Sendirian Bersama Dirimu Kekasih di Sisiku – Semakin sore, matahari bukan semakin reduk tetapi justru semakin terik – seolah ia ingin meninggalkan seisi belahan bumi ini dengan kehangatan – sampai ke hati.
Untukku, atau untuk aku dan kekasihku, sepertinya mentari ingin menjangkau ke dalam dinginnya hati kami – khususnya hatiku.
Ternyata, tapi, hangat mentari sore tak bisa mencairkan beku yang menyelimuti kami berdua. Kami tetap dikelilingi angin yang kering.
Ternyata, tapi, hangat mentari sore tak bisa mencairkan beku yang menyelimuti kami berdua. Kami tetap dikelilingi angin yang kering.
Kulit kami masing-masing memang memerah, hampir terbakar tapi itu tidak membuat hatiku hangat, sama sekali tidak.
Aku duduk di samping Bayu – kekasih yang selama dua tahun terakhir mengisi hari-hariku. Ia tampak sibuk memainkan pasir di genggaman sambil sesekali melihat ke arah matahari sore.
Dahi-nya tampak berkerut, aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Sorot matanya menandakan ada beban berat yang menganggu hati dan pikirannya.
Tentu, itu adalah kegelisahan diantara kami. Kami yang menyadari – atau setidaknya aku yang menyadari – bahwa perasaan ini telah jauh berubah. Tak seperti dulu.
Kebersamaan kami kini menjadi hambar seperti sayur tanpa garam. Entahlah. Sejujurnya taka da masalah apapun diantara kami. Tidak ada orang ketiga, atau orang ke empat. Tidak ada masalah prinsip atau masalah keluarga.
Semua baik-baik saja. Kecuali satu; rasa yang ada di hatiku sudah tak sama. “Ah…” Aku tak kuat menatap dalam – dalam mata itu. Ku lempar pandanganku pada nyiur yang melambai, melepas kepergian sang mentari.
Di sudut, nun jauh, nyiur mencoba menahan kepergian mentari. Ia terus melambai, mengayunkan tangan-tangannya yang lentik, berharap mentari tak meninggalkannya di kegelapan.
Di ujung sebelah kiri, awan yang menggantung pun tak tega melihat nyiur yang sedih di tinggal kekasihnya.
Ia segera berlalu, pelan. Ia menggulung, berakrobat, mencoba menarik perhatian nyiur. Nyiur melambai pelan, ia sudah terlanjur sedih, “semoga esok segera datang”
Ia segera berlalu, pelan. Ia menggulung, berakrobat, mencoba menarik perhatian nyiur. Nyiur melambai pelan, ia sudah terlanjur sedih, “semoga esok segera datang”
Aku kembali menatap Bayu – masih dalam posisi duduk yang sama. Kini, tampak pandangan matanya begitu tajam – menembus awan yang menggulung. Sorot matanya menghujam ke tengah gumpalan awan itu. Aku ngeri melihatnya. Aku tertunduk.
“Bayu…” ucapku pelan mencoba menarik perhatiannya. “Hem…” jawabnya singkat tanpa menoleh.
“Sudah berapa lama kita di sini ya?” aku membuka percakapan kering diantara kami. Tentu saja, kalimat itu tidak mampu mencairkan beku-nya hati kami masing-masing. Menit berlalu, kami kembali membisu.
Angin kencang tiba-tiba meniup acak rambutnya. Ku tatap wajah itu, “kamu masih sama mengagumkannya seperti saat pertama kali kita bertemu” pikirku.
Bayu melirik ke arahku sejenak. Sesaat aku berharap ada kehangatan yang akan ia taburkan di hatiku. Tangan kirinya bergerak, bukan ke arahku. Ia mengambil gitar yang sedari tadi tergeletak di sisi kiri kami.
Tiba-tiba sepi menyeruak menusuk jantungku. “Ternyata, bersamamu tak membuatku ramai dan hangat. Aku masih merasa sendiri.”
---oOo---