Keluarga Idaman yang Tak Bahagia

Keluarga Idaman yang Tak Bahagia (cerpen keluarga tentang ibu, bapak, anak) - “Kamu enak ya Nin, punya keluarga yang lengkap, ada ayah sama ibu. udah gitu dua-duanya kerja lagi. Jadi kamu ngga perlu pusing mikirin uang.” Ucap Doni padaku saat kami sedang duduk bersama di taman sekolah.


Aku hanya bisa tersenyum mendengar ucapannya. Aku sama sekali tidak habis pikir bagaimana bisa orang-orang semacam Doni ini dengan mudahnya  mengecap aku bahagia bersama keluarga ku yang katanya ‘lengkap’.

Mereka sama sekali tidak tau apa yang sebanarnya sudah aku alami dan sudah aku rasakan bersama keluargaku. Jika di lihat dari luar, kami memang tampak sangat bahagia. Aku, ayah, ibu, dan juga dengan segala hartanya.
Tapi, aku merasa keluargaku sama sekali tidak lengkap. Aku tidak tau apa yang membuat kelurgaku ini seperti tidak lengkap. Tapi yang jelas, aku masih belum bisa bahagia bersama keluargaku.

“Kamu mau ngga jadi pacarku nin?” Ucap Doni lagi dengan sangat tiba-tiba. Aku hanya bisa melongo mendengar ucapannya ini. selama ini aku memang dekat dengan dia, tapi jujur saja aku sama sekali tidak memiliki perasaan padanya.

“Aku serius nin. Aku sebenernya udah lama suka sama kamu.” Ucapnya lagi sembari menggenggam tanganku.

“Ee..mm… gimana ya, aku.. aku belum bisa ngasih jawaban sekarang. Masih ada yang perlu aku pertimbangin.” Ucapku pura-pura gugup. Padahal sudah jelas jawabannya. Entah satu tahun atau mungkin satu abad berikutnya, jawabannya juga tetap sama. Tidak.

“Tapi nin..” “Tet… tet.. tet…” Ucapan Doni terpotong oleh suara bel masuk yang berbunyi keras. Hah, baru kali ini aku merasa sangat senang mendengar bunyi bel masuk kelas.

“Udah masuk nih. Aku masuk kelas dulu ya.” Ucapku sembari pergi meningalkannya.
“Tapi jawabannya kapan nin?” Teriaknya saat aku sudah berjalan menjauh.

Aku hanya menjawabnya asal dan terus melanjutkan langkahku. Aku benar-benar merasa suntuk sekali hari ini. Sudah di rumah tidak ada orang selain pembantu dan tukang kebun, di sekolah dikejar-kejar sama Doni, dan terakhir, pelajaran matematika yang… ah, aku jadi merasa lelah mengumpat satu mata pelajaran ini. kurasa semua orang juga memiliki pemikiran yang sama denganku.\

***

“Assalamu’alaikum” aku mengucap salam saat aku masuk kedalam rumah. Seperti biasa, tidak ada orang di rumah. Kulihat bi Ijah-pembantu- dirumah ku yang sudah bekerja selama lima tahun lebih sedang asik telponan dengan tukang kebun rumah tetangga.

Pak Budi-tukang kebun-rumahku yang sudah kerja selama lebih dari tiga tahun sedang asik dengan burung-burungnya.

Dan pak Somad-sopir- yang tiap hari menjemput dan mengantarku ke sekolah tampak sedang asik mengelap-ngelap kaca mobil. Hah, aku merasa begitu kesepian. \

Setiap hari hidup ku selalu begini. Tidak pernah ada yang istimewa. Ayah dan ibu ku selalu sibuk dengan pekerjaannya. Aku tidak tau apa pekerjaannya dan bagaimana cara mereka bekerja. Mungkin jika sudah besar nanti aku akan mengerti.

Tapi, sekarang aku masih remaja dan sama sekali belum bisa mengerti. Aku hanya ingin dimengerti dan di beri kasih sayang. Tapi, tak ada satu pun yang aku dapatkan. Bahkan jawaban salam pun sama sekali tak kudapatkan.

“Eh.. udah pulang non? Bentar ya non bibi siapin makan siangnya.”
“Eng… engga usah bi. Saya udah makan tadi kok. Sekarang saya lagi cape bi. Pengen istirahat.”



“Emm… iya  iya non.” Ucapnya lalu segera melanjutkan telponnya yang sempat terputus. Aku pun segera melangkahkan kaki ku menuju kamarku yang ada di lantai dua. Sebenarnya aku ingin memiliki kamar yang berada di lantai satu saja seperti para pembantu keluargaku.

Tapi, tidak ada lagi ruang kosong yang bisa ku tempati di sana. Jadi mau tak mau aku harus meniki tangga untuk bisa sampai ke kamarku.

***

Mataku terbuka menyambut pagi yang cerah. Atau mungkin pagi yang cerahlah yang telah menyambut terbuka nya mataku. Ah entahlah.

Aku merasa begitu lemas hari ini. hari-hari ku selalu terasa membosankan setiap harinya. Aku bangkit dari ranjangku dan segera bersiap menuju kamar mandi. Tapi, saat aku melangkahkan kakiku menuju kamar mandi, aku mendengar sebuah teriakan dari lantai bawah.

“Kamu itu bener-bener ngga bisa ya ngurus keluarga!” teriak ayahku keras.
“Kamu itu yang udah ngga bisa  peduli lagi sama keluarga mas!”


“Udah berani ngelawan kamu ya?!” “Plaaaak” Teriakan ayahku berakhir dengan satu tamparan keras pada wajah ibuku. Ah, hatiku ikut terasa sakit melihat kejadian ini.

“Tampar aja terus pah tampar. Tampar sekali lagi pa, atau kalo engga tampar aja berkali-kali biar papa puas!” teriak ibu ku lagi. Ayahku bersiap mengayunkan tangannya lagi. Tapi sebelum tamparannya kembali mendarat ke wajah ibuku, ayahku melirik kearahku.

Lalu ayunan tangannya tiba-tiba berhenti. Mereka berdua tampak kikuk melihat kuberdiri di lantai dua memandangi adegan barusan. Tapi aku tidak mau memperdulikan mereka. Hatiku memang sakit, tapi logikaku masih sehat. Aku masih bisa berpikir jernih. Aku harus mandi lalu pergi ke sekolah. Karena saat ini satu-satunya hal yang bisa ku harapkan hanyalah sekolah.

Setelah selesai mandi dan mengenakan seragam sekolah, aku pun turun ke lantai satu dan bersiap untuk berangkat sekolah. Di ruang makan ku lihat ibu sedang menangis sendiri. Sedangkan ayahku tampak sibuk sedang menelpon seseorang. Ah, keluargaku benar-benar menyedihkan.

Aku hanya berjalan melewati mereka tanpa ada satu patah kata pun yang terucap. Aku tidak mau hatiku terasa semakin sakit. Semua ini sudah cukup bagiku. Rasa sakit ini sudah sangat cukup untuk membuatku jadi pribadi yang aneh. Pendiam, pemurung, dan mungkin juga anti-sosial.

Semua ini gara-gara keluargaku. Yah, keluargaku. Keluarga yang mungkin selama ini di idam-idamkan oleh banyak orang. Tapi kenyataannya, aku sama sekali tidak pernah bahagia lahir di keluarga ini.

---oOo---

Back To Top