Cerpen Pendidikan, Mimpi Indah Anak Buruh Tani Jualan Kue Untuk Makan dan Sekolah

Cerpen Pendidikan, Mimpi Indah Anak Buruh Tani Jualan Kue Untuk Makan dan Sekolah – “Kenapa hidup ini terasa begitu berat. Apa salah jika aku juga ingin seperti mereka?”, Rantie berjalan tertatih memanggul tampah berisi sisa gorengan yang tak laku ia jajakan.


Sepulang sekolah, tepat tengah hari sekitar jam 2 siang, ia pulang dan langsung berangkat lagi untuk berjualan. Melewatkan makan siangnya. “Est…. “, sesekali ia meringis menahan pegal di kedua betisnya. 

Betapapun beratnya, Rantie masih tetap menjalankan hidupnya. “Kue… kue…!”, teriak Rantie berharap ada orang baik hati yang mau menghabiskan sisa dagangannya. 

“Dek… kue apa?”, seorang lelaki separuh baya mendekati Rantie. “Kue pak… gorengan… masih ada pisang, tahu dan getuk… silahkan dipilih pak”, Rantie sumringah masih ada orang yang memanggilnya.

Pria itu pun kemudian membuka tampah yang ditutupi kain kacu. “Oh… masih banyak ini…” pria itu kemudian mengambil satu potong pisang dan dua potong getuk. “Iya pak… masih banyak…” Rantie tersenyum pahit menjawab pertanyaan sang bapak. 

“Bapak minta 5.000 ya, ini uangnya…” “Wah… banyak pak. Terima kasih. Segera saya bungkuskan untuk bapak.”

Pria setengah baya itu segera berlalu membawa gorengan yang dibeli. Rantie melanjutkan langkahnya. Kini kakinya lebih sedikit ringan, sedikit. “Yah… Alhamdulillah. Mesti masih sisa tapi tidak terlalu banyak…” 

Hari sudah mulai petang, Rantie masih melanjutkan berdagang sembari menuju ke rumahnya. Pikirannya melayang, membayangkan begitu keras dan terjal jalan hidup yang harus ia taklukkan. 

Seperti biasa, sudah menjadi rutinitasnya setiap hari, pikirannya akan menggembara, bergulat dengan berbagai angan, harapan dan kekecewaan akan kenyataan yang dihadapi. 

“Hidup ini seolah benar-benar enggak adil… saat orang lain duduk didepan tv, main game, aku harus berjualan…” ada raut kecewa di mata Rantie. 

“Ah… tapi kalau aku tidak jualan aku bisa mati kelaparan. Enggak. Aku enggak mau mati kelaparan. Kata orang mati itu sakit, apalagi kalau mati karena menahan lapar.

Tapi kenapa aku sih, kenapa tidak orang lain saja. Orang tuaku sudah miskin, sering sakit kenapa aku juga harus menderita!”

Setengah hari baginya seperti satu bulan lamanya, atau bahkan satu tahun. Ia benar-benar merasakan meter demi meter perjuangannya mendapatkan recehan.

Bukan hanya perih, kadang ia juga harus menelan getir dari ejekan anak-anak sebaya yang tak berhati nurani. 

“Demi cita-cita… aku harus kuat”, sebisa mungkin Rantie menahan air matanya yang selalu akan meleleh. Kalau sudah seperti itu, ia mengais lagi nasehat-nasehat hidup dari sang guru ngajinya di mushola dekat rumahnya. 

“Apa kamu pikir Alloh akan membiarkan perjuangan hamba-Nya sia-sia, tidak. Alloh akan membalas semua kebaikan yang kita lakukan.

Kalau kamu menjalankan semua di jalan Alloh maka semua akan bernilai ibadah. Setiap ibadah pasti akan mendapatkan balasan. Ingat itu Rantie”

Sedang asyik bergulat dalam angan, tiba-tiba Rantie melihat dua orang anak kecil duduk di teras rumah. Mereka bermain dengan riang.

Di dekat mereka tampak berserakan banyak mainan modern yang pasti harganya mahal. Di meja, ada dua piring roti, makanan ringan dan minuman dalam kemasan.

“Oh… betapa beruntungnya mereka…” Rantie berhenti sejenak menatap lekat ke arah anak tersebut.

Biasanya, hal selanjutnya yang terjadi adalah dia akan dilempar dan dicaci. Di luar dugaan, dua anak kecil di beranda rumah tersebut menatap tajam ke arah Rantie.

Mereka melempar senyum kecil… “Kue… kue….” Teriakan itu spontan keluar dari mulut Rantie. Berharap mereka akan memberikan harapan pada Rantie. 

Sedetik kemudian, lambaian tangan dari salah satu anak itu menjawab teriakan Rantie. Tidak. Mereka tidak berniat membeli dari Rantie. Rantie mengangguk, membalas senyum lalu berlalu. 

Sekitar jam delapan malam, Rantie sampai di rumah. Ia bergegas mandi kemudian duduk di depan meja belajarnya yang sudah reot. 

“Rantie… kamu kan belum makan… makan dulu. Bapak bawa singkong tadi di kasih Pakde Karwo…”

“Iya bu… sebentar…”
“Mumpung masih anget nih Ran…. Bareng bapak mu…”
“Oh… iya bu…”

Sepiring singkong rebut tertata rapi di meja. Ada ibu, ayah serta adik Rantie yang sepertinya sudah tidak sabar akan melahap semua isi piring tersebut.

“Hus… sabar Ndok… tunggu mbak mu itu…”
“Mbak…. Buruan….!”
“Iya… iya…”

Mereka menunggu Rantie sebelum mulai menghabiskan makan malam super nikmat itu. Bukan romantis, bukan suasana hangat kekeluargaan tapi karena satu piring singkong rebus itulah satu-satunya yang akan mengganjal perut mereka sampai pagi, atau bahkan siang hari.

“Loh… kok belum pada makan. Ya dimakan toh kok dilihatin saja…”
“Eh… kita kan nunggu Mbak Rantie…”

“Hush… sudah-sudah, sekarang kita makan saja. Bapak sudah lapar nih!”

Pelan dan teratur, mereka pun mulai menyantap satu persatu singkong rebus tersebut. Rantie menghabiskan setengah potong, matanya tertuju pada bapak dan ibunya.

Singkong rebus melekat di tenggorokannya, melihat wajah kedua orang tuanya yang sayu, ia tak bisa menelannya.

“Bagaimana mungkin aku bisa meraih mimpiku? Orang tuaku sudah cukup menderita, masih ada adikku yang butuh biaya banyak?” harapan itu seolah memudar.

Keyakinannya mulai goyah manakala melihat keadaan keluarganya yang memprihatinkan. “Lebih baik aku memcari makan untuk hidup keluargaku”, ucapnya lirih.

---oOo---

Back To Top