Janji Berkencan

Janji Berkencan - Riuh burung bersiulan silih berganti. Angin pagi membelai isi bumi, tanpa terkecuali – meski waktu yang tak sama persis. Suara piring mulai beradu, tangis bayi dan anak-anak memekakkan telinga. 
Janji Berkencan

Wanda mengusap matanya pelan. Jam enam pagi, ia baru tersadar dari mimpi panjang semalaman. Wajahnya tampak lusuh. Memar bekas terjatuh dari motor kemarin siang masih menyala, merah. 

Sore ini, ia ada janji berkencan dengan sang kekasih. Itu menjadikan hari ini adalah hari yang sangat sibuk, super menegangkan. 

Menyadari mentari yang tak akan menunggu dirinya, ia melompat cepat dari pembaringan. Kulkas adalah tempat pertama yang ia tuju. 

Tangannya bergerak terampil membuka pintu lemari pendingin, menuang setengah gelas air dingin dan segera membasahi tenggorokannya. 

Tanpa menghiraukan suasana rumah yang seperti pasar kaget, ia menuju ke garasi, segera mengeluarkan motor kesayangannya.

“Harus beres sebelum siang” ia bergumam dan membulatkan tekad untuk membuat kuda besi kesayangannya sempurna. 

Bak montir profesional, ia mulai beraksi. Satu per satu bagian motor tak luput dari perhatiannya. Detik, menit, jam berlalu begitu cepat. 

Jam sepuluh siang ia telah menyelesaikan bagian terpenting kuda besinya. Mesin dinyatakan sempurna untuk melaju lancar dengan sang pujaan hati. “Hem… mantap deh!” Wanda tersenyum puas.

Ia mulai membayangkan yang aneh – aneh mulai dari bergandengan di depan swalayan, nonton bersama bahkan sampai adegan aksi pangeran berkuda putih yang menyelamatkan sang putri yang cantik jelita. 

Asyik melamun ia tak sadar ada suara kaleng pecah– suara terikan sang ibu yang selalu membuatnya panik dan marah dari dalam rumah. Berkali – kali suara itu berulang hingga akhirnya terdengar teriakan panjang, “Wanda …!”

Kaget, bak prajurit yang selalu siap siaga, ia langsung berlari menuju sang komandan, ibunya. “Ya, maaf ma. Ada apa, ada yang bisa Wanda banting! Eh bantu!” Suara Wanda memecah emosi sang ibu.

“Hari ini kamu antar Mama, Mama akan belanja banyak untuk kebutuhan bulanan” ucap sang ibu memberikan perintah.

“Oh… siap, jangan khawatir Ma. Eh, tapi jam berapa Ma. Soalnya aku ada janji?” Tanya Wanda.

“Ya habis ini, sampai selesai. Entah sampai sore atau malam pokoknya sampai selesai!” ucap sang ibu.

Kalimat terakhir sang ibu menyambar telak di hati dan pikiran Wanda. “Aduh… gawat!” ucap Wanda.

“Apanya yang gawat?” Tanya ibu kaget. “Anu… enggak Ma. Siap…. Aku beresin motor dulu ya!” ucap Wanda sembari meninggalkan sang ibu.

Seketika itu juga, Wanda terserang bimbang yang akut. Rambutnya yang cepak moha digaruk-garuk. Dahinya berkerut. Wajahnya begitu serius memikirkan apa yang nanti terjadi. 

Bagaimanapun, cowok gaul yang slenge’an itu adalah Wanda, seorang pemuda yang tak pernah bisa mengabaikan ibunya yang sedari kecil membesarkan dirinya seorang diri. 

“Tak apalah, sepertinya janji kencan dengan Surti harus berakhir tragis, demi Mama” ucap Wanda pasrah sambil mengelus kuda besi kesayangannya. 

---oOo---

Tag : Cerpen, Cinta, Remaja
Back To Top