Carpen yang Berjudul Senin yang Melelahkan

Sebut saja ini adalah cerpen yang berjudul Senin melelahkan bersama sahabat. Bahkan melelahkan-nya ini sudah dimulai sejak hari Minggu sebelumnya. Ceritanya, Senin 6 Maret 2017 kemarin adalah hari ulang tahun seorang sahabat yang sangat istimewa.


Namanya Ratih. Ia adalah sahabat yang jadi keluarga. Ratih adalah anak pak Narto yang sejak masih muda sudah mendedikasikan hidup untuk membantu keluarga kami. Ratih adalah anak pertama pak Narto yang memiliki garis tanggung jawab dari sang ayah.

Layaknya cerita zaman kerajaan, Ratih menjadi dewa pelindung dan penolong semua kebutuhanku. Dari kecil kami sudah berdua, jadi sahabat dan keluarga. Saat ini kami sekolah di sebuah SMA yang sama. Beda kelas tapi Ratih selalu ada untuk membantuku belajar.

Aku juga tak mau kalah. Aku tidak mau menggantungkan hidupku di tangan Ratih. Meski kewajiban Ratih memang membantu dan menemaniku. Setidaknya untuk itulah keluarganya dibayar.

Sejak kecil Ratih tidak pernah diizinkan hidup gamor, hura-hura atau melakukan sesuatu yang tidak ada gunanya. Tapi kali ini aku ingin memberikan kejutan baginya.

“Pak, aku ingin merayakan ulang tahun Ratih. Harus boleh.”, ucapku meminta izin sekaligus memaksa pak Narto ikhlas anaknya di-ulangtahun-ni. “Tapi…”

Aku segera memotong, “sekali untuk seumur hidup. Aku ingin memberikan kejutan untuk sahabatku Ratih”. Melihat raut wajahku yang serius, pak Narto tak bisa berbuat apa-apa. “Tapi jangan berlebihan ya Non, tidak baik…”, itulah kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut pak Narto.

Tentu saja, aku melakukan semua sendiri. Hari minggu, aku sibuk menghius basecamp tempat kami sering berkumpul. Pesan kue. Mengundang teman-teman. Dan memperingatkan mereka agar tak memberitahu Ratih.

Keringat menetes. Badan sangat letih tapi aku tak peduli. Semua persiapan beres dan aku mulai beralih ke tugas sekolah. Hari Senin adalah hari yang super sibuk dan melelahkan. Mulai dari menjadi petugas upacara bendera. Aku juga harus belajar dan presentasi beberapa pelajaran.

Bukan hanya itu, aku juga harus ekstra keras mengawasi semua teman agar tidak membocorkan rencana kejutanku untuk Ratih. Sejak pagi, peluh terus mengalir sampai jam sekolah usai.
“Mir, hari ini aku langsung pulang ya. Badanku agak enggak enak…”, ucap Ratih. “Enak aja, enggak ah, kamu kan janji bantuin aku bikin makalah. Besok di kumpul. Kamu istirahat di rumah ku aja.”

“Tapi Mir…”, ucap Ratih lagi. “Enggak ada tapi… pokoknya sekarang langsung ke rumah. Kalau tidak, aku pecat kamu jadi sahabatku. “ ucapku mengancam. Aku sedikit khawatir sih. Wajah Ratih memang sedikit pucat.

Tapi aku tidak ingin Senin ini Ratih melewatkan hari sendiri di rumah. Melihat wajah yang sedikit pucat aku langsung meminta dokter keluarga untuk standby di rumah. Dengan lemas, Ratih pun berjalan bak kerbau yang ditusuk hidungnya, mengekor di belakangku.

Skenario berjalan mulus. Sejak mulai menginjakkan kaki di rumahku, Ratih hanya bengong mendapati berbagai kejadian yang ganjil, aneh. Sampai akhirnya aku menuntun Ratih dengan mata tertutup ke bascamp.

“Hari ini adalah harimu. Semoga kamu akan mengingat ini selamanya”, ucapku sambil membuka pintu. “Cekrek….”, pintu terbuka dan diikuti dengan suara terompet, balon pecah dan teriakan dari teman-teman sekelas.

“Selamat ulang tahun Ratih, semoga panjang umur, murah rejeki dan tambah pintar”, ucapku disambut teriakan. Anak-anak langsung berhamburan mencium dan memeluk Ratih sambil mengucapkan doa dan selamat.

Ratih duduk terkulai lemas sambil menyeka air mata yang membasahi pipinya yang merah. Tanpa di komando, teman-teman langsung menyeret Ratih ke dalam kamar. Menggantikan ia baju Cinderella. Memberikan makeup. Menyisir rambutnya yang panjang dan menyemprotkan minyak wangi.

Beberapa menit kemudian Ratih keluar bak seorang putri. “Mari tuan putri, aku hantarkan ke singggasana mu yang megah”, ucap Rico sambil menggandeng tangan Ratih.

Ratih duduk di sebuah kursi besar berhias bak pengantin kecil. Ardie, Daneil dan Elza menyiapkan kue ulang tahun yang setinggi gunung. Mereka membawanya tepat di hadapan Ratih yang masih meneteskan air mata dengan mulut terbuka bulat, melongo.

“Ratih…”, ucapku sambil memegang pundaknya. “Lets make a wish”. Suasana berubah hening. Kami terdiam, menunduk. Ratih kemudian meniup lilin. Iringan lagu selamat ulang tahun pun berdendang.

Irisan pertama kue ulang tahun Ratih untukku. Yang kedua, diambilnya dengan tangan dan dilemparkan ke kerumunan teman-teman. Suasana menjadi ramai, riuh penuh teriakan.

Jam 4 sore, Ratih, sahabat sejatiku, pulang dengan senyum di bibir. Sekali ia melambaikan tangan ke arahku. Puas, sisanya adalah suasana ruang yang berantakan. “Tinggal ini kewajibanku untuk Ratih. Beres-beres ruangan, untuk kado ulang tahun sahabat tercinta. “Hiuft, hari yang melelahkan…”

Back To Top