Perjuangan Seorang Muslimah - Namaku adalah Syifa Azzahra. Hari ini adalah hari terakhir ku di kampung
untuk waktu yang lama. Besok aku harus sudah pergi ke Bandung untuk melanjutkan
Study-ku. Sedih sekali rasanya, tapi tak masalah.
Aku hanya ingin membuat kedua orang tuaku bangga dengan gelar yang kuraih
sepulangnya aku dari Bandung. “Jaga dirimu baik-baik disana nak. Jangan sampai
tinggal Sholat.” Itulah pesan terakhir ibuku sebelum aku berangkat.
Tanpa terasa air mataku menetes tiap kali aku mengingat pesan ibuku. Baru
kali ini aku berpisah dengan keluarga ku. Aku memang tidak yakin apakah aku
akan bisa melewati semuanya.
Tapi dengan semangat dan cita-cita yang ku gantung tinggi, aku yakin aku
pasti bisa melalui semuanya dan kembali pulang ke kampung dengan gelar baruku.
Sekitar 12 jam perjalanan, akhirnya aku tiba di kota Bandung. Dingin
sekali rasanya, masyarakat disini pun sangatlah ramah. Aku sudah sampai di kota
Bandung, Indah sekali kota ini desisku dalam hati.
Aku diantar oleh kak Lisa ke kampus yang akan aku masuki. Aku sudah
diterima di kampus ini dan hanya perlu melakukan daftar ulang serta memilih
asrama untuk ku tinggali.
Sesampainya di kampus, tampak banyak calon maba yang melakukan daftar
ulang juga.
Setelah selesai melakukan daftar ulang, kak Lisa pergi meninggalkanku
karena dia memiliki kepentingan lain. Saat aku sedang berjalan, tiba-tiba ada
seseorang yang menepuk pundak ku. “Hey, saya Gracia dari Jakarta” ucapnya sembari mengulurkan tangannya
ke arahku.
“Aku Syifa, dari Lampung” jawabku sembari tersenyum. Ternyata Gracia
adalah calon maba yang sama denganku. Belum punya banyak teman dan belum tau
akan tinggal dimana.
Dia adalah seorang Nasrani yang baik hati dan juga lembut. Aku merasa
nyaman ketika berteman dengannya. Aku dan Gracia pun akhirnya mencari asrama
bersama-sama untuk ditinggali.
Selang beberapa hari aku tinggal disini, aku merasakan sesuatu yang
sangat asing bagiku. Teman-teman baruku di asrama kebanyakan berasal dari kota.
Mereka kebanyakan berasal dari keluarga yang berada. Sesekali aku merasa minder
dengan mereka.
Bukan karena mereka tidak baik terhadapku, tapi cara bergaul mereka
membuatku merasa tidak nyaman dengan mereka. Setiap usai kelas, aku selalu
langsung pulang ke asrama.
Sementara mereka, selalu pergi dan jalan-jalan ke tempat yang aku tidak
pernah tahu. Bukan aku tidak mau jalan-jalan bersama mereka, tapi aku hany
takut kalau aku sampai ke tempat yang tidak seharusnya ku jajaki.
Pernah sekali aku mengajak mereka untuk ke masjid mendengarkan ceramah,
tapi mereka menolaknya mentah-mentah.
Dan setiap aku mengajak mereka untuk menunaikan sholat subuh, mereka
tidak mendengarkannya bahkan mereka malah mencemoohku. Sok alim, sok suci, dan
lain sebagainya.
Meskipun begitu aku tidak pernah bermusuhan dengan mereka. Aku tetap saja
teman mereka. Tapi aku sudah seperti tak mengenali diriku sendiri, aku jadi
lebih pendiam. Dan tekanan ini begitu terasa.
“Boleh aku nanya sesuatu?” Tanya gadis berdarah campuran itu kedapaku.
“Iya Grac, mau nanya apa?” jawabku sembari tersenyum
“Kenapa kamu pakai jilbab? Sementara teman-teman serumah kita tidak ada
yang memakai jilbab. Cuma kamu aja.”
“Kalau kamu punya berlian, mau kamu simpen apa mau kamu tunjukin ke
orang-orang?”
“Tentu saya simpen dong, kalau ditunjukin nanti palah kena jambret” Jawab
Gracia sembari terkekeh.
“Ya seperti itu lah makna berjilbab” Jawabku dengan senyum
“Tapi bukannya kalau pakai jilbab kecantikan kamu tidak terlihat? Kan ada
yang bilang kalau rambut itu mahkota, jadi dengan terlihatnya rambut kita
orang-orang akan menilai kita cantik.”
“Kalau menurut saya si itu kurang benar, dengan mengenakan jilbab, maka
identitas saya akan cepat dikenali oleh orang. Bahkan dengan mengenakan jilbab
saya percaya akan terlihat lebih lembut, anggun, mempesona, tenteram.
Rambut memang mahkota wanita, tapi alangkah baiknya kalau mahkota itu
kita simpan dan kita jaga kemurniannya dengan menggunakan jilbab.
“Em,,, jadi begitu, menarik ya. Terimakasih informasinya Syifa.” Ujar
Gracia dengan senyumnya.
“Iya sama sama Grac. Saya sholat dulu ya Grac, udah masuk waktu Isha
ini.” Ucapku sambil mengundurkan diri dari hadapan Gracia. Aku menyelesaikan sholat Isha dan setelah itu
aku langsung tidur.
Saat sedang tidur, tiba-tiba ada sesuatu yang menggangguku. Suara itu
bukan suara yang asing. Suara yang sangat ku kenali. Ya sepertinya suara itu
adalah suara Gracia.
“Faa.. Fa.. Fa..” Teriak Gracia sembari mengetuk pintu kamarku. Aku pun
bangun dengan kondisi mata yang masih mengantuk. Ku gosok-gosok mataku pelan.
Dan kubuka pintu kamarku untuk mengetahui apa yang sudah terjadi.
“Faa, Sarah sama Annisa kecelakaan. Mereka sudah dirumah sakit. Ayo
kesana sekarang.” Ujar Gracia. Dari penampilannya, sepertinya Grac sudah siap
untuk ke rumah sakit.
Aku dan Gracia pun akhirnya berangkat ke rumah sakit dengan kendaraan
milik Grac. Sesampainya dirumah sakit, kulihat ibu Annisa sedang menangis di
dalam ruangan, tampak juga kedua orang tua Sarah sedan menangis di kamar
sebelahnya.
Kondisi mereka berdua sepertinya sudah kritis. Aku tidak tau kecelakaan
macam apa yang terjadi, tapi aku tak berhenti berdoa untuk keselamatan mereka.
Aku berjalan ke samping ibu Annisa. Ku pegang tangan Annisa erat.
Perlahan aku doakan dan aku baca ayat-ayat suci Al-qur’an didekat
telinganya. Setelah itu aku melakasanakan sholat hajad dan memohon kesembuhan
untuk mereka berdua.
Malam mini aku dan Grac memutuskan untuk menginap di rumah sakit.
Menemani dan menunggu mereka berdua sadar.
Saat aku tebangun, aku mendengar suara tangis Annisa.
Dia memeluk ibunya erat sembari tak henti-hentinya mengucapkan maaf.
Ibunya pun membalas pelukan Annisa dengan berlinangan air mata. Kuhampiri
mereka berdua dan berusaha menenangkan mereka. Tiba-tiba aku dipeluk erat oleh
Annisa.
“Faa,, maafin aku faa.,, selama ini aku udah sering buli kamu. Sekarang
aku tau aku salah, seharusnya aku ngga keluar malam itu, dan kalau aku ngga
keluar kecelakaan ini enggak akan pernah terjadi.” Ujar Annisa sembari memelukku.
Akupun hanya bisa membalas pelukannya sembari memberikan kata-kata
semangat agar dia tidak sedih lagi.
Sekitar sebulan sejak kejadian itu, aku mulai merasakan kenyamanan di
asramaku. Annisa dan Sarah yang dulu lebih suka keluar malam dan hura-hura,
sekarang lebih senang berkumpul bersama aku dan Grac di asrama.
Mereka pun memintaku untuk mengajari mereka membaca Al-qur’an dan Sholat.
Aku tidak tau bagaimana bisa mereka tidak tahu cara sholat. Tapi tak apalah
dengan sabar aku mengajari mereka pelan-pelan.
Sampai akhirnya, aku memberikan bingkisan jilbab kepada mereka berdua,
dan dengan itu aku berharap Allah tidak mencabut hidayahNya dari mereka berdua.
Keceriaanku bertambah besar ketika Gracia teman karibku itu meminta agar
diajari membaca Al-qur’an juga.
Dia juga ingin menggunakan jilbab seperti yang lain, meski dia belum
resmi menjadi muslim. Kami berempat jadi sering menuju masjid hanya untuk
sekedar mendengar ceramah. Atau bercengkrama dengan muslimah-muslimah lainnya.
---oOo---