Cerianya Anak, Kebahagiaan Sejati dalam Hidup Ibu yang Sesaat – duduk di emperan belakang rumah, kedua tangan Mustika menggenggam erat. Matanya tampak sayu memandang ke arah ayam-ayam yang berkeliaran di pelataran belakang rumahnya yang terbuat dari pohon bambu.
Ketika matahari berada di ubun-ubun, Mustika sudah tidak melakukan apapun. Ia hanya akan menghabiskan waktunya di belakang rumah, mengasuh si bungsu. Anak tercintanya itu paling sering main capung - di belakang rumah.
Rambutnya sudah memutih, beberapa tampak menyembut dari balik penutup kepalanya. Sang suami pergi di sawah atau ladang, memburuh pada tetangga yang membutuhkan.
Sudah tidak banyak sebenarnya beban hidup Mustika. Ia hanya tinggal harus menghidupi diri sendiri dan si bungsu yang baru berusia 7 tahun.
Mustika dan suaminya Parjo memiliki 4 orang anak. Semua sudah berkeluarga kecuali anak terakhirnya. Kehidupan mereka tak lebih baik dari orang tuanya.
Meski ketiga anaknya sudah berkeluarga, Mustika masih memiliki beban dan perasaan tanggung jawab terhadap mereka. Tak jarang ia harus berbagi beras untuk sekedar makan sehari-hari.
Itu belum seberapa. Beban hidup yang sangat berat adalah menyaksikan anak bungsunya hidup enggan mati tak mau.
Sejak lahir, sang anak bungsu tidak pernah tersenyum. Seperti tidak pernah bahagia. Tidak ada yang lain pada fisiknya, tubuhnya sehat. Tapi entahlah. Mustika hanya bisa pasrah, tak tahu apa yang harus ia lakukan.
Yang menjadi pelipur lara hanya ayam-ayam peliharaanya. Ayam tersebut bukan sekedar ternak. Mereka adalah hidup dan mati keluarga Parjo dan Mustika.
Seperti terhadap anaknya, Mustika juga sangat peduli terhadap peliharaannya tersebut. Siang sampai sore, ia menghabiskan pandangannya pada keduanya. Sampai sang suami pulang.
Siang itu, matahari tergelincir begitu cepat. Mustika tak sempat melamunkan banyak hal. Hanya beberapa kegelisahan yang tak lelah mondar-mandir di kepalanya.
“Le… jangan ke situ…” sesekali ia memperingatkan anaknya yang bermain di sekitar kandang. Begitulah hari-hari Mustika lebih banyak dihabiskan. Setidaknya setengah harinya setelah zuhur tiba.
Setelah hari yang panas, tibalah sore yang sejuk. Angin semilir mengingatkan Mustika akan kewajibannya.
“Nak… sudah sore. Mandi ya…” ketika mentari sudah mulai tenggelam, Mustika akan beranjak dari tempat duduknya dan mengajak anaknya mandi.
Seperti sudah diprogram, tanpa protes Mamat pun bangkit. Mengikuti sang ibu. Ekspresi wajahnya datar. Tak seperti kebanyakan anak seusianya.
“Mandi ya… habis mandi nanti makan. Kalau sudah makan nanti ibu buatkan mainan. Mau kan?” ucap Mustika. “Mau…”, Mamat menjawabnya dengan singkat.
Kehidupan terus berjalan, Mamat tetap menjadi anak pemurung. Jarang tersenyum apalagi tertawa. Parjo dan Mustika sebagai orang tua sudah banyak membuatkan mainan untuk menghiburnya. Semua tak berguna.
Semua bentuk mainan dari tanah, mainan dari kayu tak satu pun yang membuat Mamat tertawa. “Pak… kalau sempat, mbok anakmu sekali-sekali di ajak ke sawah atau keladang. Biar main disana…” ucap Mustika suatu malam.
“Apa malah enggak bahaya to Bu?” jawab sang suami. “Bahaya pie to pak?” Tanya Mustika lagi. “Ya bahaya, kan bapak tidak bisa selalu mengawasi anakmu kalau lagi kerja…” ucap Parjo.
“Iya juga sih pak… ya wis, besok ibu saja yang ajak dia jalan-jalan. Endak apa-apa to pak?” ucap Mustika meminta izin pada sang suami.
“Yo silahkan…” jawab Parjo sambil menyeruput kopi yang sudah dingin.
Hari pertama pergi jauh dari rumah, Mustika mengajak anaknya pergi ke sawah. Mencari apapun yang menarik untuk Mamat. Dengan bekal air minum di botol, Mustika dan anaknya meluncur ke sawah.
Mustika berjalan menggandeng Mamat. Sepanjang jalan, tangannya sibuk menunjuk ke sana ke mari.
“Le… coba lihat. Itu di atas pohon…” Mamat langsung mengarahkan pandangannya ke arah jari telunjuk sang ibu. Seekor burung perkutut tiba-tiba kaget dan terbang mendengar suara manusia.
Sampai di pematang sawah, Mustika tiba-tiba berhenti. Ada seekor kodok melompat kaget dari dekat kakinya berpijak di pematang sawah.
Mustika segera menunduk, memegang katak tersebut. “Le… ini bisa untuk umpan cari ikan loh… bisa dapat gede…”.
Udara panas mulai menyengat. Hari itu, Mamat lebih banyak diam. Ia tampak canggung dan tak nyaman dengan sauna tersebut. Mengetahui anaknya tidak memberikan reaksi positif, Mustika tidak melanjutkan perjalanannya.
“Yo sudah… sudah capek, yuk kita pulang. Besok kapan-kapan kita main lagi. Besok kita bawa pancing, atau cari keong aja…” Mustika segera mengajak pulang anaknya.
Hari berganti, minggu berlalu. Tak terasa bulan pun sudah banyak yang lewat. Mustika semakin rajin mengajak anaknya keluar rumah.
Suatu ketika, ia memutuskan untuk menghentikan kegiatan itu. Ia ingin tahu bagaimana reaksi anaknya. Apakah sebenarnya Mamat menikmati dan senang dengan suasana di luar atau sebaliknya.
Hampir satu minggu, Mustika membiarkan anaknya berekspresi. Sejak itu, Mustika tidak mengamati anaknya dari dekat. Ia lebih memilih duduk didalam rumah dan membiarkan anaknya merasa bebas tanpa pengawasan.
Satu dua hari, Mamat tampak lebih aktif. Ia lebih banyak bergerak dari pada duduk diam di satu tempat berlama-lama.
Sampai akhirnya, suatu sore Mustika dan sang suami dikejutkan dengan apa yang dibuat oleh Mamat.
Mamat masuk ke dalam rumah setelah hampir dua jam bermain di kandang ayam. Ia menuju ruang tengah kemudian masuk ke kamarnya dan keluar berkalung handuk.
Melihat hal itu, sang ibu pun tersenyum. Ia yang tadinya dari dapur langsung beranjak menuju ke ruang tengah. Ia ingin tahu apa yang dilakukan anaknya barusan.
Di meja kayu tepat di tengah ruangan ada sebilah bambu. Panjangnya sekitar 1 meter. Di ujungnya terikat tali, terbuat dari karung. Dibagian ujung tali, terdapat sesuatu yang diikatkan. Sepotong kayu kecil.
“Kebahagiaan bisa datang dari rasa bebas dan tak terkekang. Semoga sebentar lagi aku bisa melihat senyum dari anak yang bahagia.”
Pagi buta, Mustika tampak sibuk. Setelah menyiapkan sarapan sang suami, ia tampak sibuk membungkus nasi dengan daun pisang. Mamat tak sengaja melihat ibunya tampak sibuk. Ia pun menghampirinya.
“Mak….”
“Eh… kamu le… iya, ini mamak akan ke sawah. Cari belut, mau ikut?”
Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Mamat menganggukkan kepalanya. Mustika terus menyiapkan beberapa hal. Ia sangat sibuk dan seolah tak menghiraukan anaknya.
Rupanya, keganjilan yang dilakukan Mustika membuat hati Mamat penasaran. Bola matanya terus saja berpindah-pindah mengamati apa yang dikerjakan sang ibu.
Tiba-tiba ia berlari ke kamarnya, mengambil pancing yang pernah ia buat sebelumnya.
“Eh… ibu lupa… ibu juga sudah siapkan kamu. Ini…” melihat anaknya diam sambil memegang pancing buatannya, Mustika langsung mengambil sesuatu dibalik karung yang tak terpakai.
“Ini… tadi malam bapak buatkan kamu ini. Ini pancing untuk mencari belut. Nih…” dengan pandangan sedikit heran, Mamat mengambil pancing tersebut.
Setelah dirasa cukup, Mustika dan anaknya segera meluncur ke sawah. Disana, Mustika membimbing dan mengajari anaknya cara mencari belut sawah. Mamat tampak menikmati hal itu.
“Wes… rampung. Sekarang kita cari keong dulu. Nanti setelah cari keong kita lihat lagi” mereka pun pergi meninggalkan pancing yang tertancap di dekat liang rumah belut.
Sekitar satu jam… “Le… coba lihat punya kamu…” Mamat mengangkat pancing pelan. Tiba-tiba ia melompat kegirangan, “Mak… dapat…. Dapat… hore….!”
Hari itulah, hari pertama Mustika mendapati anaknya riang gembira dengan mainan barunya. Mamat tampak begitus enang dan puas melihat belut yang terperangkap di pancing miliknya.
---oOo---