

“Halah… kamu pasti bisa usahakan… ya sudah, ini sudah larut, aku tidur dulu”

Berbekal kepepet, Idin mulai berjudi, ia mulai percaya dengan harapan itu. Meski ada rasa khawatir, kebutuhan yang mendera membuat Idin harus berspekulasi meski ia tak seratus persen tahu hasilnya. 

Sabtu sore, setelah satu bulan dari pertemuan kumpul-kumpul itu, Idin menemui Marto untuk mengutarakan niatnya ikut investasi yang ditawarkan Marto. 

“To… aku ingin ikut. Kamu bisa bantu kan…?”

“Wah, bagus itu Din. Tenang… serahkan semua ke aku. Aku akan urus semua untuk kamu. Yang penting modalnya, sudah ada kan uang yang akan diinvestasikan?”

“Sudah To…”

Idin benar-benar nekad kali ini. Ia memaksa kedua orang tuanya menggadaikan rumah hanya untuk kebutuhan Idin tersebut. Orang tuanya yang tidak berpendidikan harus pasrah dengan niat anak bungsunya, Idin. 

Sebagian besar uang hasil gadai diberikan ke Idin, hanya sedikit yang digunakan orang tuanya. Idin berjanji, dalam tiga bulan ia akan menebus rumah yang digadaikan tersebut. 

“Sudah Din, tidak bisa besok, hari Kamis besok kamu siapkan uangnya. Aku akan urus administrasinya dulu setelah itu hari Kamis kamu ikut aku untuk menyetorkan dana yang kamu miliki…” ucap Marto kepada Idin. 

Hari yang ditunggu tiba, Idin membawa uang yang dibutuhkan untuk investasi pada Marto. Ia dengan percaya diri dan penuh harap menyetorkan uang tersebut ke salah satu investasi yang diikuti Marto. 

Satu bulan berlalu setelah Idin menyetorkan uang. Pelan – pelan system kerja pada investasi yang Marto kenalkan mulai terbuka. Idin sedikit terkejut, “kok sistemnya seperti ini…”. 

Idin tak mengira sistem investasi tersebut mirip penipuan. Apalagi setelah ia mengetahui ada beban bagi yang bergabung untuk mengajak orang lain.

Bulan berlalu, wajah Idin cerah keluar dari angkutan kota menuju ke kampus. Di depan pintu gerbang kampus, ia bertemu dengan rekannya. “Wah… tumben, cerita benar kamu bro…?”, sapa teman tersebut.

“Ya… begitulah…” jawab Idin singkat. Senyum sumringah menghiasi wajah Idin yang biasanya selalu kucel dan lesu. Ia tampak senyam-senyum sendiri berjalan ke kampus. Maklum, tiga hari yang lalu Idin mendapatkan gaji, penghasilan dari investasi yang ia ikuti. 

Sesampainya di dalam kampus, Idin segera bergabung dengan geng – sahabatnya di kampus. “Woi… ngelamun aja kalian ini seperti tidak ada kerjaan?”

“Ha… “
“Loe nih, datang-datang sudah resek…”

“Eh… tumben kamu ceria Din, biasanya tuh muka dilipet kayak koran bekas bungkus gorengan!”
“Ha… ha… iya nih… kemari aku habis gajian…”

“Apa… gajian, kerja dimana loe Din?”
“Kerja, enggak. Aku investasi bareng Marto. Ingat kan?”

“Oh… jadi kamu benar-benar ikut Din… apa benar itu, memang kamu enggak takut modal kamu hilang?”

“Ya enggak lah… ini kan asli bro, terdaftar. Lagian bulan ini profit sudah aku dapat…”
“Eh, jangan salah Din… akhir-akhir ini kan banyak investasi seperti itu. Yang bodong!”

“Sembarangan aja, memangnya puser kamu bodong!”
“Uh… dikasih tahu ngeyel kamu Din.. ya sudah, jangan mewek kalau kena jebakan batman!”

Sebagian teman Idin mencibir dan memperingatkan Idin untuk berhati-hati. Tapi tidak sedikit juga yang mulai percaya dengan investasi yang dikenalkan Marto. 

Waktu berlalu, bulan demi bulan berganti. Idin terus mendapatkan imbal hasil dari investasi yang ia ikuti. Tapi ia lupa bahwa ia harus menebus rumah yang digadaikan. 

“Din… iki pie, kamu kok belum pulang ngirim duit. Pak Banu sudah menanyakan uangnya!”

“Aduh bu… sabar. Uangnya baru aku pakai untuk bayaran kuliah dulu. Bulan besok ya bu… dua bulan lagi kan enggak apa-apa…”

“Awas kamu Din kalau bohong… kalau rumah kita tidak ditebus, kamu mau tinggal di kolong jembatan. Gak bisa kuliah lagi. Bapak sama ibu sudah tidak bisa usahain…”

“Iya bu… tenang…”

Idin sangat percaya dengan kemampuannya. “Dalam dua bulan ke depan aku akan tebus rumah dulu… setelah itu hasilnya bisa aku investasikan lagi…” niat Idin. 

Enam bulan berlalu, Marto sudah tidak pernah terlihat. Idin mulai guncang, galau. Bulan ini ia belum mendapatkan gaji seperti biasanya. 

Bulan lalu, gajinya juga telat dua minggu, dan ini sudah hampir akhir bulan belum cair. Hati Idin mulai gelisah, ia mulai khawatir. 

Apalagi tidak ada orang yang bisa diajak komunikasi setelah Marto jarang terlihat. Ditambah lagi rumahnya belum selesai ditebus. 

Berjam-jam ia hanya melamun, pusing. Sudah tiga hari ia bolos kuliah. Ia sudah lebih sibuk mengurus investasi itu.

Bulan berikutnya gaji turun. Ia sedikit lega meski rasa khawatir mulai menderanya. Ia kemudian berniat menarik semua modal yang ia tanam. 

Di malam senin, ia menuju ke warnet. Ia membuka akun dan alangkah terkejutnya dia tidak bisa masuk ke akun. Ia kemudian meluncur ke forum. 

Di luar dugaan, di forum ternyata sudah riuh ramai. Ia bukan satu-satunya yang mengalami hal itu. Bukan hanya itu, kejadian itu ternyata sudah terjadi tiga bulan sebelumnya. 

Idin lemas seketika. Hancur sudah harapannya selama ini. Impiannya runtuh bersama kolepnya investasi yang ia ikuti. Ternyata, ia tertipu investasi bodong. 

Idin harus menelan pil pahit dengan kondisi yang sangat buruk. Kulaihnya tak lebih baik, kondisi ekonomi keluarga carut marut dan bahkan rumahnya sudah terlanjur digadaikan. Idin menjambak rambutnya sekuat tenaga, “anjrit…!”

---oOo---

Back To Top