Airin memegang erat sendok dan garpu di tangannya. Ia duduk rapat di sebuah kursi rotan di warung bakso pinggir jalan dekat kampus. Matanya menatap tajam ke sebuah bulatan bakso setan yang belum tergores sedikitpun.
Seolah ia sedang menyatukan, mengeluarkan kekuatannya untuk menghancurkan musuhnya yang sama sekali tak bergeming.
Pelan, tangannya mulai memainkan bola bakso itu. Rahangnya mulai bergerak, atas bawah. Suasana warung begitu ramai, Airin justru merasa kesepian, sendiri dengan angan yang terbang entah kemana.
Tak seorangpun tahu apa yang ada dipikirannya, tak juga pacarnya yang dia bawa dari SMA. Masa yang sulit, waktu yang begitu berat. Bahkan untuk gadis tegar seperti Airin.
Itu adalah kali pertama Airin akan menghadapi bulan ramadhan di negeri orang. Gurat sedih dan kerinduan akan keluarganya di rumah tak lagi mampu ia sembunyikan. Air mata pun menetes, mengalir masuk ke mangkuk bakso di depanya.
Di tengah gemuruh hatinya yang bergejolak, ponsel di tasnya tiba-tiba berdering. “Kamu dimana Rin, aku ke kosan kok enggak ada?”, ucap suara itu setengah datar.
“Masih di kampus…”, jawab Airin pelan. Tak mau terganggu, Airin segera melanjutkan lamunan dan angan yang buyar. Tak lupa ia menyeka air mata di pipinya yang mulai mengering.