Cerita Pengalaman Usaha Budidaya Jamur - Kupercepat langkahku ketika perlahan butiran air hujan mulai jatuh
membasahi bumi. Sebuah warung yang sepertinya ramai sudah nampak di depanku. Ku
angkat tanganku berusaha menutupi kepala agar tidak basah karena rintik hujan.
Kantong plastik yang berada ditanganku pun ku taruh agak ke depan.
Sengaja ku bungkukan tubuhku sedikit agar sesuatu di dalam plastik ini tidak
basah.
“Bu.. ini jamurnya.” Ucapku pada ibu pemilik warung sayuran.
“Oh iya nak, taroh disitu dulu.” Ucap ibu pemilik warung yang tampaknya
sedang sibuk mengurus sayurannya.
“Iya bu.” Ucapku sembari menaruh kantong plastik yang sedari tadi ku
pegangi. Ku balik badanku membelakangi warung sayur milik bu Inah.
Kutengadahkan wajahku menghadap kelangit. Ku tatapi lekat tiap butiran air
hujan jatuh ke bumi.
Entah kenapa aku merasakan kedamaian tiap kali aku menatap hujan seperti
ini. Ku pejamkan mataku sejenak. Kuresapi hawa dingin yang perlahan menembus
kulitku. Ku nimkati bunyi rintik hujan yang seperti melodi musik klasik ini.
“Ini berapa kilo mas?” Tiba-tiba suara seorang gadis menyadarkanku dari
nikmatnya lamunan dikala hujan.
Ku balik tubuhku dan kulihat hanya ada seorang gadis manis di sana. Aku
sedikit heran, kenapa bu Inah menjadi muda lagi? Atau gadis ini adalah anak bu
Inah, setahuku bu Inah tidak pernah punya anak gadis sebelumnya.
“Maaf mas, ini berapa kilo ya? Kok palah bengong si?” Ucapnya lagi.
“Eng..eh. iya mbak, itu 3kg mbak jamurnya.”Jawabku gugup. Dia hanya
tersenyum geli melihat kegugupanku. Sial, gadis ini sudah berhasil menghipnotisku
beberapa saat lalu.
“Haha kaget ya mas? Bu Inahnya lagi ke belakang. Saya keponakannya. Saya
disini sekolah sambil bantuin bu Inah jualan.” Ucapnya sambil mengambil uang
dari dalam tas kecilnya.
“Ini mas uangnya, 30rb.” Ucapnya lagi menyodorkan uang itu ke arahku.
“Iya makasih mbak.” Ucapku menyambut uang yang diberikannya.
“Jangan mbak geh, panggil aja aku Fitri.” Ucapnya sembari mengajakku
bersalaman.
Senyum manis mengambang jelas diwajahnya. “Siapa sebenarnya gadis ini.
Bagaimana bisa dia punya senyum semanis itu. Lagi pula dia juga terlalu cantik
untuk ukuran seorang penjual sayuran.”
“Joni mbak.” Ucapku lagi menyambut uluran tangannya. Untuk waktu yang
cukup lama mata kami sempat beradu. Tatapan matanya begitu teduh, membuat
jantungku berdesir lembut.
“Yaudah mbak, saya pulang dulu ya.” Ucapku mencoba berpamit dari warung
ini.
“Masih hujan geh mas. Nanti aja nunggu reda hujannya.” Ucapnya lembut.
Entah kenapa lagi-lagi dia tersenyum ke arahku. Tapi benar juga apa yang sudah
dikatakan gadis ini.
Aku tidak mungkin bisa pulang dengan kondisi cuaca yang masih seperti
ini. Aku menoleh ke dalam warung. Tampak gadis itu sedang membereskan tumpukan
sayur yang tampak sedikit berantakan. Lalu kupandangi lagi hujan yang masih
belum reda.
Aku tidak mau terlalu larut dalam perasaanku padanya. Aku sadar aku harus
fokus pada usaha jamur yang sedang aku rintis ini. Aku tidak boleh terlena oleh
seorang gadis cantik seperti dia.
Sudah dua bulan lebih aku merintis usaha jamurku ini. Tapi kurasa aku
masih belum bisa merasakan hasilnya. Bahkan untuk mengembalikan modalnya pun
kurasa masih jauh.
Aku mulai merasa pesimis dengan usahaku ini setelah berjalan lebih dari
dua bulan. Aku rasa semuanya sudah cukup bagus baik dari segi pemasaran atau
pun produksi. Kurasa sekarang yang kurang hanyalah seorang penyemangat.
Tunggu dulu, yah kurasa memang aku membutuhkan seseorang yang bisa
menyemangatiku akhir-akhir ini. Tapi siapa. Keluargaku tidak mungkin mau
memberikan suntikan semangat padaku. Sejak awal mereka memang lebih setuju jika
aku meneruskan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.
Tapi aku tidak setuju, aku tidak mau kuliah karena kurasa aku tidak
begitu menginginkannya. Aku merasa lebih baik aku memulai usahaku sendiri dan
kemudian bisa hidup tenang.
Aku tidak mau membuang waktu ku lalu pada akhirnya hanya menjadi karyawan
dari orang-orang tamak dan bengis diluar sana. Tapi disaat-saat seperti ini,
aku merasa sedikit aneh dengan keputusanku.
Aku merasa ada keraguan dalam keputusanku. Tapi segera kutepis keraguan
itu. Kubulatkan lagi tekatku ini. Sekarang yang aku butuh hanya seorang
penyemangat.
Yah, itu saja. Oh Tuhan.. kirimkanlah penyemangat pada hambamu ini.
Mataku kembali ku pejamkan menikmati hujan yang tak kunjung reda.
“Nikmat ya mas hujannya.” Tiba-tiba gadis manis ponakan bu Inah sudah ada
disampingku. Aku hanya mengangguk sembari tersenyum. Lidahku seketika menjadi
keluh dihadapannya.
“Dulu pas aku belum kesini aku juga seneng tiap ada hujan. Tapi dulu aku
selalu nikmatin hujan sendirian.” Ucapnya lagi. Aku menoleh kearahnya. Senyum
itu belum hilang dari wajahnya. Sungguh, senyumnya benar-benar manis.
“Tapi sekarang, aku ngga nikmatin hujan sendirian lagi.” Ucapnya lagi.
Kali ini dia menoleh kearahku.
Oh sial! Aku tidak sempat memalingkan wajahku. Aku tertangkap basah
sedang menikmati indah wajahnya. Akhirnya mata kami pun saling beradu. Dan tawa
lepas keluar dari mulut kami.
Entah kenapa rasa pesimis yang baru saja kurasakan seketika hilang. Aku
merasa ada suntikan semangat yang saat ini masuk menjalar keseluruh sel
tubuhku. Terimakasih oh Tuhan.. engkau dengan cepat langsung bisa mengabulkan
doa ku.
Aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan penyemangat yang sudah kau
kirimkan ini. Aku juga akan lebih serius menekuni usaha jamurku ini.
---oOo---