Dagang Es Kelapa Muda Saat Ramadhan, Pemuda Miskin dan Kakek Pengemis

Cerpen tema Ramadhan, Pemuda Miskin dan Pengemis - Mengisi bulan penuh berkah tentu kita lebih baik menikmati bacaan yang sesuai dengan tema. Seperti cerita kali ini yang berkaitan dengan romadhon. 

Es kepala muda, wah kalau pas bulan ramadhan yang satu ini pasti sangat akrab di telinga kita semua ya. Biasanya kan untuk berbuka puasa kita akan membuat es. Es kelapa muda, wah pokoknya mantap deh. 

Cerita kali ini akan mengambil kisah yang berkaitan dengan tema tersebut. Rekan semua pasti penasaran deh bagaimana kisahnya. Dari pada hanya menebak lebih baik kita baca saja bersama. Yuk!

Cerita Pedagang Es Kelapa Muda Saat Ramadhan

Turun dari angkot. Fredy mempercepat langkahnya menuju sebuah toko. Sinar matanya begitu terang, ia berjalan begitu tegap. Tak seperti biasanya. Hari begitu terik, penuh debu. Di sudut kota, ia menantang hari. Di pundaknya terselip sebuah tas kecil, kosong.

Ke kanan, ke kiri. Ia sempat melihat sekeliling toko. “Seharusnya ini adalah hari bahagia, tapi kenapa masih ada orang yang berduka, sedih. Kakinya terhenti, terpaku. Hatinya tertahan pada sosok tua yang berupaya sekuat mungkin mengangkat tubuhnya dari selokan.

Tak seorang pun membantu. Tak seorang pun peduli dengannya. Tampak tangan kakek itu meraba-raba pinggir selokan. Ia buta. “Astaghfirulloh… Fredy langsung berlari menghampiri sang kakek.

“Kakek tidak apa-apa? Mari aku bantu Kek. Bagaimana bisa kakek masuk selokan. Sudah berapa lama Kek, kenapa tidak ada yang membantu Kakek?” Fredy melirik ke sekeliling.

Ada tukang ojek, ada juru parkir. Ada banyak orang yang lalu lalang. “Kenapa dengan semua ini?” Hati Fredy menjerit melihat ketimpangan tersebut. Sang kakek hanya diam. Hanya satu kalimat singkat yang terucap, “terima kasih nak…”

Fredy mengajak sang kakek duduk tepat disamping toko itu. “Mana mangkuk, mangkuk kakek mana…?” Fredy terkejut, “Oh, iya kek…”

“Setua ini, ia harus mengemis!”, batin Fredy mulai tak tenang melihat kenyataan itu. Ia lupa dengan tujuan awalnya ke sana. Belanja, persiapan dagang es kelapa muda dia abaikan. Ia kemudian duduk tepat disamping kakek itu.

“Rumah kakek dimana?” tanya Fredy
“Tidak punya rumah Nak, kakek tinggal di bawah jembatan itu”, sambil menunjuk ke arah timur.
“Jadi, kakek sendiri, tak punya keluarga. Asal kakek dari mana. Kenapa kakek bisa sampai disini?”
“Kakek pergi dari rumah. Anak dan istri tidak mengharapkan kakek lagi karena kakek buta”

Fredy tertegun. Sesaat ia diam, “kakek disini dulu ya, aku mau belanja sebentar. Tunggu aku ya kek, nanti kita ngobrol lagi. Sebentar kok”, ucap Fredy.

Sang kakek hanya terdiam, tak berkata. Di telinganya terdengar langkah pasti sang pemuda yang baru saja menolongnya, “sungguh mulia hati anak itu”.

Fredy keluar dari toko dengan barang belanjaan persiapan untuk dagang. Ketika langkah kakinya keluar dari pintu toko, ia segera menoleh ke sisi toko, “masih ada…”, ia langsung menghampiri sang kakek yang dengan lesu menadahkan mangkuk di tangannya.

“Kek, mari ikut aku. Aku tinggal sendiri dan kebetulan besok adalah hari besar untuk aku. Besok aku akan mulai usaha dan mudah-mudahan bisa dapat banyak penghasilan”

“Tidak, tidak usah nak, kakek disini saja. Terima kasih, semoga usaha kamu sukses dan kamu bisa jadi orang kaya yang bahagia”

“Untuk apa kek, aku kerja bukan untuk jadi kaya. Lagi pula, untuk apa kaya kalau aku masih membiarkan kakek disini sendiri… Mari ikut aku kek. Kakek tenang saja, kakek tidak akan merepotkan aku. Dari pada kakek disini, lebih baik kakek kerja, bantu aku jual es kepala muda. Kakek tidak perlu minta-minta. Mari kek”

Fredy segera mengambil tangan kakek yang menggenggam erat mangkuk untuk mengemis. Ia kemudian memapah sang kakek berdiri. Fredy membawa kakek itu ke kontrakannya.

Sampai di kontrakan, Fredy segera mengajak sang kakek makan, “mari sarapan kek, kebetulan aku juga belum sarapan, sudah lapar benar kek. Mari”. Untuk memulihkan tenaga sang kakek, ia juga tak lupa membuatkan segelas susu, khusus untuk si tua renta tersebut.

“Sekarang kakek istirahat dulu. Tidak apa-apa kan kek? Nanti kalau aku butuh bantuan aku akan minta bantuan kakek, tidak apa-apa ya?”, ucap Fredy.
“Iya Nak, sekali lagi terima kasih banyak. Untuk kebaikan kamu, apapun yang kamu minta kakek akan bantu, asal kakek bisa”, jawab sang kakek.

“Yang penting doa-nya kek, mudah-mudahan jualan kali ini laris dan kita bisa dapat rezeki yang banyak”, jawab Fredy.

***

Fredy sungguh beruntung. Sang kakek yang ditolongnya tersebut benar-benar membantunya. Ia selalu berdoa, dan tidak malas membantu semua kegiatan Fredy.

Mendorong gerobak adalah pekerjaan tetap sang kakek saat bersama Fredy. Berangkat dagang dan pulang datang, ia membantu Fredy mendorong gerobak penuh dengan kelapa muda.

Sesampainya di tempat dagang, sang kakek beralih tugas mengumpulkan sisa-sisa kotoran kelapa muda. Dengan setia ia membantu Fredy jualan, mengawasi setiap pembeli dengan telinganya.

Waktu terus berjalan, kehidupan sang kakek berpindah dari seorang pengemis menjadi seorang pedagang, asisten pedagang tepatnya.

“Alhamdulillah kek, rezeki kita banyak. Untuk makan, kita tidak akan kekurangan. Beli baju, atau mungkin pulang kampung…” ucap Fredy suatu malam. Sang kakek hanya terdiam. Mendengar kata “kampung”, raut muka sang kakek berubah.

“Maaf kek kalau aku salah berucap…”
“Tidak nak, kamu tidak salah. Hanya saja kakek sedih kalau ingat keluarga kakek dulu”

“Ya sudah lah kek, kita terima takdir ini dengan ikhlas. Aku juga sudah tidak punya keluarga kek, kecuali adik yang tinggal bersama Paman di Kampung. Bapakku mati di keroyok orang se-kampung karena mencuri. Ibuku gantung diri tak kuat menanggung malu. Sekarang adikku bersama paman, masih sekolah. Aku harus sekuat mungkin membantu adik dan bertahan hidup sendiri”. Ucap Fredy.

Mendengar cerita Fredy, sang kakek lantas meraih pundak Fredy, “Maaf”.
“Rencananya lebaran nanti aku akan pulang ke kampung Kek, menjenguk adik. Kakek ikut aku ya”
“Ah, kakek di sini saja…”

“Di sini bagaimana,kakek harus ikut. Kalau kakek tidak ikut, berarti aku tidak akan jadi pulang. Biar adik di rumah bersama Paman, toh dia ada yang mengurus disana”

Percakapan itu tiba-tiba menjadi dingin. Angin tiba-tiba menusuk tulang. Lidah mereka tak selancar tadi, mulai kelu. Beberapa menit tak ada suara, mereka terlarut dengan angan masing-masing. “Tidur kek, sudah malam…”

Back To Top