Pekan ini publik digegerkan oleh rencana salah seorang anggota parlemen di Swedia. Warga swedia mempunyai gairah kerja yang sangat tinggi, dan ini berbuntut pada rendahnya angka kelahiran di negara tersebut.
Persoalan yang sedang hangat dibicarakan dan dipertimbangkan di kota kecil di Swedia itu adalah rendahnya angka kelahiran dapat menyebabkan warga kota kecil itu dapat bubar dan meninggalkan kota.
Ini tentu dapat berefek buruk pada perkembangan swedia kedepan. Bagaimana menyeimbangkan ekonomi kota dengan jumlah pertumbuhan penduduk setiap tahun di Negara ini.
Negara swedia sendiri saat ini tercatat sebagai Negara maju di eropa. Pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil didorong oleh ketekunan dan kerja keras warga negaranya.
Tetapi di lain sisi, warga kota karena waktu mereka yang digunakan untuk bekerja terlalu banyak sampai sampai mereka melupakan naluri biologis mereka sebagai manusia. Ya..memang permasalahan seksual di negara ini berbanding terbalik dengan waktu kerja.
Waktu kerja yang terlalu banyak memnyebabkan para warganya kurang memperhatikan pasanganya di rumah maupun di luar. Sehingga berakibat pada menurunnya angka kelahiran di Negara kecil dieropa tersebut.
Agar para "workaholic" tidak melupakan kegiatan proaktifnya, seorang anggota parlemen di kota Oventornea di negara Swedia tersebut mengusulkan untuk mengizinkan para pegawai negeri sipil untuk boleh berhubungan suami istri saat bekerja.
Banyak pihak menentang pendapat atau usulan ini. Pasalnya hal itu sudah mencederai hak dan privasi warga kota kecil itu. Banyak yang menentang tetapi ada juga yang mendukung.
Seperti yang dilansir situs suara.com, rencana ini sepertinya tidak akan berhasil. Dimana rasionalitas warga swedia sudah sangat tinggi pastinya akan juga menentang kebijakan ini.
Adapun hikmah yang mestinya kita ambil dari kejadian itu adalah jangan sampai hal atau kebijakan itu juga diterapkan di Indonesia. Seperti yang kita tau bahwa, tanpa adanya kebijakan itu Indonesia pun sudah kelebihan penduduk.
Indonesia sebagai Negara timur tentu memiliki budayanya sendiri. Tidak seperti barat yang hanya mengandalkan logika dan rasional dalam membuat kebijakanya. (Gunarto)
Tag :
Berita Terkini,
Internasional