Alunan lagu “Tulus” Monokrom
tiba-tiba menyeruak. Membawa kebisingan baru di tengah kalut yang sedang aku
alami. Mall terasa lengang, meski ramai. Hampir tiga jam aku menghabiskan waktu
nongkrong di café. Letih hati. Aku memutuskan untuk beranjak.
Di ujung pintu, seorang nenek
menatapku tajam. Ia seolah tahu apa yang sedang berkecamuk di hatiku.
“Iya, benar Nek. Aku sedang galau. Kekasihku tak datang seperti yang dijanjikan. Ini untuk kesekian kalinya. Padahal kemarin ia baru sembuh dari sakit. Satu bulan penuh aku menemaninya di rumah sakit. Maklum, keluarganya jauh. Aku menjadi satu-satunya orang yang peduli dengannya”.
“Iya, benar Nek. Aku sedang galau. Kekasihku tak datang seperti yang dijanjikan. Ini untuk kesekian kalinya. Padahal kemarin ia baru sembuh dari sakit. Satu bulan penuh aku menemaninya di rumah sakit. Maklum, keluarganya jauh. Aku menjadi satu-satunya orang yang peduli dengannya”.
Aku menjawab pertanyaan nenek itu
dengan tatapan datar. Ia melemparkan senyum tipis. Aku hanya mengangguk.
Malas. Aku benar-benar tak
berselera pulang ke rumah. “Tapi mau kemana?”, akhirnya aku melangkahkan kaki
tanpa tujuan. Langkahku terhenti di sebuah warung yang ramai anak-anak muda.
Kulihat ada satu orang lelaki duduk
sendiri. Matanya menatap ke jalan. Tangannya menggenggam. Di sebelahnya tampak
sebuah tas warna hitam, tergeletak tak berarti. Tanpa permisi aku duduk
disamping lelaki itu.
Sepuluh menit. Aku masih diam.
Pemuda itu juga sama bisu. Tak menghiraukan aku yang dari tadi ada
disampingnya.
“Kadang hidup ini memang kejam
ya. Aku sudah mencintai tanpa pamrih. Aku memberikan segalanya. Tapi perih yang
aku dapat. Sama sekali tak adil.”
Tampak pemuda itu menghela nafas
panjang. Kemudian diam seperti patung. Aku seolah terhipnotis. Lidahku kelu,
mataku mulai panas dan perih. Pandanganku segera menembus angan, melayang jauh.
Sayup ku dengar pemuda itu
berkata, “tulus” cinta tak akan pernah aku sesali”. Sekilas ku dengar nafasnya
yang berat. Ia bergeser sedikit, berusaha membuat nyaman tubuhnya yang tampak
berkeringat.
Dari raut mukanya, mungkin ia
sama sepertiku, sedang gelisah. Atau mungkin ia sedang patah hati dikhianati
kekasih. Entahlah, hanya angin yang tak pernah putus asa mencoba mengurai perih
di hatiku.